Kamis, 23 Maret 2017

Puisiku

YAH, SUDAHLAH!
Oleh: Iis Nia Daniar
Lagi-lagi hinamu memasung segala hasrat.
Malamku beku dan senyap tanpa cumbuan.

“Tidak mengapa.” Dua kata terucap hanya untuk menyelimuti kegetiran rasa.

Kautahu sangat ini bukan kali pertama, melainkan kali keseribu kaujegal berahi yang membakar ruang sendu dalam ketemaraman di tengah rinai hujan beralun lembut.

Tatap mataku dalam-dalam!
Tidakkah kaulihat putihnya memerah dan bulir-bulir bening mulai menggenang hingga tertumpah di sudut-sudut kedua kelopak?

Yah, sudahlah!
Biarkan kubersembunyi di balik selimut sambil terlelap pura- pura.
Bekasi, 8-02-2016
TIGA MATA
Oleh: Iis Nia Daniar
Mata 1
“Sepi pandang tanpa rasa bila kauhilang takberbayang.
Mana gelap, mana terang? Tiada beda… suram.
Ramai alam warna-warni olok rasa… hampa.
Ah, sebola kelereng sajalah, cukup kutatap fana!”
Ucap Netra dalam diam sembari berpangku tongkat.

Mata 2
“Pancaran jiwa yang berbunga.
Kesenduanmu karena gundah membelit rasa.
Berbinarmu karena riang memerahkan hati, meronakan pipi dalam kecintaan yang sangat.”
Ujar Perawan berpeluk mawar.

Mata 3
“Kejam coba bersembunyi di balik biasan cahaya dalam kristalin. Hitam hati coba memutih dalam iris. Bayangan pada kornea takpernah sama dengan objek kasat hingga menyayuku karena sakit takterejawantahkan erangan.”Maki yang terlukai.

Bekasi, 15 Februari 2016
MAS, CINTA MATIKU
Oleh: Iis Nia Daniar

Tersimpul mati sudah segala rasa oleh benang merah yang kita pintal bersama.
Dari ujung rambut sampai ujung jari kakiku semakin terus memujamu ....

Terikat erat tanpa sekat, melilit rapat hingga lekat....
Memisahkan ini sama rasanya dengan terbunuh.
Relaku didera seribu cambuk kerna dosaku mencinta mu ...
Bekasi, 2016
SUMARAH DEWA AWAN
Oleh: Iis Nia

Menghitam  dalam bisu,
mendung terselubung  pekat yang menggumpal menjelma kumulonimbus,
menyeruakkan kepedaran tanpa bertanya
hanya sesak yang sesekali menggemuruh dan mengguntur.

Sesaat setelah teruahkan segala beban di titik beku,
memutihlah  tanpa jejak kesembaban.

Menghitam-memutih tanpa penolakan, 
menuruti perintah semesta pada siklus masa.

"Aku hanya takzim pada Raja Sakka." Dewa Awan menguatkan diri.

Bekasi, 22 Maret 2016
DI BALIK KALI JODOH, JAKARTA
Oleh: Iis Nia Daniat

"Mampir, Mas!" Lembut ucap santun laku para penjaja kemesraan sesaat di warung remang-remang yang berjajar sepanjang bantaran kali.

Kumandang adzan isya memanggil mengalun syahdu terkalahkan dengan irama pantura yang mengalun merayu.

Bak bidadari alih profesi cumbu rayu sambil duduk di pangkuan pelanggan penikmat, penjaja asyik bersenda.

Lentik jemari halus asyik menyentuh pori dan menuangkan bergelas-gelas air kencing setan.

Bibir penuh bergincu merona sibuk  terbahak sambil mengepulkan asap kretek; sesekali mendaratkan kecupan mesra, tapi hambar.

"Sampai kapan?" Tanya itu acapkali digulirkan meski dalam canda.

"Yah, mungkin sampai para penikmatku pergi satu per satu hingga akhirnya 0." Terkadang terlontar di saat lengang jauh di ujung malam sambil mengelap tetesan yang masih tersisa diselingi gurau dan tawa. Namun, masih tetap terasa hambar.

"Sampai kita terkena AIDS dan mati muda seperti si Ice alias Sumarti,  Elsya alias Titin, atau Kristin alias Zaenab." Celutuk seorang penjaja yang masih asyik mengepul-ngepulkan puntung asap kretek.

Semua terdiam, hening sambil saling menatap. Adzan shubuh memanggil umat disambut kokok jantan dan rintik hujan, merekapun terlelap dalam warung remang yang berangsur berhenti berpesta.

