Senin, 12 Desember 2016

Puisi "Kepada Uang", Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis

Puisi "Kepada Uang",  Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis
Oleh: Iis Nia Daniar

Kepada Uang
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

(Joko Pinurbo 2006 :18)

Pekerjaan Mimpi
Unsur-unsur yang tercakup dalam pekerjaan mimpi dalam puisi Kepada Uang, karya Joko Pinorbo sebagai berikut,
Figurasi: mimpi selalu dalam bentuk gambar
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)

Mimpi “Aku” difigurasikan dalam bentuk rumah yang dapat dibeli dan nyaman untuk berlindung ketika usia sudah menua (senja). Hal ini ditunjukkan pada larik ke-1 dan larik ke-2. Rumah yang diinginkan adalah rumah dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan atau tanaman sehingga jika jendela rumah terbuka, “Aku” dapat menikmati pemandangan tersebut (larik ke-3).

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Mimpi “Aku” berikutnya difigurasikan dalam bentuk ranjang dengan model yang sederhana (larik ke-7). Ranjang dengan kasur yang hangat sekadar untuk berbaring ketika “Aku” merasakan sakit encoknya menjalar kembali (larik ke-8). Ranjang yang diharapkan “Aku” adalah ranjang yang lentur pada bagian bawahnya, atau semacam sprigbed dengan per-per yang lentur sehingga “Aku” merasa nyaman berada di atasnya (larik ke-9).

Simbolisasi: digunakannya lambang-lambang untuk menyembunyikan hasrat taksadar.

Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)

Uang, rumah yang murah, jendelanya hijau menganga, dan ranjang yang lugu saja adalah kata-kata simbol keinginan “Aku” untuk memiki uang agar dapat membeli rumah yang nyaman dan ranjang yang sederhana. Keinginanan yang sesungguhnya adalah bebasnya “Aku” dari ketidakmampuan dalam hidupnya atau miskin materi.
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Merawat encok-encokku dan lentur dan liat seperti kaki masa kecilku adalah simbol dari ketidakberdayaan fisik “Aku” di usianya sekarang karena penyakit yang encok yang diidapnya. Kaki “Aku” sudah mengaku atau sulit digerakkan sehingga tidak bisa menopang badannya. Oleh karena itu, “Aku” menginginkan ranjang yang lugu dan cukup hangat untuk berbaring.

Kondensasi: digunakan penumpukan untuk menyamarkan hasrat taksadar.

Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Kesadaran “Aku” akan keterbatasannya dalam materi membuat dia menahan keingiannya seperti yang tertulis pada larik ke-4. “Aku” tidak mempunyai uang, dia hanya memiliki rasa lapar dan sakit (larik ke-6). Oleh karena itu, dia hanya mengubur mimpi dan keinginannya (larik ke-5).

Pengalihan: digunakan pengalihan untuk menyamarkan hasrat taksadar

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Setelah sadar akan ketidakmampuannya, “Aku” tetap menginginkan mempunyai materi meskipun dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu ranjang. Pada larik ke-7, 8, dan 9 hasrat “Aku” untuk terbebas dari kemiskinan dialihkan pada keinginannya memiliki ranjang yang hangat dengan kasur yang empuk untuk berbaring karena sakit encok menyebabkan kakinya tidak bisa bergerak.

Distorsi Bahasa dalam Puisi Kepada Uang, Karya Joko Pinurbo
Distorsi/dis·tor·si/ n 1 pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan: untuk memperoleh keuntungan pribadi tidak jarang orang melakukan -- terhadap fakta yang ada; 2 gangguan dalam siaran radio yang mengubah mutu siaran; 3 Fis perubahan bentuk yang tidak diinginkan; eroton; 4 Dok hal terkilir (kaki dan sebagainya); 5 ark perubahan bentuk pada benda gerabah yang disebabkan oleh pengeringan terlampau cepat dan tidak merata karena pencampuran bahan tidak merata waktu pencetakanhttp://kbbi.web.id/distorsi
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Distorsi bahasa yang terdapat pada puisi Kepada Uang, karya Joko Pinurbo terdapat pada larik (1) dan (2) menganggap uang mampu memberikan rumah dan ranjang. Kata lugu sebagai keterangan dari ranjang yang diinginkan “Aku”. Kata lugu ini dipilih sebagai sinonim kata sederhana (larik ke-7). Larik ke-3  terdapat frasa nomina yang jendelanya hijau menganga maksudnya adalah  tanaman yang dapat dilihat dari jendela ketika jendela itu terbuka. Seperti jendela mataku maksudnya adalah pintu jendela yang mudah dibuka seperti mudahnya membuka kelopak mata “Aku”.
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Distorsi bahasapun terdapat pada larik ke-5, “Aku” sadar tidak mampu mewujudkan impiannya karena  dia tidak berdaya. “Aku” hanya memiliki rasa sakit (larik ke-6). Larik ke-8 terdapat frasa verba merawat encok-encokku yang mengandung pengertian merasakan penyakit encok yang sedang menjalar. Larik ke-9  adalah penyimpangan dari makna ranjang yang nyaman dengan kasur yang empuk.  Seperti kaki masa kecilku menyirakan bahwa kaki “Aku” dulu keadaannya tidak seperti kaki yang sekarang.
Hal-hal yang Penting dalam Psikoanalisis
Id adalah bentukan awal, sumber energi, reservoi, pulsi primer, keos yang terus-menerus bergerak, sumber semua prosesus psikis, pusat pulsi-pulsi dasar dan hasrat-hasrat yang terekspresi. Id dalam puisi Kepada Uang adalah kemiskinan karena ketidakberdayaan fisik akibat usia. Hal tersebut terdapat dalam larik berikut.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

“Aku” yang dideskripsikan sebagai seseorang yang tidak memiliki rumah, usianya telah senja atau tua. Bukan hanya itu, si “Aku” pun digambarkan sebagi tokoh yang memiliki sakit encok yang parah sehingga kakinya tidak bisa bergerak dan hanya berbaring.
Ego adalah instasi defensif dan protektif yang mengelola dorongan-dorongan taksadar dengan superego terhadap tekanan-tekanan dari luar  (peraturan, tuntutan sosial). Ego terdapat pada larik berikut.
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Larik-lakrik di atas menunjukkan bahwa “Aku” menekan Id dengan munculnya kesadaran tokoh bahwa dia harus bersabar untuk mewujudkan keinginannya (larik ke-4). Namun, kesadaran ini membuat “Aku” semakin merasa jauh untuk bisa mewujudkan keinginannya karena“Aku” sadar juga kalau “Aku tidak bisa berbuat apa-apa” (larik ke-5 dan ke-6).
Superego adalah bentukan akhir yang dihasilkan oleh peraturan-peraturan keluarga, pendidikan, agama, peraturan-peraturan sosial dan lain-lain. Superego terlihat pada larik berikut.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Karena kesadaran “Aku” akan ketidakberdayaannya untuk mewujudkan keinginannya, si “Aku” kembali untuk bermimpi mengharapkan uang utuk memberikan ranjang yang sederhana agar “Aku" dapat berbaring dengan nyaman di sakitnya.

Tentang Penulis:
Iis Nia Daniar,  S. S. lahir di Bekasi,  15-08-1977. Saat ini sedang menempuh S-2, Prodi Pend.  Bahasa Indonesia pada Universitas Indraprasta PGRI di Jakarta. Kegiantan sehari-hari sebagai pengajar pada SMP N 31 Kota Bekasi,  SMP Amal Mulia 2 Bogor,  dan I. Smart pada sebuah lembaga bimbingan belajar di Bekasi.  Minatnya pada bidang bahasa dan sastra hingga menelurkan beberapa karya puisi (Hujan: Klimaks Cemburu  Selir,  Akhir Pintaku,  Kotaku Kini,  Gugatan,  dll) , cerpen (Sebuah Janji) ,  dan artikel bahasa (Akulturasi Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi)  yang telah dimuat di beberapa media massa cetak dan elektronik.

