Senin, 20 Maret 2017

Saedah Saeni

                   
Oleh: Iis Nia Daniar

“Mimi, kapan Mama pulang?” tanya Saida suatu hari pada ibunya yang masih terbaring lemah.
Ibu dari Saida dan Saeni ini memang telah lama jatuh sakit setelah Sarkawi, suaminya, pergi.  Anak-beranak tersebut tinggal di Desa Karang Turi, Indramayu. Mereka hidup dengan serba keterbatasan dari sisa uang yang diberikan Sarkawi sebelum berangkat menunaikan ibadah haji 7 bulan yang lalu, sedangkan kabar  tentang dirinya tidak pernah ada.
“Mi, Pak Kaji Umar sudah pulang dari Mekkah, kok Mama belum juga pulang ya Mi. Padahal berangkatnya setelah Mama.”
“Husss, Saeni kasihan Mimi!”
Hari terus berganti, ibu Saedah dan Saenipun semakin tenggelam dalam penderitaan hingga akhirnya ajal menjemput. Saeni masih meronta sedih sesudah pemakaman ibunya. Saedah hanya bisa memeluk Saeni dengan berurai air mata.
Sementara itu di tempat terpisah Sarkawi telah menjalani kehidupan barunya, ia menikahi Maemunah,  seorang ronggeng desa tetangga yang dijumpainya dalam perjalanan menuju Baitullah dulu. Namun, bukan berarti Sarkawi sudah melupakan keluarganya yang dulu.  Pernah satu kali Sarkawi mencoba untuk menemui anak-anak dan isterinya di desa yang telah ia tinggalkan, tetapi Maemunah menghalangi.
“Aku rindu Saedah dan Saeni.”
“Apa kau juga merindukan isteri pertamamu?”
“Aku merindukan mereka.”
“Tapi aku sedang mengandung, kau tega meninggalkanku?” rajuk Maemunah setengah menahan air mata. Sarkawi hanya bisa menghela napas sambil menatap jauh malam. 
Selang beberapa hari setelah isteri pertamanya berpulang, Sarkawi merasa didorong  terus untuk pulang ke Desa Karang Turi, dan akhirnya Maemunah menyetujui. Alangkah tekejutnya Sarkawi ketika mengetahui bahwa isteri pertamanya telah meninggal dunia. Perasaan bersalahpun mengalir di dadanya.
Setelah keadaan mulai membaik, Sarkawi mengenalkan Maemunah pada kedua anaknya. Saedah dan Saeni menerima Maemunah sebagai pengganti ibu mereka. Keluarga baru itupun tinggal bersama di rumah peninggalan mendiang isteri Sarkawi.
Tidak berapa lama kemudian, Sakarkawi izin pergi mencari nafkah dan menitipkan kedua anaknya pada Maemunah. Sarkawi berpesan agar berbaik-baik pada Saedah dan Saeni karena rumah yang mereka tempati adalah rumah ibunya.
“Saedah, Mimi mau ke pasar. Ada beberapa rupiah di bawah bantal Mimi dan seliter beras gentong, janganlah kalian pakai,” pesan Maemunah pada kedua anak tirinya. Saedah mengiyakan dengan rasa takut.
Rupanya Maemunah pergi terlalu lama hingga sore menjelang ia belum juga pulang. Saeni yang sudah kelaparan menangis sejadi-jadinya. Saedahpun kebingungan. Saedah teringat akan uang dan beras yang dititipkan Maemunah, dengan berat hati ia memasak beras itu dan memakai uang untuk membeli bumbu lengko. Tidak berapa lama kemudian Maemunah datang.
“Mana berasku, Saedah?” geram Maemunah melihat nasi yang tengah dimakan Saeni.
“Ampun, Mi! Beras dan uangnya saya pakai karena kami lapar,” Saedah ketakutan menjawab sambil menghalangi Saeni dengan badannya seolah-olah ingin melindungi Saeni dari tatapan marah Maemunah.
