Sabtu, 27 Mei 2017

Aku Benci Langit Biru

                
Oleh: Iis Nia Daniar
Berjalan menyusuri pematang sawah, angin sayup meraba setiap helaian rambutku. Angan terhenti pada akhir tahun lalu. Ada rasa kesal, marah, muak, dan entah apa lagi. Nistapun kembali menyelimuti hati. Jika tidak ada para bu tani dan pak tani yang asyik menyiangi rumput-rumput pengganggu tanaman padi, mungkin teriakanku sudah memecah kedamaian siang ini.
“Ah, ...,” dalam kutarik napas.
Mata ini terlalu berat karena membendung air yang hendak menerobos keluar. Wajahku tertunduk lesu. Namun, seraya tatapanku terpana pada langit yang membiru dalam parit. Langit masih biru, pikirku. Berarti catatan dosaku masih tersimpan rapi pada Atid.  Dosa, lagi-lagi tentang dosa. Dosaku yang sudah menumpuk menjadi tiga gunung atau bahkan lebih.
Saraswati, apa yang ada dalam pikiranmu ketika itu?” gumamku pelan mengiringi lemparan kerikilku ke permukaan air parit.
Sengaja kuamati air parit itu, tetapi sayangnya bekas lemparanku hanya mampu membentuk satu lubang bulatan dan tiga tumpuk riak kecil. Langit birunya masih tampak angkuh. Aku benci! Ku coba melepas lelah dengan duduk-duduk di atas rerumput pematang. Pematang ini tidak begitu sempit, pikirku.
“Kamu dimana?”
“Aku sudah berada depan taman,” bersemangat aku menjawab panggilan dari nomor yang sudah sangat ku kenal.
Kulihat Yadi mengenakan jaket putih kesayangannya. Tidak ada getar apalagi debar di jantungku. Biasa saja, seperti bertemu dengan Roni, Willy, dan teman lelakiku lainnya. Kami satu hobi, itu yang membuatku mengiyakan Yadi saat dia memintaku untuk bertemu. Kebetulan hari itu akhir Desember, kami berjanji makan bareng di daerah sekitar gedung olahraga kota. Mie ayam dan es teh manis pilihan kami, dan kali ini Yadi yang membayar.
Yadi bercerita tentang banyak pengalamannya ketika masih di sekolah dulu, saat dia mengikuti pelbagai lomba, sampai proses penciptaan karya puisi. Aku agak suka sih. Mataku terpaku pada rambutnya yang keriting, jariku memainkan ujung sedotan di gelas es. Mendengarkan ceritanya, ada perasaan jenuh bergelayut di dada. Tutur kata dan susunan kalimatnya tidak seperti karya-karya yang ia telurkan.  Hem, bahasa lelaki yang ingin dipuji.
Tanpa Yadi sadari telingaku lebih memilih mendengarkan lagu “Birunya Rindu” yang diputar oleh pedagang mie. Akan tetapi, sayang pada liriknya terdapat birunya langit.... Cepat-cepat kualihkan pendengaranku kembali pada Yadi. Dia masih asyik dengan ceritanya, tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara.
Waktupun merayap menuju malam, setelah kami keluar dari kantin jajanan yang letaknya di tribun barat stadion. Kami berjalan menyusuri temaram taman. Tanganku menggenggam tangannya seperti muda-mudi yang dimabuk asmara. Kami duduk di bangku panjang. Belum selesai aku meletakkan bokongku di bangku itu, Yadi sudah menarik tanganku dan dengan cepat memagut bibirku. Kedua mata kupejamkan bukan karena ingin menikmati, melainkan karena malu pada jejangkrik yang ramai mengerik.
“Malam ini terakhir kita bertemu.”
“Kenapa?” tanyaku sembari mengatur napas. Tidak munafik, aku sedikit menikmati lumatan Yadi meski dosa membayang.