Rabu, 07 Desember 2016

Akulturasi antara Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi

Akulturasi Mesra  antara Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi
Oleh: Iis Nia Daniar

Jika dilihat dari sejarah wilayah Bekasi, sebelum tahun 1949 Bekasi masuk ke wilayah Provinsi Jakarta, dan pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 Bekasi masuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Faktanya Bekasi secara administratif pemerintahan baik kota, maupun kabupaten berada di wilayah Provinsi Jawa Barat  didominasi oleh budaya Sunda. Kondisi ini semakin memosisikan bahasa Melayu Bekasi menjadi amat penting keberadaannya sebagai bagian interaksi budaya dan bahasa yang berkembang di Jawa Barat. (Ensiklopedia Bekasi,)
Kemiripan bahasa Bekasi dengan bahasa Sunda sebagai akibat akulturasi bahasa ini merupakan kondisi nyata dan menarik untuk dilakukan penelitian kebahasaan secara lebih cermat dan mendalam. Akulturasi adalah suatu pencampuran atau persatuan dua budaya yang masih mempertahankan cirinya masing-masing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:

“ akulturasi akul·tu·ra·si/ n 1 percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi: candi-candi yang ada sekarang merupakan bukti adanya -- antara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan India; 2 Antr proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu; 3 Ling proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme.”

Akulturasi antara bahasa Sunda dan bahasa Bekasi perwujudannya sebagai berikut.
kata bahasa Sunda yang memiliki makna sama  dengan bahasa Bekasi secara keseluruhan tanpa mengubah lafal atau ejaan, contoh: awak, bae, bejad, cekel, gebah, pinter, udag, getol, gaplok, dan lain-lain.
Kata dalam bahasa Sunda  ejaan atau cara penulisannya hampir sama dengan bahasa Bekasi. Kondisi kata tersebut  dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
kata dasar, contoh: dingke dan kata dasar jengke
kata ulang (reduplikasi), contoh: tetaekan dan kata tataekan (dwipurwa), deg-degan dan kata dag-dig-dug (trilingga)
kata berimbuhan, contoh: begawe dan kata digawe, gegerawakan dan kata gogorowokan.
Dengan demikian,  jika dilihat dari perwujudan kata di atas,  dapat dikatakan antara bahasa Bekasi dan bahasa Sunda menjalin hubungan yang mesra.  Entah siapa memengaruhi siapa,  kenyataan menunjukkan demikian.

Minggu, 04 Desember 2016

Selamat Jalan Pak Dudung!

Selamat Jalan Pak Dudung!
Oleh: Iis Nia Daniar

Ah,  takada yang bisa ku gambarkan secara detail tentangmu teman paling lucu, paling cengeng,  dan paling menjengkelkan. Pak Dudung entah kapan kita bertemu di sekolah ini dan entah kapan juga kita menjadi dekat,  aku telah lupa.  Yang aku ingat kau guru IPA dan mantan wakil kurikulum yang selengean.
“Is situ gak punya perut apa?” Teriaknya dari bangku pojok, tempat favoritnya.
“Hihihi yuk makan siang di mana nih?” Tantangku sambil bercanda padahal satu mangkuk mie instan pakai telur made in kantin sekolah telah kusantap.
Pak Dudung hanya mesem-mesem sembari menggoda siswa yang sedang menaruh tugas di ruang guru.
“Eh,  Riska! Bu Is nih anaknya bu Dian. Persis galon kan? Kalau Riskanya galon,  emaknya apa ya? Wakakakak. “
“Wah,  parah nih Pak Dudung!  Bu Dian dikatain Pak Dudung tuh. “ Kataku cengengesan menahan tertawa lepas melihat ekspresi Bu Dian yang seperti hendak memakan Pak Dudung.
“Si Dudung mah emang kaya gitu,  lihat saja nanti aku makan sama ayam gak akan dibagi kamu.” Jawab Bu Dian sambil melotot.
“Terus… terus… terus!” Kami yang berada di ruangan karena sedang jam istirahat menyaksikan kelakar mereka dengan gembira seolah mendapatkan hiburan.
“Ayo Beb ke warung makan ayam!  Eh,  mana tangannya. Kok saya gandeng kakinya?” Pak Dudung menghampiri Bu Dian sambil terus bercanda, tawa kamipun pecah.
Begitulah hari-hari kami di ruang guru pada sekolah ini diwarnai canda dan kadang-kadang benturan antarteman guru. Namun,  itu yang membuat aku berasa hidup.
Pak Dudung memang tidak bisa lepas dari image bercanda, pernah suatu Senin dia menjadi pembina upacara. Ketika hendak menyampaikan amanat, siswa-siswa yang berbaris sudah tertawa terpingkal-pingkal padahal Pak Dudung belum berbicara. Takpelak kamipun rekan guru ikut tertawa.
Kenangan-kenangan seperti itu yang membuat dadaku terasa sesak bila mengingat dia. Bukan hanya aku, melainkan semua teman-temanku dan bahkan siswa-siswa kami. Di Jumat pagi dengan iringan hujan di rumahku, jantungku terasa berhenti saat membaca what’s up grup sekolah.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun,  telah berpulang rekan kita Dudung Anggara Mukti,  S. Pd.”
Badanku lemas karena kakiku terasa melayang. Ingatanku berputar ke masa yang telah lalu. Banyak kejadian yang kami lalui bersama dan banyak jasa yang telah Pak Dudung berikan untuk sekolah dan aku.  Tanpa jasanya aku tidak mungkin bisa melanjutkan hidup setegar ini setelah anak keduaku meninggal. Air mataku masih mengintip di pelupuk jika mengingat tentang Pak Dudung, rekan kami tercinta.

Kamis, 01 Desember 2016

Tilang yang Berdarah

Tilang yang  Berdarah
Oleh: Iis Nia Daniar
Seperti biasa jalan-jalan di kota ini dari pukul 03.00 sampai 00.00 tidak ada matinya, apalagi menjelang petang. Perempatan menuju Perumnas 3 itu selalu padat lalulintas, perempatan ini entah siapa yang memberi nama dikenal orang sebagai Perempatan Bulak Kapal.
“Hihihi, lucu juga mana kapalnya?” Kataku dalam hati sambil tersenyum masih memainkan gas roda duaku.
Sebagai perempuan yang hampir 30 tahun lebih menyusuri setiap sudut kota ini, rasanya aku cukup takjub dengan tingkat keramaian yang begitu signifikan kata orang-orang intelek. Ah, andai saja aku dulu dapat menahan diri untuk tidak lekas-lekas menikah setelah kuliahku selesai, tentu ceritanya akan berbeda.
“Terlalu sastra hidupku.” Gumamku lirih di tengah kemacetan.
Agak sulit untuk berpacu dengan waktu di Perempatan Bulak Kapal ini. Polusi asap terpaksa kuhirup.
“Monoksida, silakan isi paru-paru!” Lagi-lagi aku berbicara sendiri.
Roda empat, roda dua saling berebut lajur, padahal lampu masih merah. Klakson-klakson dimainkan dan bumbu umpatan-umpatan disuarakan.
“Hem, tak bisakah mereka menikmati lampu merah yang begitu merona?” Kataku seolah berbicara pada motor tua yang setia menemaniku sejak 10 tahun yang lalu.
“Apa sih yang mereka cari? Bukankah ini jam pulang kerja? Apakah mereka tidak mendengar lantunan adzan maghrib dari mesjid seberang kiri jalan?”
Terus saja pertanyaan-pertanyaan kulontarkan pada pengemis yang kebetulan menghampiri motorku sembari menadahkan mangkuk kecil dekil dalam kebisingan ekses kemacetan ini. Namun, pengemis itu hanya geleng-geleng sambil menyodor-nyodorkan mangkuk kecilnya ke arahku.
“Oy, MAJU!” Terdengar cukup keras suara dari arah belakangku hingga akhirnya gas kutancap penuh dan ....
Priiiit!
“Malam, Bu! STNK? SIM?” Tegas Polantas itu menanyaiku setelah mengarahkanku ke tepi jalan sebelah kiri.
Sedikit aku merasa bersyukur telah dikeluarkan dari kemacetan yang sudah 15 menit menjebakku. Seorang bapak agak rapi pakaiannya kulihat bergegas mendatangi kami sambil teriak-teriak.
“Ibu! Ibu! Ibu harus ganti rugi kerusakan mobil saya! Lihat cat mobil saya bagian belakangnya rusak begitu!”
Apa dia melihatku begitu jauh hingga harus berteriak sekeras itu, padahal jarak kami hanya setengah meter saja. Aku hanya diam sambil menunduk melihat ke arah ban depan motorku karena orang-orang di sekitarku pun seperti histeris menunjuk-nunjuk bagian depan motorku. Ternyata setelah dilihat, ban motorku baik-baik saja. Kubuka helm. Hem, sepertinya aku merasakan perih pada pelipis!
Ceeeeerrrr....
Aneh kenapa waktu seolah terhenti dan bising berubah menjadi senyap. Semuanya tampak gelap.
****