Bekasi, 24 Februari 2016
RINDU WADI
Oleh: Iis Nia Daniar

Gersang ...  tanpa dedaunan pada batang yang bergesekan menyapa kekerontangan di atas padang pasir.

Putaran angin bergelombang menyapu butirannya di tengah  ketandusan.

Pancaran mahabola pijar memanas kulit, mengelupas epidermis tepat di atas titik pusat diameter bumi.

Di mana hujan?
Di mana sungai?
Di mana oase pemberi kehidupan  Ismail?

Berjalan menyusuri wadi berharap akan turunnya tetesan airmata langit hingga  terisi lengkung panjang yang mendamaikan ketandusan meski hanya setumit tapak.
DAS tidak lagi hanya artefak yang menyembunyikan banyak kisah, inginku....

Bekasi, 6 Maret 2016

PERANG KATA
Oleh: Iis Nia Daniar

A dibilang E
I dilafalkan ai
Jika itu bahasa flektif, pahamku bertemu dititik logika semantis kata.

Hai, yang kaurangkai itu aglutinatif!
Semestinya kamu tahu mitra tuturmu AKU!
Ah, sudahlah!

Sebaris makna implisit telah kucerna.

Sepenggal zatmika terpapar dalam kata berangkai adalah sasmita keengganan.

Tinggallah maluku bersanding dengan penolakan yang takterjabarkan dalam sebuah morfem.

Bekasi, 23 Februari 2016

GUGURNYA ASWATAMA
Oleh: Iis Nia Daniar

Dindaaaa ...!!!
Jerit Aswatama sambil memeluk rapat Banowati untuk kali pertama dan kali terakhir.

Getar rasa yang membiru dari ujung rambut sampai ujung kaki diakui Aswatama, tapi mulut terkunci, bibir urung bertutur.

Aku hanya di balik layar meski ilmuku setinggi langit dan seluas samudera. Namun, hatiku ciut bila mendengar namamu: Banowati.
Tentu saja menggerakkan bibirku untuk menyebut namamu sungkan sungguh.

Taklukku di pesonamu
Berlutut kumemujamu walau diam-diam.

Mataku sering terpanah racun hingga menggeserkan jantung … mengoyakkan hati karena cumbuan pada lelaki sejagatmu yang sengaja kuintip di balik rerimbun bunga setaman.

Walau demikian, Diajeng telah terlanjur mengisi ruang yang sengaja kuselubungkan di sisi hati lain tanpa harus bicara pada Bhisma apalagi pada keris yang menghujam dadamu.

Beribu maaf dan sesal kubawa sembari menyusulmu, cinta terpendamku.

Bekasi, 21-02-2016

DAH, AYANG!
Oleh: Iis Nia Daniar

Sesapa lembutmu membuat percepatan detak di jantungku.

Candamu meronakan hariku, menginspirasi setiap torehan romansaku.

Namun, pernyataan rasamu lebih lambat dari larinya keong, Yang.

Kau biarkan aku yang rapuh penuh harap saat keluluhlantahan menjerat memelantingku untuk bergumul dalam ombak dan menengah hingga hampir mengaram,
sedangkan kau hanya tergeming memaku di pesisir.

Kini aku menolakmu meski somasi kau layangkan.

"Dah, Ayang!" Akhir kekataku untukmu di balairung cinta.

Bekasi, 19 Maret 2016
KISAH HUJAN DAN SELIR
Oleh: Iis Nia Daniar

Mendung itu menemaramkan segala.
Binar senyum adalah keterpaksaan, tanpa keinginan.
Kekeh tawa adalah pemerkosaan terhadap kebisuan karena inginku menyepi dan mengaku bibir.

Angin?
Angin itu berseliweran di antara cemburu yang membakar jiwa.

Guruh?
Ah, gemuruhnya terlalu menyesakkan dada dan takmenyisakan ruang untuk sekadar mengganti oksigen.

Tatkala sapa hujan bertubi menghujam bumi, membekulah waktu di antara desah dan deru napas yang memburu.

Sedangkan aku?
Aku hanya selir ...  hanya bisa menggigil di antara derasnya sembari menyapu airmata dan mencari persembunyian akibat sambaran petir.

Bekasi, 29 Februari 2016
Tentang Penulis:
Nama penulis Iis Nia Daniar. Lahir di Bekasi, 15-08-1977. Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Padjadjaran Bandung (2000). Beberapa karya telah dimuat di koran lokal. Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan guru pada SMP N 31 kota Bekasi. Hp. 085280873946 email: iisnia0@gmail.com