Senin, 12 Desember 2016

Puisi "Kepada Uang", Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis

Puisi "Kepada Uang",  Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis
Oleh: Iis Nia Daniar

Kepada Uang
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

(Joko Pinurbo 2006 :18)

Pekerjaan Mimpi
Unsur-unsur yang tercakup dalam pekerjaan mimpi dalam puisi Kepada Uang, karya Joko Pinorbo sebagai berikut,
Figurasi: mimpi selalu dalam bentuk gambar
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)

Mimpi “Aku” difigurasikan dalam bentuk rumah yang dapat dibeli dan nyaman untuk berlindung ketika usia sudah menua (senja). Hal ini ditunjukkan pada larik ke-1 dan larik ke-2. Rumah yang diinginkan adalah rumah dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan atau tanaman sehingga jika jendela rumah terbuka, “Aku” dapat menikmati pemandangan tersebut (larik ke-3).

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Mimpi “Aku” berikutnya difigurasikan dalam bentuk ranjang dengan model yang sederhana (larik ke-7). Ranjang dengan kasur yang hangat sekadar untuk berbaring ketika “Aku” merasakan sakit encoknya menjalar kembali (larik ke-8). Ranjang yang diharapkan “Aku” adalah ranjang yang lentur pada bagian bawahnya, atau semacam sprigbed dengan per-per yang lentur sehingga “Aku” merasa nyaman berada di atasnya (larik ke-9).

Simbolisasi: digunakannya lambang-lambang untuk menyembunyikan hasrat taksadar.

Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)

Uang, rumah yang murah, jendelanya hijau menganga, dan ranjang yang lugu saja adalah kata-kata simbol keinginan “Aku” untuk memiki uang agar dapat membeli rumah yang nyaman dan ranjang yang sederhana. Keinginanan yang sesungguhnya adalah bebasnya “Aku” dari ketidakmampuan dalam hidupnya atau miskin materi.
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Merawat encok-encokku dan lentur dan liat seperti kaki masa kecilku adalah simbol dari ketidakberdayaan fisik “Aku” di usianya sekarang karena penyakit yang encok yang diidapnya. Kaki “Aku” sudah mengaku atau sulit digerakkan sehingga tidak bisa menopang badannya. Oleh karena itu, “Aku” menginginkan ranjang yang lugu dan cukup hangat untuk berbaring.

Kondensasi: digunakan penumpukan untuk menyamarkan hasrat taksadar.

Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Kesadaran “Aku” akan keterbatasannya dalam materi membuat dia menahan keingiannya seperti yang tertulis pada larik ke-4. “Aku” tidak mempunyai uang, dia hanya memiliki rasa lapar dan sakit (larik ke-6). Oleh karena itu, dia hanya mengubur mimpi dan keinginannya (larik ke-5).

Pengalihan: digunakan pengalihan untuk menyamarkan hasrat taksadar

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Setelah sadar akan ketidakmampuannya, “Aku” tetap menginginkan mempunyai materi meskipun dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu ranjang. Pada larik ke-7, 8, dan 9 hasrat “Aku” untuk terbebas dari kemiskinan dialihkan pada keinginannya memiliki ranjang yang hangat dengan kasur yang empuk untuk berbaring karena sakit encok menyebabkan kakinya tidak bisa bergerak.