Analisis Cerpen Bukit Cahaya Struktural dan Skema Aktan

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sastra adalah suatu seni yang hidup bersama-sama dengan Bahasa. Tanpa bahasa sastra tidak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis. Walaupun perwujudan sastra menggunakan bahasa, kita tidak dapat memisahkan sastra dari bahasa, ataupun membuangnya dari peradaban bahasa itu sendiri, karena itu merupakan suatu perbuatan yang sangat biadab, Karena sastra adalah sebuah “hidup” bagi seorang penulis
Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu (1) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. (2) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu (3) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa. (4)Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
Karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat kekurangan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Istilah kajian atau pengkajian yang digunakan menunjuk pada pengertian penelaahan. Istilah tersebut berkaitan dengan mengkaji, menelaah, atau meneliti. Pengkajian terhadap sebuah teks fiksi berarti penelaahan, penelitian, atau mengkaji, menelaah, meneliti teks fiksi tersebut. Karya sastra khususnya cerpen dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur saling berhubungan, saling menentukan, dan saling memengaruhi yang menyebabkan cerpen tersebut menjadi karya yang bermakna. Kegiatan analisis cerpen ini dapat menjelaskan peranan masing-masing unsur dan keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini juga untuk memberikan penilaian secara objektif berdasarkan hal-hal yang yang ditemukan pada teks.
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Dalam Cerpen Bukit Cahaya , karya Yanusa Nugroho ini terdapat pengalaman batin yang menarik sebagai bekal hidup manusia.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
menganalisis aspek sintaksis cerpen Bukit Cahaya, karya Yanusa Nugroho;
menganalisis alur sebab akibat;
menjelaskan skema tranformasi cerpen Bukit Cahaya;
menjelaskan skema Aktan cerpen Bukit Cahaya;
menganalisis aspek semantks cerpen Bukit Cahaya;
menganalisis aspek pragmatik cerpen Bukit Cahaya;
menemukan tema utama cerpen Bukit Cahaya.

1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu kajian sangatlah penting hal ini dimaksudkan agar permasalahan yang akan di kaji lebih terarah dan tidak terjadi penyimpangan yang terlampau jauh dari permasalahan semula.
Berdasarkan latar belakang yang demikian luas dan umum, penulis akhirnya membatasi permasalahan hanya dalam bidang tema utama cerpen Bukit Cahaya, karya Yanusa Nugroho.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan urayan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan pengkajian sebagai berikut:
bagaimana struktur cerpen Bukit Cahaya tersebut?
apa tema utama dari cerpen Bukit Cahaya?
1.5 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah kajian Prosa, adalah:
menjelaskan peranan masing-masing unsur dan keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini juga untuk memberikan penilaian secara objektif berdasarkan hal-hal yang yang ditemukan pada teks;
memahami tema karya sastra yang bersangkutan.




1.6 Sumber Data
Bukit Cahaya
Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 16 Februari 2014)

KALAU itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan. Semuanya itu menyatu, membentuk sebuah bukit yang bercahaya, bersinar terang, berkilau memukau, pada malam tertentu di bulan tertentu.
Aku harus menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Kisah itu memang kudengar dari banyak orang. Sepotong demi sepotong, cerita tentang bukit yang bercahaya itu menyambangiku; seperti kehadiran seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa. Ada yang muncul ketika di perjalanan pulang kantor, ada yang hadir ketika aku harus keluar kota untuk urusan kantor. Ada yang ”numpang lewat” di Facebook. Dan semuanya, seperti puzzle, kepingan-kepingan itu menuntut untuk disatukan. Anehnya, aku tak kuasa menolak atau mengabaikannya.
”Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahkan oleh Sokrasana,” ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum.
”Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan… ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.”
”Jadi, cuilan Taman Sriwedari itu menjelma Bukit Cahaya itu?”
”Miturut dongeng, begitu…,” jawab Mas Tri Luwih kalem.
Meskipun aku tahu bahwa itu hanyalah dongeng, tapi yang sampai pada hatiku adalah sebuah keindahan. Sebuah kesejukan yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.
Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. ”Hanya pada malam ketujuh, di bulan ketujuh.”
”Jadi, hanya setahun sekali?”
”Ya.”
”Kenapa?”
”Embuh… he-he-he…. Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.”
”Sampean tahu dari mana?”
”Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita… haha-ha-ha-ha-ha….” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.
Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata, dan entah apa lagi. ”Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he…. Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik dandannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.” Ada saja yang gusar karena kegilaanku dan mengucap semau-maunya tentang apa yang harus disebut kenyataan dan bukan.
Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.
Ku umumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli. Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.
”Maaf, sudah tahu di mana persisnya bukit cahayamu itu,” ucapnya dengan nada serius.
”Tahu, Pak, di Dusun Galihkangkung.”
Dia mengernyitkan dahi, mempertajam pandangannya, mencoba mencari di mana si lawan bicara berada saat itu.
”Ya, itu nama yang aneh. Dan saya yakin belum terpetakan,” ujarku dengan suara agak tersekat.
Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.
Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada. Mereka tak akan percaya pada kemustahilan teknologi yang konon canggih itu. Percuma saja aku katakan bahwa apa yang kita percayai sebagai logika, tak lebih daripada sebatok kepala kita sendiri; sementara begitu banyak hal di luar sana, yang jauh, jauh lebih besar daripada batok kepala kita. Percuma saja, toh, mereka memang tidak pernah berusaha untuk memercayai.
Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada perhitungan logika—entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak bisa lagi glenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan. Mereka bukan lagi pengikut para nabi, meskipun dari mulut mereka membusa ayat-ayat Tuhan; mereka menyembah uang yang menurut mereka lebih nyata daripada Tuhan.
Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang membuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahaya itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali memang itu.
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagai orang aneh, meskipun bagaimana aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagai sesuatu yang aneh.
Entah bagaimana, Gusti Purusa—dia memang bernama Gusti—memberi tahu bahwa ada salah satu kerabatnya di Galihkangkung. Mengapa bisa Gusti Purusa mau memberi tahu, aku juga bingung, karena sebetulnya aku tidak kenal langsung dengan dia. Ah, sudahlah, aku hanya berprinsip: ada kemauan, ada jalan—seganjil apa pun jalan itu; dan di rumah kerabat Gusti Purusa inilah aku tinggal di Galihkangkung.
”Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk,” ujar Pak Har, si tuan rumah.
”Oh, jadi bukit itu di laut?”
”Ya. Di teluk itu ada beberapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan kita lihat bercahaya.”
”Pak Har pernah menyaksikan sendiri?”
”Ha-ha-ha… semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu, atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.”
Sekali lagi aku dibantah oleh keluguan. ”Maksud saya,” ucapku buru-buru, ”mengapa bukit itu bercahaya? Dan hanya pada saat tertentu saja?”
”Ah, Mas ini… ha-ha-ha-ha-ha…. Ya, memang begitu. Nanti kalau bercahaya terus-menerus dikira sumur bor minyak? Haha-ha-ha-ha…. Ndak ada yang aneh, Mas, biasa saja. Malah, kalau setahun sekali, bagus, karena ada yang ditunggu-tunggu, ada yang akan ditonton dari pantai. Memang indah, Mas. Tapi, ya… biasa sajalah, bukan aneh, kok.”
Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.
”Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama saja seperti di sini,” tambah Pak Har. Aku tersenyum.
Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Debur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga tempat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.
Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh. Udara mendadak dingin, padahal angin mati. Malam tiba di kulminasinya. Di keremangan sana, di bukit yang semula hitam samar-samar, kusaksikan cahaya menitik satu demi satu. Menyala kuning kemerahan di sana-sini. Jumlahnya kian banyak, dan entah pada kedipan mataku yang ke berapa, tiba-tiba titik-titik itu seperti membuncah karena seperti kepingan emas yang dituang dari langit. Merambat perlahan meninggi dan meninggi, cahaya yang menjulang, membukit, terang benderang, membawaku melayang.
Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang membintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku. Meneranginya dengan kelembutan. Cahaya itu seperti menggemakan kidung, melaut bunyinya, bagi kebesaran Sang Maha Besar. Cahaya itu seolah mengajakku menikmati keindahan Sang Maha Indah.
Air mataku mengucur deras menyaksikan keindahan yang belum pernah terperangkap jiwaku seumur hidup. Keindahan itu hanya kupercaya, melalui tuturan manusia-manusia berjiwa indah, dan dengan caranya yang indah memasuki jiwaku.
Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah. Gadis-gadis cantik yang lahir dari permata. Batang-batang delima cahaya yang menundukkan cabangnya manakala tanganmu meraihnya, dan membiarkan rasa madu bilamana kau mencecapnya, kutemukan di cahaya itu.
Aku tergeragap bangun karena guncangan tangan istriku.
”Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?”
Aku diam.
”Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, cuma dongeng,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali tidurnya.
Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupku. Apakah akan kuceritakan juga mimpiku? Buat apa? Kepada siapa? Siapakah yang saat ini butuh mimpi, yang menurut mereka tidak masuk akal ini?
Tapi aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan.



