Kamis, 23 Maret 2017

Tetap Berpuisi

Tema: Lingkungan
Murka Comberan
Oleh: Iis Nia Daniar

Perih ku ketika kau menutup hidung,
membuang muka, mengeluarkan muntah
yang berisi reak

Apa salahku?
Bukankah kau yang mengencingi
dan melempar kotoran?
Bukankah aku hanya diam sambil meringis
saat segerombolanmu melempariku dengan batu-batu
karena ingin melihat cipratan gelembung di airku
mengotori jalan hingga menodai baju-bajumu?

Kau jubelkan sesampah hingga baju rombeng di tubuhku
Langkahku memberat
Jalanku terseok, bahkan aliranku tak bernapas
Jentik-jentik nyamuk dan kutu air
yang asyik menyarang menggelitik ku hingga mampus berbau
Arus kecilku mati suri tanpa ronta

Bekasi, 23 April 2016


Tema: Awan
Awan Jingga
Oleh: Iis Nia Daniar

Jingganya mungkin yang membuat silau Sang Kawindra
hingga rela melantunkan seribu baris puisi
peluruh sukma

"Jinggaku sebentar lagi
akan menghilang dan berganti kelam karena
itu hanya pinjaman bias sang Surya." Ucap awan.

Sungguh aku si binal tanpa warna yang
siap kencan dengan angin
dari arah manapun
Aku hanya menggodamu dengan  keindahan maya
dan takkan pernah bertahan
hingga perputaran waktu kembali ke  00.00

Mendarma pada insan sejagat
Menaunginya dengan selaksa cinta
Itu adalah tugasku

Cukup sejenak menatap
Setelah itu abaikan seperti langit yang mengabaikan
tangisku di antara guruh dan guntur
"Tidak apa-apa."

Bekasi, April 2016


Tema: Bebas
Memori Usang
Oleh: Iis Nia Daniar

Bertubi menghunjam di sepi

Membulat memutiara
di persuaan antara air dan latar

Deru berlomba di derasnya
mencipta sunyi
Kilatan membuyarkan muram

Pohon menggigil
sebab dedaun terbasahkan hujan

Hati mengabut di reriuh air
ziarahi memori usang

Aku yang meluluh karena pilu
merenta karena waktu
kian memedar
di senyap sapa kelabu karena mu

"Lelakiku aku merindumu terlalu."
Lirih menutur kata tertekan rasa

Bekasi, 8 April 2016
Tema: Bebas

Terlalu Padamu
Oleh: Iis Nia Daniar

Biruku,
tetaplah warnai angan yang bermain di benak
hingga meloncat-loncat jantungku kegirangan
serupa anak kecil bermain tali

Rindu,
tanpamu aku adalah nisan lapuk tinggal nama
yang tertulis samar di antara noda bercak  tanah merah
sisa hujan semalam

Yayi,
Bawalah aku dari jelaga hampa di balik sepi
seperti Qais yang melarikan Laila dengan kudanya
ketika bintang-bintang dan sang dewi enggan bercengkrama
dengan langit kelam berbalut sunyi
Dan biarlah  jejangkrik mengerik cemburu di balik rerimbun daun
karena aku terlalu padamu

Ciketing Udik, 15 April 2016