Senin, 28 November 2016

Analisis Puisi "Aku Ingin" Karya Sapardi

ANALISIS MAKNA DALAM PUISI “AKU INGIN” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (Pendekatan Aspek Prosodi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik) Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Apresiasi Sastra Indonesia Dosen Pembimbing: Prof. Apsanti Djokosuyatno KELAS : 1A (JUMAT) IIS NIA DANIAR 20167170035 (05) MUHAMMAD FADLI 20167170147 (44) PUTRI MARGARETH 20167170063 (13) TIUR MARIA C. C. 20167170062 (12) FAKULTAS PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA  UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kliah Apresiasi Sastra Analisis Puisi Aku Ingin, Karya Sapardi Djoko Darmono Kajian Makna dengan Pendekatan Struktural. Dengan menganilisis puisi ini, penulis mengharapkan agar puisi di Indonesia akan terus berkembang dan berbenah diri menuju kesempurnaan dan semoga puisi Indoenesia akan terus dihargai dan menjadi aset utama kesusastraan Indonesia. Terima kasih kepada Prof. Apsanti Djokosuyatno dan teman-teman yang telah membantu saya dalam menganalisi puisi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam menganalisis puisi ini seperti kata pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”. Demikan pula yang terjadi dalam menganalisis puisi ini. Akan tetapi, penulis mengharapkan agar analisis puisi ini dapat membantu pembaca dalam memahami isi puisi, terutama puisi Aku Ingin, Karya Sapardi Djoko Damono. November 2016 Penulis,                         DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………………… … DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. … BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. ... Rumusan Masalah ......................................................................................... ... Manfaat Penelitian ........................................................................................ ... Tujuan Penelitian .......................................................................................... ... Sumber Data ………………………………………………………………. … Landasan Teori BAB II ANALISIS DAN ULASAN ……………………………………………… … 2.1 Prosodi Puisi ……………………………………………………………….. … 2.2 Analisis Sintaksis …………………………………………………………… … 2.2.1 Analisis Sekuen …………………………………………………….. … 2.2.2 Analisis Struktur Puisi ……………………………………………… … 2.3 Analisis Semantik ………………………………………………………….. … 2.3.1 Analisis Tokoh ……………………………………………………... … 2.3.2 Analisis Ruang dan Watu ………………………………………….. … 2.4 Analisis Pragmatik ………………………………………………………… … 2.4.1 … ……………………………………………………………… … 2.4.2 … ……………………………………………………………… … 2.4.3 … ……………………………………………………………… … BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………. … DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. … BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur-unsur atau yang bagian-bagiannya saling erat berjalinan (Hawkes, 1978 : 18). Dengan demikian, dalam sajak ini dianalisis secara struktural dan semiotik. Sajak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah disini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis lebih lanjut. Hal ini juga disebabkan oleh sajak menyatkan sesuatu secara tidak langsung, maka diharapkan parafrase ini lebih memudahkan pemahaman dan mengikuti analisis sajak. Sesungguhnya parafrase baru dapat dibuat sesudah sajak dianalisis, ditafsirkan, dan diterangkan mengenai ambiguitas bahasanya dan jalinanya unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, di sini sengaja diberikan parafrase terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan alasan tersebut itu. Parafrase di sini diberikan berdasarkan analisis yang belum dieksplisitkan dalam uraian. Baru sesudah ini analisis sesungguhnya dipaparkan. Hanya dengan cara analisis, parafrase dapat dibuat meskipun tidak selalu harus berupa analisis eksplisit (jelas). Jadi, parafrase yang dibuat sebelum analisis secara eksplisit tidak dibuat semena-mena. Proses analisis ini menunjukan makna keseluruhan ajak. Di samping itu, parafrase yang dikemukakan bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar hal ini mengingatkan bahwa sajak itu bersifat banyak tafsiran oleh bahasanya yang ambigu. Tafsiran disini didasarkan pada hubungan struktural tiap-tiap unsur sajak dalam jalinan keseluruhan ajak ataupun didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Parafrase disini dimaksud untuk memberi perkiraan makna sajak. Oleh karena itu, parafrase pada makalah ini bukanlah makna mutlak setiap sajak yang dianalisis. Parafrase yang diberikan hanyalah merupakan kemungkinan tafsiran mengingat bahwa sajak itu bersifat tafsiran ganda. Sajak yang dianalisis di sini adalah sajak Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Darmono. Sajak ini dipilih ungtuk memberikan gambaran bagaimana menganalisis sajak secara struktural. Berdasarkan penelusuran saya di situs Wikipedia Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sang penulis puisi lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1940. Ia aktif berkecimpung di dunia sastra sejak tahun 1958 hingga sekarang. Dari wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab terhadap Sapardi yang diunggah di YouTube (diakses 20 November 2016) Sapardi mengatakan ia menulis puisi tersebut selama 15-20 menit dengan ditulis tangan. Berikut transkrip perkataan Sapardi mengenai pertanyaan Najwa tentang interpretasi puisinya: “Ya tentu, memang puisi itu hidup, interpretasinya macam-macam, kalau cuma satu ya sekali baca sudah habis gitu, jadi orang mikir-mikir, kok sederhana, kok ada api, ada kayu. Kayu dibakar api to, ini kan percintaan bagi saya, kayu dan api itu bercinta. Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu, jadi nggak sampai. Bukan, bukan, bukan cinta tak sampai, cinta beneran, itu cinta beneran!” Rumusan Masalah Masalah yang dijumpai dalam puisiAku Ingin, karya Sitor Situmorang ini adalah sebagai berikut: Bagaimana kita menganalisis puisi dimaksud dengan menggunakan metode analisis prosodi, sintaksis, semantik, dan pragmatik? Apa makna yang terkandung dalam puisi Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Darmono? Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah tentang Analisis Puisi Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono Pendekatan Struktural adalah sebagai berkut: Membedah makna serta menemukan aspek kepuitisan dengan cara analisis struktural dan semiotik; Memahami dan mengetahui penggunaan kata baik gaya bahasa, citraan, majas dan unsur-unsur kepuitisan yang terdapat dalam puisi tersebut. Manfaat Penulisan Manfaat yang ingin dicapai dalam analisis sturktural dan semiotik puisi Aku Ingin adalah kita dapat memperoleh pengetahuan baru dan manfaat dari hasil analisis yang akan dilakukan. Sumber Data AKU INGIN aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Sapardi Djoko Damono, 1989 BAB II KAJIAN TEORI Hakikat Puisi Menurut Pradopo (2005: 1), puisi dalam pengertian lama adalah karangan terikat, sedangkan puisi dalam pengertian baru yaiitu karangan terikat tetapi oleh hakikatnya sendiri atau lebih berdasarkan pada hakikat puisi bukan sarana kepuitisan. Jadi puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung (ucapan ke inti pati masalah peristiwa ataupun narasi). Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman dalam bahasa berirama dalam bentuk tulisan atau lisan yang selalu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sesuai dengan selera dan estetikanya. Puisi adalah suatu bentuk tulisan yang lahir dari bakat dan kreatifitas sang penulis. Ungkapan isi hati dan perasaan seseorang dapat dilukiskan dalam rangkaian bait-bait kalimat yang indah. Ada banyak tema yang dapat diangkat dalam penulisan puisi seperti cara pandang kita tentang hidup dan kompleksitasny, fenomena yang terjadi disekeliling kita, bagaimana gambaran terhadap apa atau siapa yang kita puja dan tentu saja tema klasik yang tak pernah mati. Hakikat Struktural Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Sturuktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antar unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentuan.Dalam pengertian struktur terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide tranformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Piaget via Hawkes, 1978 : 16). Pertama, struktur itu merupakan suatu keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri diluar struktur itu.  Kedua struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bawa itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978:17-18). Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) harusla karya sastra itu dianalisis (Hill, 1966:6). Namun, sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen yang tidak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Oleh karena itu, analisis sajak bagian tersebut haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Hal ini seperti dikemukakan oleh T.S. Eliot (via Sansom, 1960:155) bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya (yaitu sarana-sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapatkan jaringan efek puitis) maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Sajak itu merupakan susunan keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling erat berkaitan dan saling menentukan maknanya. Menurut Pradopo (2005: 118), karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbale balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hala-hal atau benda-benda yang terdiri sendiri-sendiri melainkan hal-hal itu saling terikat, saling terikat dan saling bergantungan. Dalam pengertian struktur ini (Pradopo, 2005: 118), terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self-regulation). Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan atau deskripsi struktur-struktur. Menurut fikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu. Oleh karena itu, pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa struktural adalah unsur-unsur dan fungsi dalam struktur dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Pradopo (1987:7) mengatakan bahwa puisi itu adalah karya sastra yang mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan. Waluyo (1987:25) mengatakan Jika dipaksa untuk memberikan definisi puisi yang sangat sukar dirumuskan, kira-kira seperti berikut. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa melalui pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Struktur adalah sesuatu yang disusun dengan cara atau pola tertentu untuk menjadikan suatu bentuk. Struktur puisi adalah sesuatu unsur yang disusun dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah puisi. Struktur fisik puisi adalah unsur-unsur yang disusun dengan sehingga membentuk puisi secara fisik atau yang dapat dilihat oleh mata. Sedangkan struktur batin puisi adalah unsur-unsur yang disusun sehingga membentuk puisi dari dalam puisi. Puisi terdiri dari dua struktur fisik dan struktur batin, dibawah ini ada beberapa unsur yang membentuk struktur batin dan struktur fisik menurut para ahli. Waluyo (1987) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari hakikat puisi yang meliputi tema, rasa, amanat, nada, serta metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima. Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang. Strukur fisik atau kebahasaan terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, majas versifikasi dan tipografi. Sedangkan struktur batin. Waluyo (1987) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi. unsur puisi meliputi , diksi, imajeri,  bahasa kiasan, simbol, bunyi, ritme, bentuk. Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, tapi berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi adalah karya sastra yang mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin  dan mengekspresikan pemikiran seorang penyair secara imaginatif dengan memadatkan kata dan makna yang digubah dalam wujud bentuk yang paling berkesan. Dari beberapa pendapat di atas juga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi  tema, nada,  rasa, amanat,  diksi, imaji, bahasa figuratif,  kata konkret,  ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Dick Hartoko dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajinasi, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima. Aspek Prosodi/Persajakan Menurut KBBI edisi ke V, menjelaskan bahwa Prosodi adalah suatu kajian tentang persajakan, yaitu mengkaji tekanan, matra, rima, dan bait dalam sajak. Hal-hal yang mencakup prosodi/persajakan akan dijabarkan sebagai berikut: Tekanan Tekanan merujuk kepada bunyi kata yang diucapkan lebih lantang daripada yang lain atau pengucapan kata yang dikuatkan.Tekanan digunakan untuk menyampaikan sesuatu maksud seperti rasa marah atau sebagai desakan kepada pendengar.Tekanan juga merupakan suatu cara menyebut perkataan, frasa atau kalimat dengan memberi penekanan pada tempat tertentu, terutama pada suku kata dengan tujuan untuk menandakan keras atau lembut sesuatu pengucapan. Oleh karena itu, tekanan dapat terletak pada suatu kata. Menurut KBBI, tekanan umumnya terletak pada suku akhir. Matra Menurut KBBI V, matra adalah bagan yang dipakai dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah panjang atau tekanan suku kata. Rima Menurut KBBI edis V, rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Bait Menurut KBBI edisi V, bait adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri atas beberapa baris atau larik. Sebuah sajak, kata-kata pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan tidak kepada struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata dibalikkan demi rima atau metrum. Sama halnya dengan aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai fungsi semantik. Pola-pola sintaktik dapat dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan (infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan (suprastrukturasi). Aspek Semantik Menurut Zaimar (2008:32—36) aspek semantik memiliki beberapa unsur dan  dalam aspek semantik terdapat dua hubungan, yaitu: Hubungan sintagmatik, terdapat dua aspek yang dianalisis yaitu urutan peristiwa dan fungsi utama Hubungan paradigmatik, terdapat dua aspek yang dianalisis yaitu indeks dan informan. Aspek tokoh dan latar (ruang dan waktu) diperoleh dari analisis aspek semantik.   Analisis Tokoh Dalam karya sastra tradisional, tokoh mempunyai fungsi mimesis. Ia menggambarkan manusia yang “sebenarnya”. Dalam aspek referensial ini, tokoh mempunyai nama walau kadang tidak spesifik. Penggambaran tokoh ini digunakan untuk menunjukkan  koherensi tindakan tokoh dalam karya. Penggambaran ini dikemukakan oleh pencerita, tetapi dapat pula di lakukan oleh tokoh lain. Analisis Ruang Ruang terutama digunakan untuk memberikan kesan realis pada karya. Dalam hal ini penulis mementingkan deskripsi dengan keterangan-keterangan rinci dan khas. Apabila keterangan ruang ini tidak jelas, kesan yang ditimbulkan adalah bahwa peristiwa yang diceritakan bisa terjadi dimana saja. Analisis Waktu Seperti juga ruang, waktu berfungsi untuk menjadikan cerita berakar dalam realita. Tanggal, bulan, dan tahun tertentu yang disebut dalam novel atau cerpen menyebabkan pembaca merasa bahwa peristiwa yang diceritakan benar-benar terjadi; Selain itu termasuk juga ke dalam cerita durasi, yaitu berapa lama cerita berlangsung. Aspek Pragmatik Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam khasanah pemahaman karya sastra yang merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural hanya dapat menjelaskan lapis permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang struktur atau interalasi unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan pragmatik. Definisi lain mengatakan bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan sebuah karya yang merupakan karya sastra atau bukan. Horatius dalam art poetica menyatakan bahwa tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus memberikan manfaat dalam kehidupan. Dari pendapat inilah dimulai pendekatan pragmatik (Wahyudi Siswanto, 2008: 181-191). Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama pada peran pembaca. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang puisi sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audience (pembaca atau pendengar), baik berupa efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan ini cenderung menilai puisi berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut. Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggaan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam puisi. Dua pembaca yang sama akan menerima pesan yang berbeda walaupun mereka dihadapkan pada puisi yang sama (Damono, 1983). BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Prosodi/Persajakan Prosodi adalah suatu kajian tentang persajakan, yaitu mengkaji tekanan, matra, rima, dan bait dalam sajak (KBBI). Adapun mengenai beberapa rincian dan merunut pada puisi AKU INGIN, dapat ditinjau sebagai berikut: Tekanan Aspek tekanan bila ditinjau pada puisi AKU INGIN adalah sebagai berikut: aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Beberapa penekanan ditinjau dari beberapa pengulangan kata atau kalimat: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Diulang dua kali sebagai pembuka ucapan. Mengisyaratkan keinginan seseorang yang bermaksud mencintai dengan cara yang sederhana atau tidak berlebihan Dengan Diulang dua kali sebagai kata hubung. Digunakan sebagai kata hubung dari kalimat cinta yang sederhana dan... yang tak sempat... ... yang tak sempat ... Diulang dua kali sebagai suatu frasa yang menandakan tentang perumpaan cinta yang sederhana tersebut ... kepada.. Diulang sebagai suatu kata hubung dari dua kata yang mempunyai relasi satu sama lain. Pada AKU INGIN; kayu ... api dan awan ... hujan. Relasi dua kata ini dapat diartikan sebab akibat kayu akan terbakar bila terkena api. Juga awan secara hukum fisika akan mengumpul dan menyebabkan hujan. Kata kepada pun menurut KBBI untuk menandai tujuan orang. Jadi, tujuan ini dapat kita lihat pada puisi AKU INGIN, adalah kayu yang bertujuan akan terbakar menjadi abu bila terdapat (unsur) api yang menyertainya. Awan yang bertujuan akan menyebabkan hujan dan tiada atau awan itu akan lenyap di langit karena sudah berubah menjadi hujan. Matra Matra yang dapat ditinjau pada puisi AKU INGIN sebagai berikut: a-ku i-ngin men-cin-tai-mu de-ngan se-der-ha-na: → ada 14 penggalan setiap suku kata de-ngan ka-ta yang tak sem-pat di-ucap-kan → ada 11 penggalan setiap suku kata ka-yu ke-pa-da a-pi yang men-jadi-kan-nya a-bu → ada 14 penggalan setiap suku kata a-ku i-ngin men-cintai-mu de-ngan se-der-ha-na: → ada 14 penggalan setiap suku kata de-ngan i-sya-rat yang tak sem-pat di-sam-pai-kan → ada 13 penggalan setiap suku kata a-wan ke-pa-da hu-jan yang men-jadi-kan-nya ti-ada” → ada 14 penggalan setiap suku kata Pada puisi AKU INGIN total ada 80 suku kata. Rima Ditinjau dari konsep rima, maka pada puisi AKU INGIN, rima dapat dilihat: aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → a dengan kata yang tak sempat diucapkan → b kayu kepada api yang menjadikannya abu → - aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → a dengan isyarat yang tak sempat disampaikan → b awan kepada hujan yang menjadikannya tiada → - Pada puisi AKU INGIN ada banyak terdapat pengulangan seperti yang telah ditandai di atas. Larik Aku ingin mencintaimu dengan sederhana terdapat pada larik pertama dan diulang di larik ketiga. Kata dengan lalu frasa yang tak sempat dan akhiran – kan terdapat pada larik kedua dan diulang kembali di larik kelima. Kata kepada lalu frasa yang menjadikannya terdapat pada larik ketiga dan diulang kembali di larik keenam. Bait Pada puisi AKU INGIN, terdiri dari enam larik, seperti berikut; aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → 1 dengan kata yang tak sempat diucapkan → 2 kayu kepada api yang menjadikannya abu → 3 aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → 4 dengan isyarat yang tak sempat disampaikan → 5 awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” → 6 Analisis Sintaksis Analisis Sekuen Puisi “AKU INGIN”  yang ditulis pada tahun 1989 oleh Sapardi Djoko Damono, pria kelahiran 20 Maret 1940 ini, adalah salah satu dari sekian puisi para penyair Indonesia yang sangat popular dan banyak mendapat perhatian para penyuka, serta para pengamat sastra puisi. Puisi ini sangat menarik untuk ditelisik terkait tata bahasa pun tata sastranya. Jika diperhatikan secara bentuk ketatabahasaan (untuk selanjutnya ditulis: gramatikal), dua bait isi yang ditampakkan teks tertampak jelas ketidaksesuaiannya secara gramatikal, dimana perlakuan Sapardi Djoko Damono untuk penyentaraan makna yang dibawa teks larik pertama setara dan sebanding dengan makna yang dibawa teks dalam larik-larik berikutnya dalam tiap bait, sangat jelas berlawanan makna, artinya kurang tepat jika larik pertama (bait pertama dan kedua) disamakan dalam derajat kesamaan makna dengan larik kedua dan seterusnya (bait pertama dan kedua).  