1.7 Kerangka Teori
1.7.1 Cerpen/Prosa
Menurut kamus istilah sastra yang diterbitkan oleh Balai bahasa, cerpen adalah kiasan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatik; cerpen. Cerpen harus memperhatikan kepaduan sebagai patokan dasarnya (short story Ing.)
Cerpen bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita.
Sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas.
Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut.
1.7.2 Unsur-unsur Pokok Cerpen
Menurut Nyoman Kutha Ratna, unsur pokok atau sering disebut juga sebagai unsur intrinsik yang terkandung didalam cerpen antara lain: (1) Tema, (2) Peristiwa atau, Kejadian, (3) Latar atau Seting, (4) Penokohan atau Perwatakan, (5) Alur atau Plot, (6) Sudut Pandang dan (7) Gaya Bahasa.
1.7.3 Semiotik
1.7.3.1 Sejarah Semiotik
Di akhir abad ke sembilan belas filsuf Amerika Charles Sanders Peirce memulai sebuah studi yang dinamakannya “semiotic”, dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL LINGUISTICS (1915) linguis Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide Peirce tersebut mengusulkan sebuah ilmu ( a science) yang disebutnya “semiology”. Sejak itu semiotika dan semiologi telah menjadi nama-nama alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang tanda-tanda (a general science of signs), seperti yang terdapat dalam semua pengalaman manusia. Menurut ilmu ini pemakaian tanda tidak terbatas pada sistem komunikasi yang eksplisit seperti bahasa, kode Morse, dan tanda serta signal lalulintas; beragam aktivitas dan produksi manusia lainnya – postur dan gerak badan kita, ritual sosial yang kita lakukan, pakaian yang kita pakai, makanan yang kita sajikan, bangunan tempat kita tinggal – mengandung “arti” yang dimengerti oleh anggota-anggota dari kebudayaan tertentu, makanya bisa dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi dalam berbagai jenis sistem signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa (pemakaian tanda-tanda verbal) dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika, linguistics yang merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainnya.
C.S. Peirce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan: (1) IKON, berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan; contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret dengan manusia yang digambarkannya, atau persamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang diwakilinya. (2) INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan; jadi, asap merupakan tanda yang mengindikasikan api, dan sebuah alat penunjuk arah angin mengindikasikan arah angin berhembus. (3) Dalam SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Gerakan berjabatan tangan, misalnya, dalam banyak kebudayaan merupakan tanda konvensional untuk sapaan ataupun perpisahan, dan lampu lalulintas berwarna merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” Contoh paling utama dan paling kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk sebuah bahasa.
Saussure memperkenalkan banyak dari istilah dan konsep yang dipakai para semiotikus sekarang ini. Yang paling penting adalah sebagai berikut: (1) Sebuah tanda terdiri dari dua komponen atau aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu “signifier” (dalam bahasa, seperangkat bunyi ujaran, atau tanda-tanda di atas kertas) dan “signified” (konsep, atau ide, yang merupakan arti dari tanda tersebut). (2) Sebuah tanda verbal, dalam peristilahan Saussure, bersifat “arbitrary”. Maksudnya, dengan onomatopoeia (kata-kata yang kita anggap sama dengan bunyi-bunyi yang ditandakan) sebagai pengecualian kecil, tidak ada hubungan inheren atau alami antara sebuah “signifier” verbal dengan apa yang ditandakan (signified). (3) Identitas dari semua elemen sebuah bahasa, termasuk kata-katanya, bunyi-bunyi ujaran komponennya, dan konsep-konsep yang ditandakan kata-kata, tidak ditentukan oleh “kualitas positif”, atau unsur-unsur objektif dalam elemen-elemen itu sendiri tapi oleh perbedaan (differences), atau sebuah jaringan hubungan, yang terdiri dari perbedaan dan oposisi dengan bunyi-bunyi ujaran lainnya, kata-kata lainnya, dan “signified” lainnya yang terdapat hanya dalam sebuah sistem linguistik tertentu. (4) Tujuan dari linguistics, atau usaha semiotika lainnya, adalah untuk memahami “parole” (sebuah ujaran verbal, atau sebuah pemakaian khusus tanda atau seperangkat tanda) hanya sebagai sebuah manifestasi dari “langue” (yaitu sistem umum dari perbedaan-perbedaan implisit dan aturan-aturan kombinasi yang mendasari dan memungkinkan sebuah pemakaian khusus tanda). Fokus perhatian semiotika lebih banyak terletak pada sistem yang mendasari “langue” daripada pada sebuah “parole” tertentu.
Semiotika modern berkembang di Perancis di bawah pengaruh Saussure hingga banyak semiotikus juga merupakan strukturalis. Mereka membahas setiap fenomena atau produksi sosial sebagai “teks”, yakni seperti yang terbentuk oleh struktur-struktur yang berdiri sendiri, mandiri dan hierarkis dari tanda-tanda, “kode-kode” fungsional yang ditentukan secara berbeda-beda, dan aturan-aturan kombinasi dan transformasi yang membuatnya “berarti” bagi anggota-anggota sebuah masyarakat. Claude Levi-Strauss, di tahun 1960an dan sesudahnya, memulai penerapan semiotika atas antropologi budaya dan pendirian strukturalisme Perancis dengan memakai linguistics Saussure sebagai model untuk menganalisis berbagai fenomena dan praktek-praktek dalam masyarakat primitif, yang diperlakukannya sebagai setengah-bahasa, atau struktur-struktur penanda yang independen. Ini termasuk sistem kekerabatan, sistem totem, cara menyiapkan makanan, mitos, dan mode pra-logis dalam penginterpretasian dunia. Jacques Lacan menerapkan semiotika atas psikoanalisis Freud, dengan menginterpretasikan ketaksadaran sebagai sebuah struktur tanda, seperti bahasa; dan Michel Foucault melakukan pendekatan analisis yang serupa untuk mendiskusikan, dalam berbagai periode sejarah, interpretasi medis atas symptom penyakit, perubahan dalam identifikasi, klasifikasi dan perawatan orang gila, dan konsep-konsep seksualitas manusia. Roland Barthes, yang secara eksplisit menerapkan prinsip-prinsip dan metode Saussure, menulis analisis semiotik atas konstituen dan kode sistem-tanda dalam iklan fashion perempuan, dan juga dalam banyak “ mitos borjuis ” tentang dunia ini yang menurutnya dicontohkan dalam sistem-tanda sosial seperti pertandingan gulat profesional, mainan anak-anak, “ornamental cookery”, dan tarian telanjang striptease. Barthes juga dalam tulisan-tulisan awalnya merupakan seorang eksponen utama dari kritik strukturalis yang membahas teks sastra sebagai “sebuah sistem semiotik lapisan kedua”; maksudnya, teks sastra dipandang sebagai memakai sistem bahasa yang merupakan lapisan pertama untuk membentuk struktur yang lebih tinggi tingkatannya, sesuai dengan sistem elemen-elemen, konvensi dan kode berbeda sastra.
1.7.3.2  Defenisi Semiotik Menurut Para Ahli
Sebagai ilmu semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektifitas dan efesiensi energi yang harus dikeluarkan. Memahami sistim tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. konflik, salah paham, dan berbagai perbedaan pendapat diakibatkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap tanda-tanda kehidupan.
Di satu pihak, ilmuwan sosial mencoba memecahkan masalah sosial yang terjadi dengan cara menemukan latar belakangnya, sekaligus memecahkan secara teoretis, misalnya, dengan teori konflik. Di pihak yang lain, ia juga dapat memecahkannya melalui semiotika, misalnya, interaksi sosial. Tujuannya yang dicapai sama, yaitu mengatasi konflik suatu masyarakat tertentu.
Dick Hartoko memberi batasan, semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda dan lambang-lambang. Sedangkan Luxemburg mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu-ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan (santoso 1993:3). Aart Van Zoest mendefinisikan semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Sujadi Wiryaatmaja mengatakan bahwa Semiotik adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang luas di dalam kehidupan masyarakat baik yang lugas maupun yang kias.