“Dasar bocah blesak!” berang Maemunah.
Sambil menangis dan memeluk Saeni, Saedah berkata, “Baiklah jika Mimi tidak mau memaafkan kami, kami akan pergi dari sini.”
Hampir saja sapu lidi menghantam tubuh Saedah, tetapi ia teringat pesan Sarkawi. Diletakkannya sapu lidi di pojok dinding dapur. Dibelainya rambut Saedah dan Saeni sebelum Maemunah meninggalkan dapur.
“Selepas maghrib kalian ikut Mimi. Kita jalan-jalan ke kota,” Suara Maemunah terdengar menurun dari sebelumnya.
Setelah sholat Saedah dan Saeni pergi bersama ibu tirinya, rupanya Maemunah masih menyimpan amarah dengan kejadian sore tadi. Dia berniat akan membuang kedua anak tirinya. Benar saja, Saedah dan Saeni ditinggalkan Maemunah di tengah hutan. Kedua anak malang ini pun menangis.
Di tengah ketakutan dan malam yang mencekam itulah muncul kakek misterius  yang entah datang dari mana. Kakek tersebut tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Saedah dan Saeni. Kontan saja kedua anak itu gemetar, tetapi Saedah langsung menarik tangan Saeni dan menyembunyikan Saeni di belakang tubuhnya.
“Saedah! Saeni!” keras kakek itu memanggil nama keduanya.
“Si ... Siapa Kakek?” Saedah memberanikan diri.
“Aku yang akan membuat kalian kaya.”
“Aku mau, Kek,” tegas Saeni.
“Hahahaha ...,” kakek itu terkekeh-kekeh mendengar jawaban Saeni, “tapi ada syaratnya, apa kalian sanggup?” lanjut Kakek sambil melebarkan tatapannya.
Belum lagi Saedah berpikir, Saeni sudah menjawab, “Sanggup!”
Setelah melakukan ritual yang diperintahkan Kakek misterius itu, Saedah menjadi tukang kendang yang ahli dan Saeni, adiknya menjadi seorang ronggeng yang gemulai.  Mereka mengadakan pertunjukkan di pinggir jalan sekitar Kali Sewo  dan akhirnya mereka terkenal hingga ke desa asal, Desa Karang Turi. Kepopuleran Saedah dan Saeni mengubah kehidupan mereka. Bahkan membuat Maemunah datang berkunjung ke rumah mereka.
“Siapa yang datang, Wak?” tanya Saeni pada satu di antara orang yang bekerja di rumahnya.
“Dia mengaku ibu Nok Ayu,” sambil membungkuk takzim Wak Tarsiah menjawab.
“Maemunah?” berteriak Saeni menyebut nama ibu tirinya. Saeni tersenyum sinis mengingat apa yang telah diperbuat Maemunah dulu terhadapnya dan Saedah.
Saedah yang sedang berlatih kendang di serambi belakang rumah segera menghentikan  tabuhannya setelah mendengar teriakan adiknya. Dia menghampiri Saeni di ruang tengah.
“Ada apa, adikku?” halus Saedah bertanya pada Saeni.
“Maemunah datang ke rumah kita, Kang.”
“Kapan?”
“Barusan saja. Tapi karena aku sedang tidur, Wak Tarsiah tidak membangunkanku,” nafsu Saeni berkata. “mungkin dia hendak menagih utang kita, Kang,” lanjut Saeni.
“Utang?” Saedah tampak bingung, “maksudmu beras dan uang yang kita pakai dulu?”
“Ya, Kang. Aku yakin,” Saeni setengah terisak karena masih terasa sesak akan kejadian masa lalu.    
“Sudahlah, Dik! Tidak baik menyimpan dendam. Bukankah Gusti Allah telah memberikan karunia berlebih atas kejadian itu?” Saedah menasihati adiknya.
Akhirnya merekapun sepakat untuk melupakan masa lalu dan membayar utang kepada Maemunah. Saedah sangat berharap keluarganya dapat berkumpul seperti dahulu lagi. Saenipun rindu pada ayahnya, Sarkawi.
