Selasa, 02 Mei 2017

Bimbing Aku


Oleh: Iis Nia Daniar

Maraknya kenakalan remaja saat ini seperti tawuran antarpelajar, penyalahgunaan obat-obatan (eximer, tramadol, zolam, dexstro, three-X, double-H), dan pencurian  membuat keprihatinan dari pelbagai pihak. Kendati beberapa sekolah telah menerapkan sistem full day school atau melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler untuk menekan kenakalan remaja, tetap tidak bisa menghilangkan kebiasaan sebagian pelajar yang dapat merugikan diri sendiri ini. Dalam persoalan tersebut tentu semua pihak tidak mau dipersalahkan. Pihak sekolah merasa telah memberikan pelayanan maksimal terhadap para siswa dengan tahapan pembinaan wali kelas, wakil kesiswaan, guru bimbingan konseling, dan bahkan kepala sekolah. Namun, pembinaan-pembinaan tersebut tidak memberikan dampak perubahan sikap yang signifikan bagi siswa yang berlatar belakang keluarga “tidak peduli” terhadap anak-anaknya. 
Demikian halnya dengan orang tua merasa telah memberikan segalanya kepada anak baik itu kasih sayang, materi, maupun pendidikan. Namun, setelah ditelusuri ada hal yang tidak diberikan pada anak, yaitu kepedulian dari sekolah dan terlebih dari orang tua. Ketidakpedulian orang tua inilah yang merupakan pemicu utama permasalahan dalam diri anak. Permasalahan itu bertumpuk terus-menerus hingga mencapai klimaks dan disalurkan melalui tindakan negatif. Tidak bermaksud menyalahkan orang tua, tetapi faktanya siswa-siswa yang terbelit masalah adalah mereka yang mempunyai hubungan kurang baik dan bahkan terlalu “baik” dengan orang tuanya.

Hubungan Kurang Baik
Hubungan kurang baik antara anak dan orang tua bisa disebabkan oleh beberapa kondisi misalnya perceraian (hidup atau meninggal), perselisihan suami--istri yang berkelanjutan, dan anak yang berada dalam pengasuhan selain orang tua. Kondisi-kondisi ini sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis si anak. Apalagi anak-anak yang berkategori di bawah usia dewasa. Pola pikir mereka masih harus diarahkan dan dibimbing oleh orang dewasa, terutama ibu. Hal tersebut sejalan dengan teori diferensial yang menyatakan bahwa “Anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih 6 tahun, baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan dengan orang-orang dewasa yang lain”.
Pada usia yang belum dewasa anak akan cenderung mencoba-coba suatu hal yang menarik perhatiannya walaupun itu akan membahayakan diri mereka sendiri. Pada situasi seperti inilah peran orang tua sangat penting dengan memberikan dukungan dan arahan bagi si anak. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Erikson mengatakan jangan pernah memberikan nasihat atau kritik yang berlebihan karena si anak akan tumbuh dengan rasa ragu-ragu terhadap kemampuannya.
Bagaimana dengan anak yang sudah terlanjur memiliki kondisi-kondisi di atas? Di sinilah diperlukan kelapangdadaan orang dewasa. Orang dewasa yang mempunyai hubungan dekat dengan si anak harus mau dan bisa memberikan arahan yang positif. Arahan positif tanpa kritikan yang berlebih akan mendongkrak prestasi belajar si anak di sekolah.

Hubungan Terlalu “Baik”
Yang dimaksud dengan hubungan terlalu “baik” adalah sikap over protective orang tua. Sikap ini sebenarnya merupakan curahan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, tetapi porsinya berlebih. Si anak seolah-olah tidak mempunyai jiwa, semuanya berdasarkan perintah dan aturan orang tua tanpa memberikan kesempatan si anak untuk bertanya. Padahal anak-anak sejak awal bisa berbicara adalah seorang ilmuwan karena mereka pasti selalu bertanya apa ini dan apa itu kepada orang tuanya layaknya seorang peneliti.
Keinginantahuan si anak akan tersumbat kalau orang tua terlalu mengkritisinya tanpa memberikan alasan yang logis. Paling tidak alasan itu dapat disertai contoh nyata dalam kehidupan yang paling dekat: keluarga dan lingkungan si anak. Si anak akan tumbuh menjadi tidak percaya diri sehingga tidak bisa mengembangkan bakatnya.
Kemungkinan dari sikap over protective  berikutnya adalah si anak akan mencari-cari sendiri jawaban di lingkungan luar keluarga. Hal inilah yang sangat berbahaya. Si anak yang masih labil dalam pemikirannya bisa dipengaruhi oleh hal-hal negatif. Dia bisa terjebak dalam pergaulan yang selama ini dilarang oleh orang tua.
Akan tetapi, sikap terlalu membebaskan anak pun berdampak kurang baik. Si anak seolah-olah seperti layang-layang yang diputuskan dari benang. Dia akan terbang ke segala arah sesuka hati mengikuti tiupan angin. Anak akan merasa tidak mempunyai pedoman dalam hidupnya. Tidak ada yang mesti dicapai dan tidak ada yang mesti dihasilkan dalam hidup. Si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab apalagi jika nilai-nilai agama dan moral tidak diberikan oleh orang tua sejak dini.
Kedua sikap orang tua seperti di atas akan berpengaruh langsung terhadap ketercapaian kreteria ketuntasan belajar di sekolah. Kompetensi sikap yang tercakup dalam kurikulum 2013 juga akan memengaruhi hasil belajar siswa. Dengan demikian, si anak mengalami kegagalan yang berlapis, yaitu gagal dalam pembentukan pribadi dan gagal dalam bidang akademik. Jika sudah terlanjur seperti ini, siapa yang bertanggung jawab?
Jadi, peran orang tua dalam pendidikan sangat fundamental. Orang tua harus bisa menentukan strategi dalam membina hubungan dengan anak-anaknya demi masa depan mereka.