BAB II
ANALISIS CERPEN BUKIT CAHAYA, KARYA YANUSA NUGROHO
2.1 Analisis Aspek Sintaksis Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho
2.1.1 Urutan Satuan Cerita
Kisah tentang Bukit Cahaya yang didapatkan dari teman-temannya Aku.
Aku mempercayai keberadaan bukit cahaya, tepatnya di Dusun Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah bukit cahaya hanya sebuah dongeng.
Upaya untuk membuktikan keberadaan bukit cahaya melalui kisah yang didengarnya dari teman (Mas Tri Luewih dan Gus Rony).
Upaya untuk mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Tokoh Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain membulatkan tekad untuk pergi ke Bukit Cahaya.
Keyakinan yang kuat dari tokoh Aku tentang Bukit Cahaya.
Membulatkan tekad untuk pergi ke Dusun Galihkangkung.
Tokoh Aku menyadari bahwa Dusun Galihkangkung belum terpetakan.
Kepergian tokoh Aku menuju bukit cahaya melewati Dusun Galihkangkung dengan bantuan Gusti Purusa dan Pak Har sebagai tuan rumah di Dusun Galihkangkung yang mengantarkan tokoh Aku ke bukit cahaya.
Akhirnya, tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut.
Istri tokoh Aku membangunkan dari tidurnya, karena semua itu hanyalah mimpi tokoh Aku.
Walaupun demikian,  tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.








2.1.2 Alur Sebab Akibat
     
   1                     2                      7                             8                      11                    12
                                         

                      3                             6                       9                                            13

                        4                                                    10



                      5
Dongeng tentang Bukit Cahaya
Keyakinan Aku keberadaan Bukit Cahaya, tepatnya di Dusun Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah Bukit Cahaya hanya sebuah dongeng.
Upaya untuk membuktikan keberadaan Bukit Cahaya.
Mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain .
Keyakinan yang kuat dari tokoh Aku tentang Bukit Cahaya.
Membulatkan tekad untuk pergi ke Dusun Galihkangkung.
Kesadaran tokoh Aku bahwa Dusun Galihkangkung belum terpetakan.
Tokoh Aku menuju bukit cahaya melewati Dusun Galihkangkung dengan bantuan Gusti Purusa dan Pak Har sebagai tuan rumah di Dusun Galihkangkung yang mengantarkan tokoh Aku ke bukit cahaya.
Tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut.
Tokoh Aku dibangunkan dari tidurnya oleh isteri Aku.
Tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.


2.1.3 Skema Transfomasi












2.1.4 Skema Aktan
2.1.4.1 Skema Aktan Utama

   Kisah tentang bukit cahaya                          Bukit Cahaya                              Aku                                                         



Teman-teman tokoh Aku                                        Aku                                   Kisah hanya dongeng
Penjelasan:
Kisah tentang bukit cahaya yang didapatkan dari teman-temannya (pengirim)
Bukit Cahaya (objek)
Keyakinan kuat Tokoh Aku, pengambilan cuti kerja, teman-temannya seperti, Mas Tri Luwih, Gus Rony, Gusti Purusa, Pak Har (penolong/pembantu)
Tokoh Aku (subjek)
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah bukit cahaya hanya sebuah dongeng (penentang)
Tokoh Aku (penerima)
2.1.4.2 Skema Aktan Bawahan 1
Upaya membuktikan                                       Bukit Cahaya                           Aku
kebenaran cerita                                                                                                                 



Teman-teman tokoh Aku                                        Aku                                   Kisah hanya dongeng
Penjelasan:
Upaya untuk membuktikan keberadaan bukit cahaya melalui kisah yang didengarnya dari teman (Mas Tri Luewih dan Gus Rony)
Upaya untuk mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Tokoh Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain
Membulatkan tekad untuk pergi ke bukit cahaya
Tokoh Aku menyadari bahwa kisah yang didapatkannya hanyalah sebuah dongeng
2.1.4.3 Skema Aktan Bawahan 2
Upaya membuktikan                                       Bukit Cahaya                           Aku
kebenaran cerita                                                                                                                 



Teman-teman tokoh Aku, Pak Har                       Aku                                       Isteri tokoh Aku
Penjelasan:
Akhirnya, tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut, Istri tokoh Aku membangunkan dari tidurnya, karena semua itu hanyalah mimpi tokoh Aku walau pun tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.
Analisis Aspek Semantik Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho

2.2.1. Analisis Tokoh
   Tokoh Aku
   Mas Tri Luwih
   Gus Rony
   Bos
   Teman-teman kantor
    Gusti Purusa
    Pak Har
    Istri tokoh Aku
Rincian Tokoh:
1.      Tokoh Aku sebagai tokoh utama yang berperan sebagai tokoh protagonis, termasuk dalam tokoh kompleks/ berwatak bulat yang memiliki kayakinan yang kuat untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, keras kepala, tidak mudah menyerah, dan tak acuh dengan perkataan orang lain.
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang suami yang bekerja di sebuah kantor dalam bidang ekonomi dan sebagai penggemar kopi pahit
-          Psikologis: memiliki keyakinan kuat untuk mendapatkan sesuatu, tidak mudah menyerah, dan tidak peduli dengan orang yang mengejeknya
Penokohan tokoh Aku diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
2.    Mas Tri Luwih sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki pengetahuan lebih tentang pewayangan
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang dalang
-          Psikologis: memiliki pengetahuan tentang pewayangan dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Mas Tri Luwih diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahakan oleh Sokrasana,” ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
3.    Gus Rony sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: teman tokoh Aku
-          Psikologis: memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Gus Rony diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita...haha-ha-ha-ha-ha....” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
4. Bos sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan pendapat orang lain dan memiliki sifat suka meremehkan orang lain
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang yang menjabat sebagai bos di kantor tempat tokoh Aku bekerja
-          Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka meremehkan orang lain
Penokohan Bos diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
5. Teman-teman kantor sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan pendapat orang lain dan memiliki sifat suka mengejek orang lain.
Dimensi tokoh
-          Sosiologis: teman kantor tokoh Aku
-          Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka mengejek orang lain
Penokohan Teman-teman kantor diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan msuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata, dan entah apa lagi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he.... Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik dandanannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
6. Gusti Purusa sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Psikologis: memiliki sifat yang baik
Penokohan Gusti Purusa diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Entah bagaiman, Gusti Purusa-dia memang bernama Gusti-memberitahu bahwa ada salah satu kerabatnya di Galihkangkung.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
7. Pak Har sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Psikologis: memiliki sifat yang baik (menjadi tuan rumah di Galihkangkung)
Penokohan Pak Har diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai tepian teluk, “ ujar Pak Har, si tuan rumah.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
8. Istri sebagai tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang perempuan
-          Psikologis: istri tokoh Aku
Penokohan Istri diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku.”
“Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Dari uraian tokoh tersebut, kita dapat mengetahui watak tokoh-tokoh dalam cerita, keyakinan kuat yang dimiliki tokoh Aku menjadi penggerak cerita ini, sampai pada akhirnya tokoh Aku bisa melihat langsung bukit cahaya. Oleh karena itu, kita patut mencontoh sifat baik yang dimiliki oleh tokoh Aku pada  cerita dalam hidup ini untuk menggapai mimpi dan keinginan kita. Melalui tokoh Bos dan Teman-teman kantor kita dapat mengambil pelajaran untuk tidak meremehkan orang lain, tidak mengejek pendapat dan pemikiran orang lain terhadap suatu hal.