“Besok aku berangkat ke Cirebon, pengantin wanitaku telah menunggu di sana,” lanjut Yadi dengan tak melepaskan genggamannya pada tanganku.
Hmmm, ... lelaki ini. Apa hatinya telah membatu? Bermesraan denganku semalam sebelum pernikahannya. Seharusnya dia mengerti hatiku dan hati perempuannya jika memang dia adalah puisi. Lelaki yang berada di hadapanku ini rupanya hanya ingin bermain dan mengumbar gairah cinta. Sungguh aku sakit. Ternyata simpulanku tentang lelaki adalah benar: makhluk kuat tak berhati.
“Kok, diam,” tegur Yadi menghentikan lamunanku.
Aku tersenyum dan beranjak duduk di pangkuannya. Jika kau ingin bermain-main, baiklah akan aku layani. Setelah kau merasa aku takluk, kau akan kulepaskan semudah kau melepaskan kancing baju di dadaku.
“Bisa kita pergi ke suatu tempat yang lebih privasi?”
“Tidak, besok aku ada privat,” kataku tegas.
“Sekali ini saja,” paksa Yadi dan tatapannya berusaha meyakinkanku.
“Tidak, aku takut Tuhan,” kataku sambil berusaha melepaskan pelukan dan bangkit dari pangkuannya.
Yadi menganggukan kepala perlahan. Dari sudut mata kanan, aku bisa melihat ada kekecewaan di wajahnya. Aku tidak perduli. Kutarik tanggannya dan mengajak berjalan menuju pintu keluar taman.
“Saras, tega sekali kau,” rajuk Yadi.
Aku hanya menunjukkan ujung jariku ke arah jam tangan yang terpasang di lengan kiri.
“Pukul 22.00,” singkat jawabanku.
Kami berpisah di tempat parkir motor. Yadi melaju motor dengan cepat. Aku tertawa puas melihat belakang punggungnya. Anak muda harus diberi pelajaran, pikirku nakal.
Entah sejak kapan, aku menggila. Irama hatiku naik turun, mungkin karena iman ini yang setipis kulit bawang. Di benakku lelaki hanyalah penganggu alur hidup. Cukup Adit, Tito, dan terakhir Yadi menjadi sampel penguat teoriku tentang makhluk kuat tak berhati ini. Meskipun demikian, pada malam-malam beku terkadang aku merindukan kehangatan darinya.
Pluuuuuk ....
Aku tersentak dari lamunan dan berusaha berdiri memandang jauh ke tengah sawah. Orang-orang tani itu masih kuat berjibaku dengan lumpur di tengah terik. Kutengok riak air terakhir dari jatuhnya belalang hijau yang cukup besar. Riak itu masih tidak sanggup melenyapkan langit biru di parit.
Lemas aku duduk kembali di tempat semula. Rumput-rumputnya telah merebah karena tertindih bokongku tadi. Tatapanku tak mau lepas dari belalang hijau di dalam air parit. Dia mati tanpa ada sanak saudara yang tahu. Bangkainya kedinginan dalam air yang tidak begitu dalam. Tidak satupun yang menolong ketika terjatuh tadi, termasuk aku. Kejam dunia ini. Ada yang datang dan ada yang pergi. Datang sendiri, pergipun sendiri. Lalu buat apa aku memiliki pendamping hidup? Apa hanya sekadar untuk lucu-lucuan seperti kata Maya siswa kelas 12-ku saat ditanya apa motifnya memiliki kekasih?
Pikiranku menari-nari tidak karuan. Andai saja Tito bersikap baik padaku dengan menerima aku apa adanya, mungkin aku masih bisa bahagia dalam bahtera cinta yang kubina beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, aku tahu persis hati dan pikiran Tito, dia takpernah memberikan sayangnya secara utuh. Cintanya telah dibagi-bagi kepada perempuan-perempuan selainku. Bahkan Tyras, Tito telah menganggapnya tidak pernah terlahir.