Distorsi Bahasa dalam Puisi Kepada Uang, Karya Joko Pinurbo
Distorsi/dis·tor·si/ n 1 pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan: untuk memperoleh keuntungan pribadi tidak jarang orang melakukan -- terhadap fakta yang ada; 2 gangguan dalam siaran radio yang mengubah mutu siaran; 3 Fis perubahan bentuk yang tidak diinginkan; eroton; 4 Dok hal terkilir (kaki dan sebagainya); 5 ark perubahan bentuk pada benda gerabah yang disebabkan oleh pengeringan terlampau cepat dan tidak merata karena pencampuran bahan tidak merata waktu pencetakanhttp://kbbi.web.id/distorsi
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Distorsi bahasa yang terdapat pada puisi Kepada Uang, karya Joko Pinurbo terdapat pada larik (1) dan (2) menganggap uang mampu memberikan rumah dan ranjang. Kata lugu sebagai keterangan dari ranjang yang diinginkan “Aku”. Kata lugu ini dipilih sebagai sinonim kata sederhana (larik ke-7). Larik ke-3  terdapat frasa nomina yang jendelanya hijau menganga maksudnya adalah  tanaman yang dapat dilihat dari jendela ketika jendela itu terbuka. Seperti jendela mataku maksudnya adalah pintu jendela yang mudah dibuka seperti mudahnya membuka kelopak mata “Aku”.
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Distorsi bahasapun terdapat pada larik ke-5, “Aku” sadar tidak mampu mewujudkan impiannya karena  dia tidak berdaya. “Aku” hanya memiliki rasa sakit (larik ke-6). Larik ke-8 terdapat frasa verba merawat encok-encokku yang mengandung pengertian merasakan penyakit encok yang sedang menjalar. Larik ke-9  adalah penyimpangan dari makna ranjang yang nyaman dengan kasur yang empuk.  Seperti kaki masa kecilku menyirakan bahwa kaki “Aku” dulu keadaannya tidak seperti kaki yang sekarang.
Hal-hal yang Penting dalam Psikoanalisis
Id adalah bentukan awal, sumber energi, reservoi, pulsi primer, keos yang terus-menerus bergerak, sumber semua prosesus psikis, pusat pulsi-pulsi dasar dan hasrat-hasrat yang terekspresi. Id dalam puisi Kepada Uang adalah kemiskinan karena ketidakberdayaan fisik akibat usia. Hal tersebut terdapat dalam larik berikut.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

“Aku” yang dideskripsikan sebagai seseorang yang tidak memiliki rumah, usianya telah senja atau tua. Bukan hanya itu, si “Aku” pun digambarkan sebagi tokoh yang memiliki sakit encok yang parah sehingga kakinya tidak bisa bergerak dan hanya berbaring.
Ego adalah instasi defensif dan protektif yang mengelola dorongan-dorongan taksadar dengan superego terhadap tekanan-tekanan dari luar  (peraturan, tuntutan sosial). Ego terdapat pada larik berikut.
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Larik-lakrik di atas menunjukkan bahwa “Aku” menekan Id dengan munculnya kesadaran tokoh bahwa dia harus bersabar untuk mewujudkan keinginannya (larik ke-4). Namun, kesadaran ini membuat “Aku” semakin merasa jauh untuk bisa mewujudkan keinginannya karena“Aku” sadar juga kalau “Aku tidak bisa berbuat apa-apa” (larik ke-5 dan ke-6).
Superego adalah bentukan akhir yang dihasilkan oleh peraturan-peraturan keluarga, pendidikan, agama, peraturan-peraturan sosial dan lain-lain. Superego terlihat pada larik berikut.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Karena kesadaran “Aku” akan ketidakberdayaannya untuk mewujudkan keinginannya, si “Aku” kembali untuk bermimpi mengharapkan uang utuk memberikan ranjang yang sederhana agar “Aku" dapat berbaring dengan nyaman di sakitnya.

Tentang Penulis:
Iis Nia Daniar,  S. S. lahir di Bekasi,  15-08-1977. Saat ini sedang menempuh S-2, Prodi Pend.  Bahasa Indonesia pada Universitas Indraprasta PGRI di Jakarta. Kegiantan sehari-hari sebagai pengajar pada SMP N 31 Kota Bekasi,  SMP Amal Mulia 2 Bogor,  dan I. Smart pada sebuah lembaga bimbingan belajar di Bekasi.  Minatnya pada bidang bahasa dan sastra hingga menelurkan beberapa karya puisi (Hujan: Klimaks Cemburu  Selir,  Akhir Pintaku,  Kotaku Kini,  Gugatan,  dll) , cerpen (Sebuah Janji) ,  dan artikel bahasa (Akulturasi Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi)  yang telah dimuat di beberapa media massa cetak dan elektronik.