2.2.2 Analisis Latar
Latar Tempat: di kantor, dusun Galihkangkung, teluk Galihkangkung, di gubuk-gubuk kecil, di rumah tokoh Aku, bukit cahaya
Latar Waktu: awal bulan Juli, malam hari, menjelang jam sebelas
Latar Sosial: kantor, perkampungan/dusun
Cerita tersebut terjadi pada masa sekarang ini dengan pekerjaan para tokoh pada sebuah kantor. Akan tetapi, pertengahan sampai akhir cerita betempat di pedesaan, dusun Galihkangnkung dan di bukit cahaya,
“Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jimpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk,” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Ya. Di teluk itu ada bebrapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan kita lihat bercahaya.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?”
“Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, Cuma dongeng,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali tidurnya.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
2.3 Analisis Aspek Pragmatik Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho
2.3.1 Analisis Gaya Bahasa
            Cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho menggunakan bahasa yang sesuai dengan lingkungan para tokoh dan penggunaan bahasa cakapan sehingga jalan cerita lebih mudah dipahami, namun ada juga beberapa tokoh yang melesapkan penggunaan bahasa daerah dalam percakapan antar tokohnya. Gaya bahasa yang digunakan lebih bebas, tidak terkesan baku atau formal.
“Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Embuh... he-he-he.... Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita...haha-ha-ha-ha-ha....” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Ha-ha-ha... semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu, atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha, yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama saja seperti di sini,” tambah Pak Har. Aku tersenyum. (Nugroho, 2014, hlm. 2)

2.3.2 Sudut Pandang
Cerita tersebut menggunkan sudut pandang First-Person-Central atau sudut pandang orang pertama sentral atau juga akuan-sertaan, pengarang berada di dalam cerita menjadi tokoh dalam cerita tersebut. Berikut kutipannya,
“Aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Kisah itu memang kudengar dari banyak orang.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata , dan entah apa lagi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang membelintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupu. Apakah akan kuceritakan juga mimpiku?” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Tapi, aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
            Penggunaan kata “aku” berulang-uang kali dalam cerpen tersebut, sehingga cerita tersebut menggunakan sudut pandang First-Person-Central.


BAB III
SIMPULAN
            Tema yang diangkat pada cerpen Bukit Cahaya,karya Yanusa Nugroho ini umumnya mengandung tema moral, bahwa keyakinan yang kuat dalam mencapai suatu tujuan sangat diperlukan oleh setiap orang karena keyakinan tersebut bisa menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut. Menyadari bahwa setiap orang memiliki kemampuan, potensi, prinsip, dan pemikiran masing-masing, dan setiap orang pun harus menghargai perbedaan itu, meremehkan pemikiran orang lain bukanlah perilaku yang baik, karena dari pemikiran setiap orang itu bisa menjadi sebuah kebenaran dalam hidup.
“Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada perhitungan logika-entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak biasa lagi gelenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)

















DAFTAR PUSTAKA

Mulyono, S. (2014). Cerita Wayang. [Online]. Tersedia di: http://kumpulanceritawayanghtm. [Diakses 9 September 2014].
Nugroho, Y. (2014). Bukit Cahaya. [Online]. Tersedia di: http://cerpenkompas2014.htm. [Diakses 4 September 2014].
Nurgiyantoro, B. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Wayang. (2010). Sumantri dan Sokrasana. [Online]. Tersedia di: http://wayangindonesia.htm. [Diakses 9 September 2014].
Wikipedia. (2014). Kartawirya Arjuna. [Online]. Tersedia di: http://wikipedia-kartawirya-arjuna.htm. [Diakses 9 September 2014].