Dalam teks nampak ada “ketidaksesuaian”. Karena hal yang ingin disampaikan sesuatu yang sederhana, tetapi yang dijadikan perumpamaannya jelas-jelas bukan sesuatu yang sederhana dan membawa makna tidak yang sederhana pula. Pemaknaan tata bahasa sebagai sebuah sistem yang terukur secara makna kata (semantik) dari adanya pemindahan objek nyata yang ditangkap Indra ke dalam bentuk bahasa teks (mimesis). Pengertian terukur di sini adalah bagaimana makna teks tadi dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pembaca (koheren). Dalam tata bahasa, ada yang namanya makna leksikal (denotasi) dan makna gramatikal (konotasi). Biasanya dalam membaca sebuah teks puisi, kecenderungan pertama yang ada dalam pikiran, adalah makna leksikal—makna kediriannya—makna yang tertera dalam kamus. Makna gramatikal—biasanya berkaitan dengan gaya bahasa, baru menjadi pusat perhatian setelah dalam satuan utuh kalimat, makna leksikal tadi tidak mampu mengakomodasi ide, tema, gagasan atau amanat yang dibebankan pada kata.             Dalam puisi AKU INGIN-nya Sapardi Djoko Damono, sebagaimana yang ditampakkan bait pertama yang terdiri dari tiga larik, jika dimaknai perlarik, maka secara makna leksikal sangat jelas dan tegas apa yang disampaikan. Hal tersebut nampak pada bait pertama aku ingin mencintaimu dengan sederhana; à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas dengan kata yang tak sempat diucapkan à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas kayu kepada api yang menjadikannya abu à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas Namun saat dihadapkan dalam pemaknaan secara satuan utuh teks dalam bait, didapati adanya kombinasi gaya ungkap yang menawarkan makna leksikal larik pertama /aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dan makna gramatikal pada penyatuan larik dua dan tiga /dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu / dan tampak jelas berhubungan dengan makna tersirat (sesuatu yang tidak sederhana). Ketidaktepatan sintaksis (tata kalimat), baik dengan adanya simbolik tanda baca titik koma (;)  [dalam manuskrip HUJAN BULAN JUNI yang diterbitkan  pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 1994; halaman 87, simbolik tanda baca yang tertulis dalam teks puisi adalah tanda baca titik dua (:)], atau misalkan tanpa tandabaca sama sekali, ketidaktepatan penyetaraan makna secara hubungan ketatabahasaan—dalam konteks ini tanda baca yang saya gunakan adalah tanda baca titik koma (;) dapat diilustrasikan sebagaimana di bawah ini:  Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; ß ingin adv hendak; mau; perbuatan belum dilakukan atau perbuatan mencintaimu dengan sederhana itu belum terjadi. dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu ß dengan kata yang tak sempat diucapkan; perbuatan yang sudah dilakukan/terjadi, tapi menyisakan sesuatu perbuatan yang belum di lakukan, yakni pada frasa tak sempat diucapkan. Kenapa tidak sempat diucapkan? Ini bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menyiratkan hal yang tidak sederhana. Hal tersebut dipertegas dengan sesuatu yang juga tidak sederhana dari makna gramatikal yang tersirat kayu kepada api yang menjadikannya abu. Artinya hubungan ketatabahasaan larik pertama dan larik selanjutnya—larik dua dan larik tiga, kurang tepat (kalau tidak bisa dikatakan tidak tepat)—tidak harmoni dalam konteks penyetaraan makna/arti, yakni larik pertama perbuatan yang belum terjadi dan larik kedua, ketiga merupakan perbuatan yang sudah terjadi, Artinya di sini ada sesuatu makna teks yang tidak harmoni. (sebagaimana bisa dilihat dalam diagram alur 1A di bawah ini) Lantas untuk mencapai titik harmoni tadi apakah harus merubah sintaksis, semisal dengan menghilangkan kata “ingin” agar kesetaraan maksud bisa terpenuhi, sebagaimana yang dinyatakan Narudin Pitun dalam catatannya tertanggal Subang, 14 Maret 2016, “Dua bait puisi di atas homolog, terutama untuk baris ke-1 tiap bait: "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana." Ada pengulangan kata "ingin" di situ, yang menyiratkan 2 hal: 1) berarti tindakan mencintai dengan sederhana belum terjadi, dan 2) boleh jadi si aku-lirik justru telah sedang mencintai dengan tak sederhana. Oleh sebab itu, muncullah suatu niat "ingin" mencintai dengan sederhana akibat sesuatu hal yang membuat si aku-lirik beralih cara mencintai dari "dengan tak sederhana" jadi "dengan sederhana". Dampak cinta dengan tak sederhana itu dirasa tak menguntungkan lagi. Dengan kehadiran makna "ingin" yang ke-2 tadi, kesan "cinta sederhana" ini sudah "membawa potensi cinta tak sederhana", yang tentu merusak kesederhanaan yang dikehendaki oleh si penyair (Sapardi). Jadi, sebaiknya, baris ke-1 pada tiap bait itu (bait ke-1 dan bait ke-2), berbunyi: "Aku mencintaimu dengan sederhana" saja. Untuk menemukan jawaban apakah penghilangan kata “ingin”ini perlu dilakukan atau tidak, maka dilakukan simulasi sebagaimana terlihat di bawah ini. Aku mencintaimu dengan sederhana; ß perbuatan mencintaimu dengan sederhana itu sedang atau bahkan terjadi. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu ß perbuatan dari sebuah proses kayu ke abu, sedang atau bahkan sudah terjadi Artinya di sini aku lirik sama-sama sedang atau telah melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan aku lirik yang ditampakkan pada larik pertama, dengan meminjam makna yang tersirat dari larik kedua dan ketiga dengan memanfaatkan jukto posisi, artinya lagim, makna sederhana dalam larik pertama bukan lagi makna leksikal, namun telah bergeser menjadi makna gramatikal—konotasi—makna yang ditambahkan dalam makna denotasi. Tapi konsekuénsi dari penghilangan kata “ingin” menyebabkan perbedaan makna, amanat, pun nada yang mewakili ekpresi aku lirik (Sapardi Djoko Damono).                   Berpegang diagram alur di atas, jadi dalam membaca karya sastra puisi, jika hanya berpegang pada ketatabahasaan saja, saya bisa maklumi jika ada yang berpendapat bahwa dua bait dalam puisi “AKU INGIN”, lemah dalam pembentukan sintaksisnya.Tapi buru-buru akan saya katakan bahwa saat dihadapkan dalam jalan buntu tata bahasa, maka diperlukan jalan lain—yakni tata sastra, untuk mencari tahu mengapa terjadi adanya ungramatikal—ketidaksesuaian dengan tata bahasa/tata kalimat (sintaksis). Sebab bisa jadi adanya sesuatu yang tampak aneh—seperti misalkan keberadaan kata “ingin” yang menjadikan teks tampak tidak wajar atau aneh, merupakan lompatan dari mimesis (tiruan perilaku) ke semiosis (Proses tanda). Dan dengan adanya lompatan tersebut, “ingin” dalam larik pertama bisa saja kini telah bergeser dari belum melakukan suatu tindakan, berubah menjadi suatu proses yang sedang berjalan, dalam artian “ingin—ingin mencintaimu” di sini si aku lirik sudah ada tindakan mencintai, hanya saja mencintainnya di sini bukan dalam ketuntasan, tetapi dalam proses sedang berjalan untuk pencapaian dalam mencintai seperti yang disuratsiratkan larik dua dan tiga yang simbolis metafora tadi. Dan saya condong ke arah itu.  Ungramatikal (Tata sastra) dalam “Aku Ingin. Dapat disimpulkan, kata “ingin” ini keberadaannya saya pandang sangat vital, sebab menciptakan kekontrasan makna antar lariknya secara gramatikal, namun saat dipandang secara ungramatikal (tata sastra), justru adanya kata “ingin” ini yang menyiratkan adanya makna ke dalam, yang ditimbulkan dari pembalikan arti atau pembalikan makna yang disebabkan adanya impresi (tekanan) dari mimesis (tiruan perilaku) ke semiosis (Proses tanda) larik selanjutnya yang masing-masing bait berbunyi / dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu/ dan /dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada/. Dan ekpresi dari adanya pergolakan batin yang diwakilkan melalui bahasa simbol kayu, api, abu, awan,dan hujan tadi menjadi semakin kuat dengan adanya repetisi utuh / aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ di larik pertama bait pertama dan diulang dalam larik pertama bait kedua, memjadikan intensitas nada kian memberat—menyiratkan sesuatu hal yang tidak mudah—tidak sederhana. Tanpa "ingin" justru akan meniadakan pergolakan batin aku lirik—hilangnya suatu proses bahwa cinta itu tidak mudah, bahwa cinta itu tidak sederhana, bahwa cinta itu pelik, butuh kesabaran, ketabahan, keikhlasan, ketawadukan, dan untuk mencapai itu bukan hal yang mudah, dan ini adalah proses dari “ingin”– seperti proses yang dicitrakan atau di surat-siratkan dalam susunan frasa larik-larik selanjutnya tentang makna cinta sederhana yang sebenarnya tidak sederhana tadi melalui bahasa simbolis (semiotika). Bisa dilihat diagram alur 2A dan 2B di bawah ini:       Ketika membaca karya sastra—khususnya puisi, saya atau mungkin Anda harus selalu sadar bahwa teks diberikan peran atau bahkan mungkin teks membebankan pada dirinya untuk terus mendorong pembaca menemukan makna yang tidak dihadirkan secara terbuka. Jadi sangat jelas bahwa ungramatikal hadir untuk menciptakan nilai keindahan dari suatu ambiguitas (kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan). Terkait ungramatikal, Riffaterre menekankan bahwa teks akan memberikan indeks resmi kepada pembaca, yang akan memberikan kunci untuk interpretasi. indeks ini menunjukkan dua fitur, atau properti:  Pada baris pertama Aku ingin mencintaimu dengan sederhana sederhana menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 1 bersahaja; tidak berlebih-lebihan: hidupnya selalu –; 2 sedang (dl arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dsb): harga –; 3 tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dsb); tidak banyak pernik; lugas.Artinya, Aku-Lirik