Tilang yang Berdarah
Oleh: Iis Nia Daniar
Seperti biasa jalan-jalan di kota ini dari pukul 03.00 sampai 00.00 tidak ada matinya, apalagi menjelang petang. Perempatan menuju Perumnas 3 itu selalu padat lalulintas, perempatan ini entah siapa yang memberi nama dikenal orang sebagai Perempatan Bulak Kapal.
“Hihihi, lucu juga mana kapalnya?” Kataku dalam hati sambil tersenyum masih memainkan gas roda duaku.
Sebagai perempuan yang hampir 30 tahun lebih menyusuri setiap sudut kota ini, rasanya aku cukup takjub dengan tingkat keramaian yang begitu signifikan kata orang-orang intelek. Ah, andai saja aku dulu dapat menahan diri untuk tidak lekas-lekas menikah setelah kuliahku selesai, tentu ceritanya akan berbeda.
“Terlalu sastra hidupku.” Gumamku lirih di tengah kemacetan.
Agak sulit untuk berpacu dengan waktu di Perempatan Bulak Kapal ini. Polusi asap terpaksa kuhirup.
“Monoksida, silakan isi paru-paru!” Lagi-lagi aku berbicara sendiri.
Roda empat, roda dua saling berebut lajur, padahal lampu masih merah. Klakson-klakson dimainkan dan bumbu umpatan-umpatan disuarakan.
“Hem, tak bisakah mereka menikmati lampu merah yang begitu merona?” Kataku seolah berbicara pada motor tua yang setia menemaniku sejak 10 tahun yang lalu.
“Apa sih yang mereka cari? Bukankah ini jam pulang kerja? Apakah mereka tidak mendengar lantunan adzan maghrib dari mesjid seberang kiri jalan?”
Terus saja pertanyaan-pertanyaan kulontarkan pada pengemis yang kebetulan menghampiri motorku sembari menadahkan mangkuk kecil dekil dalam kebisingan ekses kemacetan ini. Namun, pengemis itu hanya geleng-geleng sambil menyodor-nyodorkan mangkuk kecilnya ke arahku.
“Oy, MAJU!” Terdengar cukup keras suara dari arah belakangku hingga akhirnya gas kutancap penuh dan ....
Priiiit!
“Malam, Bu! STNK? SIM?” Tegas Polantas itu menanyaiku setelah mengarahkanku ke tepi jalan sebelah kiri.
Sedikit aku merasa bersyukur telah dikeluarkan dari kemacetan yang sudah 15 menit menjebakku. Seorang bapak agak rapi pakaiannya kulihat bergegas mendatangi kami sambil teriak-teriak.
“Ibu! Ibu! Ibu harus ganti rugi kerusakan mobil saya! Lihat cat mobil saya bagian belakangnya rusak begitu!”
Apa dia melihatku begitu jauh hingga harus berteriak sekeras itu, padahal jarak kami hanya setengah meter saja. Aku hanya diam sambil menunduk melihat ke arah ban depan motorku karena orang-orang di sekitarku pun seperti histeris menunjuk-nunjuk bagian depan motorku. Ternyata setelah dilihat, ban motorku baik-baik saja. Kubuka helm. Hem, sepertinya aku merasakan perih pada pelipis!
Ceeeeerrrr....
Aneh kenapa waktu seolah terhenti dan bising berubah menjadi senyap. Semuanya tampak gelap.
****