Oleh: Iis Nia Daniar
Deras hujan semakin asyik memainkan lamunan. Kau ingat saat ku katakan mari kita gunting benang ini?
Kuyup baju kita menantang hujan. Air mataku dan air matamu jatuh bersatu dengan air hujan di pinggir jalan kota ini.
Mungkin aku adalah perempuan termunafik di dunia ini. Aku ingin tahu apa saja yang kamu kerjakan hari ini, bagaimana keadaanmu, sudahkah kau makan, dan ingin setiap hari kutanyakan apakah masih ada aku bersembunyi di balik binar matamu?
Kau merah hatiku, tanpamu di setiap langkah adalah mimpi burukku.
Namun, lagi-lagi aku hanya mengharapkan langit menyatukan rindu ini. Aku tak kuasa melanjutkan langkah. Maafku pada biru cinta kita.
Meskipun demikian, namamu tetap kusebut sebelum kata aamiin, yra. di setiap sujudku.