ingin mencintai sesorang dengan cara yang tidak berlebihan, sedang dan secara tulus, apa adanya dan hanya untuk seseorang yang ia cintai. Baris kedua Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikanya abu. Kata-kata ini memunculkan pengertian bahwa ‘Aku-lirik’ tidak sempat mungungkapkan perasaan cintanya kepada orang yang ia cintai. Hal ini diperjelas dengan kata kayu yang telah menjadi abu. Begitu juga dengan bait berikutnya Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Bait ini mempunyai pengertian hampir sama dengan yang diatas. Yaitu tentang keterlambatan seseorang dalam mengungkapkan isi hatinya kepada orang yang ia cinta. Kata-kata yang digunakan Sapardi Djoko Damono dalam puisi ini sederhana, tapi maknanya sangat dalam, dari beberapa kata yang menjadikan key word adalah kata Aku ingin mencintai kamu dengan sederhana. Kesimpulan yang dapat diambil dari puisi ini ialah Cintailah seseorang dengan tulus dan apa adanya dan Segera ungkapkan isi hati kita kepada orang yang dicinta sebelum semuanya terlambat karena biasanya kesempatan tidak datang dua kali. lebih baik diungkapkan dari pada tidak diungkapkan. Stuktur Puisi Struktur Fisik Diksi (pilihan kata) Pilihan kata banyak mengunakan kata-kata yang bernada serius, dipantulkan oleh kata-kata: Mencintaimu, sederhana, kayu, api, abu, isyarat, awan, hujan, tiada Majas (bahasa kiasan) Gaya bahasa yang terdapat dalam puisi diatas adalah majas personifikasi yang ditemukan pada kalimat: “Dengan kata yang tak sempat, diucapkan kayu kepada api” “Dengan isyarat yang tak sempat, disampaikan awan kepada hujan” Pengimajinasian (pencitraan) Penggunaan kata-kata yang digambarkan atas bayangan konkret apa yang kita hayati secara langsung melalui pengindraan manusia. Imaji Pendengaran Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api Imaji visual Penglihatan Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan Rima Masih mengikuti pola lama. Rima akhir setiap bait( / Mu-na-at-pi-bu (abab) dan (/Mu-na-at-an-da(aabb), dan pada bait ketiga rima akhir berubah menjadi (abab). Struktur Batin Puisi Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair dan stuktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya (Waluyo, 1987:102). I.A.Richards dalam J.Waluyo (1987:106) menyebutkan makna atau stuktur batin itu dengan istilah hakekat puisi. Ada empat unsur hakekat puisi yakni. Tema Puisi di atas dapat dianalisis bahwa temanya adalah cinta. Saat penyair  menyampaikan bagaimana keinginanya untuk mencintai dengan sederhana. Perasaan Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu kita menelaah dari bait ke bait. Perasaan yang serius dan menginginkan tentang tindakan yang tidak terlalu menggebu- gebu. Nada Nada puisi tersebut adalah Penyair menyceritakan perasaanya dengan nada memberi  tahu dengan lembut dan penuh dengan penghayatan . Amanat Amanat puisi itu menyatakan bahwa penyair ingin mengungkapkan  tentang apa yang dirasakanya dengan tenang dan sederhana tanpa dengan perbuatan yang mengada-ada. Analisis Semantik Aspek Tokoh Tokoh “Aku”di dalam puisi ini diceritakan adalah pribadi yang sederhana, apa adanya, tidak berlebihan kepada orang yang dicintainya (Aku ingin mencintaimu dengan sederhana). Ia juga merupakan seseorang yang pendiam, kurang suka mengekspresikan rasa cintanya melalui perkataan. Hal tersebut dibuktikan oleh salah satu larik dalam puisi tersebut; yakni “Dengan kata yang tak pernah diucapkan”. Ia lebih suka membuktikan ketulusan cintanya dengan sederhana; bukan melalui perkataan semata, tetapi membuktikannya secara langsung melalui tindakan yang menyatakan rasa sayangnya untuk orang yang dicintainya. Justru mencintai seseorang dengan sederhana itulah yang merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan. Namun, tokoh “Aku” di dalam puisi ini terlambat untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dicintainya dan itu membuat hatinya hancur bagaikan kayu yang dibakar menjadi abu (dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu). Bait kedua mempunyai makna yang sama dengan bait pertama, hanya saja pada baris keduanya, tokoh “Aku” ingin menyatakan cintanya dengan menggunakan isyarat, tetapi dia terlambat menyatakan cintanya dan orang yang dicintainya meninggalkan dan hilang dari tokoh “Aku” bagaikan awan yang ditinggali oleh air-air yang awalnya terdapat dalam awan. (dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada). Larik ini menunjukkan sang penulis puisi yang terlambat mengungkapkan cinta bagi orang yang dicintainya, sehingga makna dari rasa cintanya selama ini menjadi tiada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sang penulis puisi merupakan seorang pribadi yang hati-hati dan penuh pertimbangan, sehingga ia terlambat menyatakan cintanya. Aspek ruang Jika ditelaah secara mendalam, dapat dideteksi beberapa unsur yang bisa mengindikasikan ruang, seperti kayu, api, awan dan hujan. Sapardi melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam untuk dijadikan simbol-simbol dalam puisinya. Kayu dan awan menyimbolkan seorang laki-laki yang ingin menyatakan cintanya, tetapi