“Tito,” pelan bibirku menyebut nama itu tanpa sadar.
Aku masih tidak bisa melepaskan sosok itu dari benak. Bayangannya selalu hadir di retinaku, apalagi anak perempuan tunggalku selalu menanyakan ayahnya. Tito terlalu membekas. Sebenarnya sebagian jiwaku adalah jiwanya. Namun, ah, entahlah!
“Langit masih biru dan kita berada di bawahnya. Walaupun jarak memisahkan yakinlah Saraswati, oksigen yang kita hirup adalah sama.”
Kalimat itu masih terngiang di telinga dan dadaku rasa sesak bila mengingat Tito melepaskanku begitu mudah seperti mengucapkan langit masih biru .... Tanpa beban dan tanpa penyesalan. Cinta di antara kami bak hilang tanpa residu sejak saat pertemuan terakhir di stasiun kereta. Tito pergi meninggalkan aku dan buah hati kami  demi cinta pertamanya. Yang tersisa kini hanya dendam pada langit biru. Seandainya aku bisa melukis langit, tentu telah kuganti warnanya menjadi hijau agar kulihat terkulai ia di dalam parit.
“Kasihan,” tanganku mengambil belalang dengan  daun yang kupetik dari pohon liar pinggir parit.
Tito, langit birumu sungguh biadab. Ia telah menjerumuskanku pada perasaan yang tidak kumengerti, ada perih, rindu, bahkan dendam. Itulah yang membuatku berfantasi rasa dengan Yadi meskipun akhirinya aku menyerah dengan perasaan takut pada Tuhan.
“Dit, jangan lari-lari!” teriakan ibu tani membuyarkan lamunanku.
“Hai, jangan berlari nanti kau terjerembab ke parit!” kataku kepada anak kecil berkaus merah yang hampir separuh badannya berlumpur.
Anak itu hanya tertawa-tawa kecil dan melanjutkan larinya, sedangkan si ibu mengikuti dari belakang dengan was-was. Aku tersenyum padanya sembari menganggukkan kepala.
“Mari, Mba!” tergopoh-gopoh wanita yang tampak lebih muda dari aku menyusul anaknya.
“Adit! Adit!”
Adit? Mengapa Adit? Huh, kemana lelaki itu? Sampai aku dilamar dengan Tito sahabatnya, batang hidungnya takmuncul. Dasar lelaki tak bertanggung jawab! Kabar terakhir yang kuterima, Adit berada di Aceh. Aku berharap dia ikut terhempas tsunami. Adit  kautahu perlakuan Tito terhadapku? Dia menganggapmu sebagai ayah dari anakku. Tito tahu kau telah menjamahku di bawah langit biru saat kita camping dulu.
Kututup wajahku dengan kedua belah telapak tanganku sembari menghela napas panjang. Otakku seperti berontak hendak keluar dari kepala. Kurasakan angin bertiup terlalu kencang hingga tubuhku menggigil. Isak tidak bisa kukeluarkan hanya tertahan di tenggorokan. Bumi seperti berputar-putar. Padi-padi yang bergoyang seolah menunjuk-nunjuk dan mengecamku; aku adalah perempuan dengan seribu dosa.
“Bunda! Bunda sedang apa di sini?” suara itu begitu lembut, air mata kerinduan meleleh di kedua belah mataku.
“Sayang Bunda, bagaimana keadaanmu? Siapa yang menemanimu, Nak?”
“Bunda, aku sangat bahagia. Banyak, Bun,” sambil berlari memelukku, “Bunda kenapa di sini?”
“Bunda sedang melihat-lihat sawah Pak Le Marno. Lihatlah, Nak sungguh indah liuk padi diterpa angin!” tunjukku ke arah depan kami.
