Selamat Jalan Pak Dudung!
Oleh: Iis Nia Daniar
Ah, takada yang bisa ku gambarkan secara detail tentangmu teman paling lucu, paling cengeng, dan paling menjengkelkan. Pak Dudung entah kapan kita bertemu di sekolah ini dan entah kapan juga kita menjadi dekat, aku telah lupa. Yang aku ingat kau guru IPA dan mantan wakil kurikulum yang selengean.
“Is situ gak punya perut apa?” Teriaknya dari bangku pojok, tempat favoritnya.
“Hihihi yuk makan siang di mana nih?” Tantangku sambil bercanda padahal satu mangkuk mie instan pakai telur made in kantin sekolah telah kusantap.
Pak Dudung hanya mesem-mesem sembari menggoda siswa yang sedang menaruh tugas di ruang guru.
“Eh, Riska! Bu Is nih anaknya bu Dian. Persis galon kan? Kalau Riskanya galon, emaknya apa ya? Wakakakak. “
“Wah, parah nih Pak Dudung! Bu Dian dikatain Pak Dudung tuh. “ Kataku cengengesan menahan tertawa lepas melihat ekspresi Bu Dian yang seperti hendak memakan Pak Dudung.
“Si Dudung mah emang kaya gitu, lihat saja nanti aku makan sama ayam gak akan dibagi kamu.” Jawab Bu Dian sambil melotot.
“Terus… terus… terus!” Kami yang berada di ruangan karena sedang jam istirahat menyaksikan kelakar mereka dengan gembira seolah mendapatkan hiburan.
“Ayo Beb ke warung makan ayam! Eh, mana tangannya. Kok saya gandeng kakinya?” Pak Dudung menghampiri Bu Dian sambil terus bercanda, tawa kamipun pecah.
Begitulah hari-hari kami di ruang guru pada sekolah ini diwarnai canda dan kadang-kadang benturan antarteman guru. Namun, itu yang membuat aku berasa hidup.
Pak Dudung memang tidak bisa lepas dari image bercanda, pernah suatu Senin dia menjadi pembina upacara. Ketika hendak menyampaikan amanat, siswa-siswa yang berbaris sudah tertawa terpingkal-pingkal padahal Pak Dudung belum berbicara. Takpelak kamipun rekan guru ikut tertawa.
Kenangan-kenangan seperti itu yang membuat dadaku terasa sesak bila mengingat dia. Bukan hanya aku, melainkan semua teman-temanku dan bahkan siswa-siswa kami. Di Jumat pagi dengan iringan hujan di rumahku, jantungku terasa berhenti saat membaca what’s up grup sekolah.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun, telah berpulang rekan kita Dudung Anggara Mukti, S. Pd.”
Badanku lemas karena kakiku terasa melayang. Ingatanku berputar ke masa yang telah lalu. Banyak kejadian yang kami lalui bersama dan banyak jasa yang telah Pak Dudung berikan untuk sekolah dan aku. Tanpa jasanya aku tidak mungkin bisa melanjutkan hidup setegar ini setelah anak keduaku meninggal. Air mataku masih mengintip di pelupuk jika mengingat tentang Pak Dudung, rekan kami tercinta.