tidak tercapai, sedangkan api dan hujan menyimbolkan seorang perempuan yang acuh tak acuh terhadap cinta pria tersebut. Selain itu, unsur lain dalam puisi tersebut yaitu awan dan hujan, semakin menegaskan bahwa latar tempat yang digunakan adalah ruang terbuka, karena penulis mudah menemukan inspirasi ketika menatap pada sesuatu yang berpijak di tanah dan yang bisa ditemukan di langit. Aspek ruang lainnya adalah tempat antara tokoh (aku) dan orang yang dicintainya (mu), yaitu ruang relasi mereka berdua. Aspek waktu Waktu yang ditunjukkan dalam puisi yaitu, saat tokoh “Aku” terlambat untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dicintainya dan membuat dirinya tersakiti (Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu) dan pada saat-saat terakhir tokoh “Aku” mendapatkan kesempatan untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dikasihinya, tetapi terlambat sehingga orang yang dicintainya pergi. Waktu antara ’aku’ dan ’mu’ telah habis dan tiada kesempatan lagi Analisis Pragmatik Pada puisi aku ingin, penutur dalam hal ini penyair mengajak petutur berkomunikasi melalui tuturan-tuturannya, sehingga penutur membutuhkan perhatian khusus melalui setiap kalimat dalam baitnya. aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Tuturan di atas merupakan satuan lokusi yang dituturkan oleh penyair, penutur menuturkan tuturan diatas, dengan tujuan membuat penutur memperhatikan hal yang dituturkannya. Penyair sengaja memakai bahasa yang mudah di mengerti sehingga petutur dapat memaknai kalimat demi kalimat yang hendak disampaikan oleh penutur yang dalam hal ini adalah penyair sendiri. Hal ini ditunjukkan dari kata aku yang merupakan penyair sebagai dirinya sendiri. Selain itu, penutur juga memakai diksi yang kontradiktif, hal ini terlihat pada baris ketiga, penutur menggunakan kata kayu kepada api yang menjadikan abu, kata kayu sendiri bermakna bagian batang atau cabang serta ranting tumbuhan, namun dalam hal ini kayu yang disematkan pada kata kayu kepada api bermakna kekokohan sebuah cinta yang mampu melewati apapun. Selain itu, penyair memakai diksi ini untuk menarik perhatian petutur dan dan juga menerima pesan yang ingin disampaikan. Pada akhirnya, perlokusi yang timbul yang disebabkan pada baik pertama dan kedua diatas adalah penutur ingin mendapatkan atensi dari pututur, itu perlokusi pertama. Perlokusi kedua adalah penutur tidak hanya ingin diperhatikan oleh petutur, tetapi petutur dapat menyimak bait tiap baik sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh petutur. aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Tuturan di atas adalah bentuk lokusi yang ada dalam puisi aku ingin. Penutur bermaksud untuk menginformasikan kepada petutur tentang hal-hal yang dapat dilakukan nya. Tuturan yang disampaikan diatas oleh penutur merupakan kalimat analogi yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal ini, dapat diklasifikan sebagai ilokusi. Di awal tuturan, penulis menggunakan kata aku sebagai inti dari subyek dalam puisi tersebut.pada kalimat dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada merupakan lanjutan ungkapan penutur tentang dampak yang akan terjadi akibat dari ungkapan tersebut. Perlokusi yang timbul akibat dari lokusi dan ilokusi pada teks diatas adalah ungkapan rasa cinta yang sederhana namun dibarengi dengan perumpamaan yang luas dan mengena. Pada kalimat aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dalam hal ini penutur mengajak biacar petutur, sehingga diksi yang di pilih oleh penutur adalah aku. Adapun orang-orang yang mendengarkan puisi ini dituturkan merupakan penerima pesan yang dapat menginterpretasikan isi tuturan sesuai pemahaman sesuai dengan konteks yang dimiliki. BAB IV KESIMPULAN Menyatakan bahwa cinta yang sederhana justru adalah cinta yang besar dan cinta yang sesungguhnya. Semakin kita mengatakan cinta yang sederhana itulah kekuatan cinta. Karena sesungguhnya, manusia tidak mudah untuk dapat mencintai dengan sederhana. Karena cinta yang sederhana adalah cinta yang dapat menerima apa adanya dan juga menampilkan diri apa ada diri kita. Akan tetapi, keberadaan kata "ingin" justru akan meniadakan pergolakan batin aku lirik—hilangnya suatu proses bahwa cinta itu tidak mudah, bahwa cinta itu tidak sederhana, bahwa cinta itu pelik, butuh kesabaran, ketabahan, keikhlasan, ketawadukan, dan untuk mencapai itu bukan hal yang mudah, dan ini adalah proses dari “ingin”– seperti proses yang dicitrakan atau di surat-siratkan dalam susunan frasa larik-larik selanjutnya tentang makna cinta sederhana yang sebenarnya tidak sederhana. DAFTAR PUSTAKA ----------. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajiani Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni (Kumpulan Puisi). Jakarta: Grasindo. ---------. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Tim Kemdikbud. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V. Jakarta: Pusat Bahasa Waluyo, Herman J. 1987. Teori  dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. http://yusrayus10.blogspot.co.id/2014/01/prosodi-dan-suprasegmental.html