Belum lagi utang pada Maemunah dapat dibayar, waktu berganti terlalu cepat bagi Saeni. Hatinya mulai cemas karena saat perjanjian dengan Kakek misterius yang dia jumpai di tengah hutan dulu telah tiba. Saedah sama sekali tidak mengetahui syarat dan janji apa yang harus dipenuhi oleh keduanya ketika itu karena si Kakek hanya berbisik pada Saeni. Saeni tidak pernah membicarakan syarat dan janji tersebut pada kakaknya. Karena Saeni yakin kalau ia memberitahukan pada Saedah, tentu Saedah tidak  pernah menyetujuinya dan harapan Saeni ingin menjadi orang kaya akan hilang begitu saja.
“Nok Saeni!” suara tanpa rupa memanggil Saeni beberapa kali pada malam yang dipenuhi angin kencang.
Saeni beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mengarah pada suara yang memanggil namanya. Saedah yang ketika itu masih terjaga mengikuti Saeni dari belakang dengan rasa penasaran. Sampailah Saeni di tepian Kali Sewo, tanpa ragu dia terjun ke dalam kali tersebut dan berubah menjadi buaya putih. Saedah yang melihat kejadian tersebut menjerit memanggil-manggil adiknya.
“Saeni! Saeni! Saeni!”
Akan tetapi, Saeni yang telah berubah wujud itu terus menghulu, tidak memperdulikan jeritan kakaknya. Saedahpun berlari sambil terus menjerit seperti orang gila menuju rumah ayahnya, Sarkawi di Desa Karang Turi. Sambil menangis Saedah bercerita tentang kejadian yang sudah menimpah Saeni.
“Mama, Saeni buaya. Saeni putih. Kali Sewo,” Saedah tampak belum bisa menguasai jiwanya.
“Ada apa Saedah? Apa yang terjadi pada Saeni? Apa yang terjadi dengan kalian?” Sarkawi yang penasaran dan cemas memberondong pertanyaan.
“Mama ... Mama ... Saeni jadi buaya putih setelah dia melompat ke Kali Sewok,” tersedu-sedu Saedah sembari terduduk lemas  di hadapan Sarkawi.
“Astaga!” terkejut Sarkawi mendengarnya dan seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir deras membasahi bajunya.
Para tetangga berdatangan mendengar jerit dan tangis Sarkawi dan Saedah. Mereka akhirnya ikut mengantarkan Sarkawi, Saedah , dan Maemunah untuk mencari buaya putih jelmaan Saeni di Kali Sewo. Sesampainya mereka di sana, tidak menunggu lama, muncullah dari hulu sesososk buaya putih yang bersuara mirip Saeni.
“Mama, aku merindukanmu.”
“Saeni!” teriak Sarkawi dan dia langsung berlari menerjunkan diri ke dalam kali. Beberapa saat kemudian Sarkawi berubah wujud menjadi bale kambang, ‘sejenis ranjang yang terbuat dari kayu'.
Maemunah yang melihat suaminya telah berubah wujud ikut terjun ke dalam kali dan berubah wujud menjadi pring ori, ‘bambu’. Saedah sangat terguncang menyaksikan seluruh keluarganya seolah raib ditelan arus deras Kali Sewo. Dia menangis sepanjang hari hingga lemas dan tertidur di rel kereta api yang berada tidak jauh dari kali tersebut. Saedahpun tewas terlindas kereta api dan tubuhnya berubah menjadi pohon bunga cempaka putih.
Sejak saat itu aroma mistis kental menaungi jembatan Kali Sewo. Setiap kendaraan yang berlalu-lalang di atas jembatan Kali Sewo harus membuang uang berupa koin sebagai bentuk penghargaan pada Saedah dan Saeni yang telah meronggeng di tempat tersebut. Jika tidak melemparkan koin, kendaraan akan mengalami kecelakaan.