Tyras hanya tersenyum kecil. Tubuhnya yang mungil bergaun putih. Ah, anakku memang mewarisi pesona ayahnya. Enam tahun lalu nama Tyras kuberikan pada bayi perempuan mungil yang lahir dari rahimku. Yah, nama itu merupakan perpaduan nama kami, Tito dan Saras. Meskipun Tito tidak pernah menggendong ataupun menimang Tyras, aku sangat bahagia bisa melahirkan dan membesarkannya. Tingkah Tyras yang menggemaskan adalah obat penawar dari segala kepenatan.
“Bunda bawa obat buat,” kucium pipi gempal Tyras.
“Tidak, Bunda.”
“Kenapa?”
“Tyras sudah sembuh,” matanya yang bulat lucu menatapku. Tanganku mengelus rambut panjangnya.Wangi surgapun menyeruak di antara helaiannya.
“Bun, jangan pernah menangis lagi. Kalau Bunda sedih, Tyras juga ikut sedih.”
“Tyras, Bunda rindu.”
“Belum saatnya kita bersama, Bun,” Tyras melepaskan diri dari pangkuanku.
“Tyras, tunggu!” teriakku membubarkan burung-burung sawah.
Namun, Tyras tetap berlalu dariku. Dia mengacuhkan panggilanku yang beberapa kali hingga suaraku hilang. Tyras apa kau tidak memafkan Bunda, Nak? Bunda yang salah. Bunda terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga terlambat membawamu ke dokter.
“Tyras ....”
Seandainya dulu Bunda tahu sakitmu, tentunya Bunda akan mengobatimu lebih awal. Anakku, jika Bunda tahu kau akan pergi, pastilah Bunda tidak akan berangkat kerja hari itu. Bunda menyesal, Nak. Sangat menyesal! Entah harus berkata apa padamu tentang penyesalan ini, Tyras sayang. Kalau saja tidak ada larangan agama, Bunda telah menyusulmu sejak dulu, Nak.
Siang di pematang ini membuat air mataku membanjiri parit. Tidak tahu lagi harus berkata apa? Tidak tahu lagi harus bagaimana? Disaksikan langit yang membiru dan pikuk kota, 6 tahun yang lalu Tyrasku telah pergi untuk selamanya di hadapanku sama seperti belalang hijau ini.
Tanganku memungut kembali belalang yang telah kubuang, mengamatinya sembari sesekali menyeka air mataku dengan ujung-ujung baju yang kukenakan. Aku menggali tanah  dan menguburkan belalang hijau itu bersama daun pembungkusnya.
“Istirahatlah belalang malang!” tanah kututup kembali.
“Jika kau sampai ke surga, tolong cari anakku Tyras dan sampaikan padanya bahwa aku sangat menyayanginya,” kutekan-tekan tanah yang sudah menutup seluruh tubuh belalang itu, “sampaikan juga padanya, tunggulah Bunda!”
Selesai menguburkan belalang hijau, aku kembali melongok parit. Tetap langit biru itu masih ada. Ombakan padi bergulung-gulung dipermainkan angin, seolah kembali mengejekku.
“Oh, Tuhan! Mungkinkan dosa-dosaku akan terhapus?” kembali penyesalan berkecamuk dalam dada.
“Saras!” muncul sosok Tito entah datang dari mana.
“Tega sekali kau,” Yadi memakiku, kedua mataku berputar-putar.
“Bunda!”
“Tyras! Tyras! Tyras!” seperti kesetanan aku terus memanggil-manggilnya.
“Nduk, Nduk! Bangun! Nduk, ealah tidur kok di pematang,” suara  itu membangunkanku.
Samar mataku menangkap wanita setengah baya yang sudah berjongkok di samping tubuhku. Ternyata wanita itu Bu Lek Marno. Aku terperangah, kuraba baju bagian pundak dan dadaku basah semua. Sudut-sudut mataku masih menyisakan air mata. Kepala masih pusing, dan telinga masih berdengung. Bu Lek memukul punggungku pelan.
“Ayo kita pulang sudah mau ashar!”
*****