Senin, 28 November 2016

Analisis Puisi "Aku Ingin" Karya Sapardi

ANALISIS MAKNA DALAM PUISI “AKU INGIN” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (Pendekatan Aspek Prosodi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik) Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori dan Apresiasi Sastra Indonesia Dosen Pembimbing: Prof. Apsanti Djokosuyatno KELAS : 1A (JUMAT) IIS NIA DANIAR 20167170035 (05) MUHAMMAD FADLI 20167170147 (44) PUTRI MARGARETH 20167170063 (13) TIUR MARIA C. C. 20167170062 (12) FAKULTAS PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA  UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI 2016 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kliah Apresiasi Sastra Analisis Puisi Aku Ingin, Karya Sapardi Djoko Darmono Kajian Makna dengan Pendekatan Struktural. Dengan menganilisis puisi ini, penulis mengharapkan agar puisi di Indonesia akan terus berkembang dan berbenah diri menuju kesempurnaan dan semoga puisi Indoenesia akan terus dihargai dan menjadi aset utama kesusastraan Indonesia. Terima kasih kepada Prof. Apsanti Djokosuyatno dan teman-teman yang telah membantu saya dalam menganalisi puisi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam menganalisis puisi ini seperti kata pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”. Demikan pula yang terjadi dalam menganalisis puisi ini. Akan tetapi, penulis mengharapkan agar analisis puisi ini dapat membantu pembaca dalam memahami isi puisi, terutama puisi Aku Ingin, Karya Sapardi Djoko Damono. November 2016 Penulis,                         DAFTAR ISI KATA PENGANTAR …………………………………………………………… … DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. … BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. ... Rumusan Masalah ......................................................................................... ... Manfaat Penelitian ........................................................................................ ... Tujuan Penelitian .......................................................................................... ... Sumber Data ………………………………………………………………. … Landasan Teori BAB II ANALISIS DAN ULASAN ……………………………………………… … 2.1 Prosodi Puisi ……………………………………………………………….. … 2.2 Analisis Sintaksis …………………………………………………………… … 2.2.1 Analisis Sekuen …………………………………………………….. … 2.2.2 Analisis Struktur Puisi ……………………………………………… … 2.3 Analisis Semantik ………………………………………………………….. … 2.3.1 Analisis Tokoh ……………………………………………………... … 2.3.2 Analisis Ruang dan Watu ………………………………………….. … 2.4 Analisis Pragmatik ………………………………………………………… … 2.4.1 … ……………………………………………………………… … 2.4.2 … ……………………………………………………………… … 2.4.3 … ……………………………………………………………… … BAB III KESIMPULAN …………………………………………………………. … DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. … BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Strukturalisme dapat paling tuntas dilaksanakan bila yang dianalisis adalah sajak yang merupakan keseluruhan, yang unsur-unsur atau yang bagian-bagiannya saling erat berjalinan (Hawkes, 1978 : 18). Dengan demikian, dalam sajak ini dianalisis secara struktural dan semiotik. Sajak merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat, maka perlu dipahami secara utuh dan bulat pula. Untuk memudahkan pemahaman seperti itu, maka perlulah disini diberikan parafrase setiap sajak sebelum dianalisis lebih lanjut. Hal ini juga disebabkan oleh sajak menyatkan sesuatu secara tidak langsung, maka diharapkan parafrase ini lebih memudahkan pemahaman dan mengikuti analisis sajak. Sesungguhnya parafrase baru dapat dibuat sesudah sajak dianalisis, ditafsirkan, dan diterangkan mengenai ambiguitas bahasanya dan jalinanya unsur-unsur lainnya. Akan tetapi, di sini sengaja diberikan parafrase terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan alasan tersebut itu. Parafrase di sini diberikan berdasarkan analisis yang belum dieksplisitkan dalam uraian. Baru sesudah ini analisis sesungguhnya dipaparkan. Hanya dengan cara analisis, parafrase dapat dibuat meskipun tidak selalu harus berupa analisis eksplisit (jelas). Jadi, parafrase yang dibuat sebelum analisis secara eksplisit tidak dibuat semena-mena. Proses analisis ini menunjukan makna keseluruhan ajak. Di samping itu, parafrase yang dikemukakan bukanlah satu-satunya tafsiran yang benar hal ini mengingatkan bahwa sajak itu bersifat banyak tafsiran oleh bahasanya yang ambigu. Tafsiran disini didasarkan pada hubungan struktural tiap-tiap unsur sajak dalam jalinan keseluruhan ajak ataupun didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Parafrase disini dimaksud untuk memberi perkiraan makna sajak. Oleh karena itu, parafrase pada makalah ini bukanlah makna mutlak setiap sajak yang dianalisis. Parafrase yang diberikan hanyalah merupakan kemungkinan tafsiran mengingat bahwa sajak itu bersifat tafsiran ganda. Sajak yang dianalisis di sini adalah sajak Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Darmono. Sajak ini dipilih ungtuk memberikan gambaran bagaimana menganalisis sajak secara struktural. Berdasarkan penelusuran saya di situs Wikipedia Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, sang penulis puisi lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 20 Maret 1940. Ia aktif berkecimpung di dunia sastra sejak tahun 1958 hingga sekarang. Dari wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab terhadap Sapardi yang diunggah di YouTube (diakses 20 November 2016) Sapardi mengatakan ia menulis puisi tersebut selama 15-20 menit dengan ditulis tangan. Berikut transkrip perkataan Sapardi mengenai pertanyaan Najwa tentang interpretasi puisinya: “Ya tentu, memang puisi itu hidup, interpretasinya macam-macam, kalau cuma satu ya sekali baca sudah habis gitu, jadi orang mikir-mikir, kok sederhana, kok ada api, ada kayu. Kayu dibakar api to, ini kan percintaan bagi saya, kayu dan api itu bercinta. Sebelum sempat menyampaikan cintanya, sudah jadi abu, jadi nggak sampai. Bukan, bukan, bukan cinta tak sampai, cinta beneran, itu cinta beneran!” Rumusan Masalah Masalah yang dijumpai dalam puisiAku Ingin, karya Sitor Situmorang ini adalah sebagai berikut: Bagaimana kita menganalisis puisi dimaksud dengan menggunakan metode analisis prosodi, sintaksis, semantik, dan pragmatik? Apa makna yang terkandung dalam puisi Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Darmono? Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah tentang Analisis Puisi Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono Pendekatan Struktural adalah sebagai berkut: Membedah makna serta menemukan aspek kepuitisan dengan cara analisis struktural dan semiotik; Memahami dan mengetahui penggunaan kata baik gaya bahasa, citraan, majas dan unsur-unsur kepuitisan yang terdapat dalam puisi tersebut. Manfaat Penulisan Manfaat yang ingin dicapai dalam analisis sturktural dan semiotik puisi Aku Ingin adalah kita dapat memperoleh pengetahuan baru dan manfaat dari hasil analisis yang akan dilakukan. Sumber Data AKU INGIN aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Sapardi Djoko Damono, 1989 BAB II KAJIAN TEORI Hakikat Puisi Menurut Pradopo (2005: 1), puisi dalam pengertian lama adalah karangan terikat, sedangkan puisi dalam pengertian baru yaiitu karangan terikat tetapi oleh hakikatnya sendiri atau lebih berdasarkan pada hakikat puisi bukan sarana kepuitisan. Jadi puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak langsung (ucapan ke inti pati masalah peristiwa ataupun narasi). Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman dalam bahasa berirama dalam bentuk tulisan atau lisan yang selalu mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sesuai dengan selera dan estetikanya. Puisi adalah suatu bentuk tulisan yang lahir dari bakat dan kreatifitas sang penulis. Ungkapan isi hati dan perasaan seseorang dapat dilukiskan dalam rangkaian bait-bait kalimat yang indah. Ada banyak tema yang dapat diangkat dalam penulisan puisi seperti cara pandang kita tentang hidup dan kompleksitasny, fenomena yang terjadi disekeliling kita, bagaimana gambaran terhadap apa atau siapa yang kita puja dan tentu saja tema klasik yang tak pernah mati. Hakikat Struktural Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Sturuktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antar unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentuan.Dalam pengertian struktur terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide tranformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Piaget via Hawkes, 1978 : 16). Pertama, struktur itu merupakan suatu keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri diluar struktur itu.  Kedua struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bawa itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes, 1978:17-18). Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks. Karena itu, untuk memahami karya sastra (puisi) harusla karya sastra itu dianalisis (Hill, 1966:6). Namun, sebuah analisis yang tidak tepat hanya akan menghasilkan kumpulan fragmen yang tidak saling berhubungan. Unsur-unsur sebuah koleksi bukanlah bagian-bagian yang sesungguhnya. Oleh karena itu, analisis sajak bagian tersebut haruslah dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan. Hal ini seperti dikemukakan oleh T.S. Eliot (via Sansom, 1960:155) bahwa bila kritikus terlalu memecah-mecah sajak dan tidak mengambil sikap yang dimaksudkan penyairnya (yaitu sarana-sarana kepuitisan itu dimaksudkan untuk mendapatkan jaringan efek puitis) maka kritikus cenderung mengosongkan arti sajak. Sajak itu merupakan susunan keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling erat berkaitan dan saling menentukan maknanya. Menurut Pradopo (2005: 118), karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbale balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hala-hal atau benda-benda yang terdiri sendiri-sendiri melainkan hal-hal itu saling terikat, saling terikat dan saling bergantungan. Dalam pengertian struktur ini (Pradopo, 2005: 118), terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (self-regulation). Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan atau deskripsi struktur-struktur. Menurut fikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu. Oleh karena itu, pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa struktural adalah unsur-unsur dan fungsi dalam struktur dan penguraian bahwa tiap unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya, bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur. Pradopo (1987:7) mengatakan bahwa puisi itu adalah karya sastra yang mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan. Waluyo (1987:25) mengatakan Jika dipaksa untuk memberikan definisi puisi yang sangat sukar dirumuskan, kira-kira seperti berikut. Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa melalui pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Struktur adalah sesuatu yang disusun dengan cara atau pola tertentu untuk menjadikan suatu bentuk. Struktur puisi adalah sesuatu unsur yang disusun dengan cara tertentu sehingga menjadi sebuah puisi. Struktur fisik puisi adalah unsur-unsur yang disusun dengan sehingga membentuk puisi secara fisik atau yang dapat dilihat oleh mata. Sedangkan struktur batin puisi adalah unsur-unsur yang disusun sehingga membentuk puisi dari dalam puisi. Puisi terdiri dari dua struktur fisik dan struktur batin, dibawah ini ada beberapa unsur yang membentuk struktur batin dan struktur fisik menurut para ahli. Waluyo (1987) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari hakikat puisi yang meliputi tema, rasa, amanat, nada, serta metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima. Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang. Strukur fisik atau kebahasaan terdiri dari diksi, pengimajian, kata konkret, majas versifikasi dan tipografi. Sedangkan struktur batin. Waluyo (1987) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi. unsur puisi meliputi , diksi, imajeri,  bahasa kiasan, simbol, bunyi, ritme, bentuk. Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, tapi berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa puisi adalah karya sastra yang mengkonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin  dan mengekspresikan pemikiran seorang penyair secara imaginatif dengan memadatkan kata dan makna yang digubah dalam wujud bentuk yang paling berkesan. Dari beberapa pendapat di atas juga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur puisi meliputi  tema, nada,  rasa, amanat,  diksi, imaji, bahasa figuratif,  kata konkret,  ritme dan rima. Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Dick Hartoko dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajinasi, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima. Aspek Prosodi/Persajakan Menurut KBBI edisi ke V, menjelaskan bahwa Prosodi adalah suatu kajian tentang persajakan, yaitu mengkaji tekanan, matra, rima, dan bait dalam sajak. Hal-hal yang mencakup prosodi/persajakan akan dijabarkan sebagai berikut: Tekanan Tekanan merujuk kepada bunyi kata yang diucapkan lebih lantang daripada yang lain atau pengucapan kata yang dikuatkan.Tekanan digunakan untuk menyampaikan sesuatu maksud seperti rasa marah atau sebagai desakan kepada pendengar.Tekanan juga merupakan suatu cara menyebut perkataan, frasa atau kalimat dengan memberi penekanan pada tempat tertentu, terutama pada suku kata dengan tujuan untuk menandakan keras atau lembut sesuatu pengucapan. Oleh karena itu, tekanan dapat terletak pada suatu kata. Menurut KBBI, tekanan umumnya terletak pada suku akhir. Matra Menurut KBBI V, matra adalah bagan yang dipakai dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah panjang atau tekanan suku kata. Rima Menurut KBBI edis V, rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Bait Menurut KBBI edisi V, bait adalah satu kesatuan dalam puisi yang terdiri atas beberapa baris atau larik. Sebuah sajak, kata-kata pertama-tama tunduk kepada struktur ritmik sebuah larik dan tidak kepada struktur sintaktik sebuah kalimat. Dalam puisi mudah terjadi struktur-struktur sintaktik yang lain daripada struktur sintaktik dalam bahasa sehari-hari. Kadang-kadang pola itu kelihatan agak dibuat-buat, urutan kata dibalikkan demi rima atau metrum. Sama halnya dengan aspek-aspek bentuk lainnya pola sintaktik dapat memunyai fungsi semantik. Pola-pola sintaktik dapat dilihat sebagai: (a) kaidah-kaidah sintaktik bahasa diabaikan (infrastrukturasi), dan (b) pola-pola tertentu diulang-ulang sehingga terjadi keteraturan tambahan (suprastrukturasi). Aspek Semantik Menurut Zaimar (2008:32—36) aspek semantik memiliki beberapa unsur dan  dalam aspek semantik terdapat dua hubungan, yaitu: Hubungan sintagmatik, terdapat dua aspek yang dianalisis yaitu urutan peristiwa dan fungsi utama Hubungan paradigmatik, terdapat dua aspek yang dianalisis yaitu indeks dan informan. Aspek tokoh dan latar (ruang dan waktu) diperoleh dari analisis aspek semantik.   Analisis Tokoh Dalam karya sastra tradisional, tokoh mempunyai fungsi mimesis. Ia menggambarkan manusia yang “sebenarnya”. Dalam aspek referensial ini, tokoh mempunyai nama walau kadang tidak spesifik. Penggambaran tokoh ini digunakan untuk menunjukkan  koherensi tindakan tokoh dalam karya. Penggambaran ini dikemukakan oleh pencerita, tetapi dapat pula di lakukan oleh tokoh lain. Analisis Ruang Ruang terutama digunakan untuk memberikan kesan realis pada karya. Dalam hal ini penulis mementingkan deskripsi dengan keterangan-keterangan rinci dan khas. Apabila keterangan ruang ini tidak jelas, kesan yang ditimbulkan adalah bahwa peristiwa yang diceritakan bisa terjadi dimana saja. Analisis Waktu Seperti juga ruang, waktu berfungsi untuk menjadikan cerita berakar dalam realita. Tanggal, bulan, dan tahun tertentu yang disebut dalam novel atau cerpen menyebabkan pembaca merasa bahwa peristiwa yang diceritakan benar-benar terjadi; Selain itu termasuk juga ke dalam cerita durasi, yaitu berapa lama cerita berlangsung. Aspek Pragmatik Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam khasanah pemahaman karya sastra yang merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan struktural hanya dapat menjelaskan lapis permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang struktur atau interalasi unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang diperlukan untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan pragmatik. Definisi lain mengatakan bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan sebuah karya yang merupakan karya sastra atau bukan. Horatius dalam art poetica menyatakan bahwa tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus memberikan manfaat dalam kehidupan. Dari pendapat inilah dimulai pendekatan pragmatik (Wahyudi Siswanto, 2008: 181-191). Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama pada peran pembaca. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang puisi sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu pada audience (pembaca atau pendengar), baik berupa efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan ini cenderung menilai puisi berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut. Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggaan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam puisi. Dua pembaca yang sama akan menerima pesan yang berbeda walaupun mereka dihadapkan pada puisi yang sama (Damono, 1983). BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN Analisis Prosodi/Persajakan Prosodi adalah suatu kajian tentang persajakan, yaitu mengkaji tekanan, matra, rima, dan bait dalam sajak (KBBI). Adapun mengenai beberapa rincian dan merunut pada puisi AKU INGIN, dapat ditinjau sebagai berikut: Tekanan Aspek tekanan bila ditinjau pada puisi AKU INGIN adalah sebagai berikut: aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Beberapa penekanan ditinjau dari beberapa pengulangan kata atau kalimat: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Diulang dua kali sebagai pembuka ucapan. Mengisyaratkan keinginan seseorang yang bermaksud mencintai dengan cara yang sederhana atau tidak berlebihan Dengan Diulang dua kali sebagai kata hubung. Digunakan sebagai kata hubung dari kalimat cinta yang sederhana dan... yang tak sempat... ... yang tak sempat ... Diulang dua kali sebagai suatu frasa yang menandakan tentang perumpaan cinta yang sederhana tersebut ... kepada.. Diulang sebagai suatu kata hubung dari dua kata yang mempunyai relasi satu sama lain. Pada AKU INGIN; kayu ... api dan awan ... hujan. Relasi dua kata ini dapat diartikan sebab akibat kayu akan terbakar bila terkena api. Juga awan secara hukum fisika akan mengumpul dan menyebabkan hujan. Kata kepada pun menurut KBBI untuk menandai tujuan orang. Jadi, tujuan ini dapat kita lihat pada puisi AKU INGIN, adalah kayu yang bertujuan akan terbakar menjadi abu bila terdapat (unsur) api yang menyertainya. Awan yang bertujuan akan menyebabkan hujan dan tiada atau awan itu akan lenyap di langit karena sudah berubah menjadi hujan. Matra Matra yang dapat ditinjau pada puisi AKU INGIN sebagai berikut: a-ku i-ngin men-cin-tai-mu de-ngan se-der-ha-na: → ada 14 penggalan setiap suku kata de-ngan ka-ta yang tak sem-pat di-ucap-kan → ada 11 penggalan setiap suku kata ka-yu ke-pa-da a-pi yang men-jadi-kan-nya a-bu → ada 14 penggalan setiap suku kata a-ku i-ngin men-cintai-mu de-ngan se-der-ha-na: → ada 14 penggalan setiap suku kata de-ngan i-sya-rat yang tak sem-pat di-sam-pai-kan → ada 13 penggalan setiap suku kata a-wan ke-pa-da hu-jan yang men-jadi-kan-nya ti-ada” → ada 14 penggalan setiap suku kata Pada puisi AKU INGIN total ada 80 suku kata. Rima Ditinjau dari konsep rima, maka pada puisi AKU INGIN, rima dapat dilihat: aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → a dengan kata yang tak sempat diucapkan → b kayu kepada api yang menjadikannya abu → - aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → a dengan isyarat yang tak sempat disampaikan → b awan kepada hujan yang menjadikannya tiada → - Pada puisi AKU INGIN ada banyak terdapat pengulangan seperti yang telah ditandai di atas. Larik Aku ingin mencintaimu dengan sederhana terdapat pada larik pertama dan diulang di larik ketiga. Kata dengan lalu frasa yang tak sempat dan akhiran – kan terdapat pada larik kedua dan diulang kembali di larik kelima. Kata kepada lalu frasa yang menjadikannya terdapat pada larik ketiga dan diulang kembali di larik keenam. Bait Pada puisi AKU INGIN, terdiri dari enam larik, seperti berikut; aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → 1 dengan kata yang tak sempat diucapkan → 2 kayu kepada api yang menjadikannya abu → 3 aku ingin mencintaimu dengan sederhana: → 4 dengan isyarat yang tak sempat disampaikan → 5 awan kepada hujan yang menjadikannya tiada” → 6 Analisis Sintaksis Analisis Sekuen Puisi “AKU INGIN”  yang ditulis pada tahun 1989 oleh Sapardi Djoko Damono, pria kelahiran 20 Maret 1940 ini, adalah salah satu dari sekian puisi para penyair Indonesia yang sangat popular dan banyak mendapat perhatian para penyuka, serta para pengamat sastra puisi. Puisi ini sangat menarik untuk ditelisik terkait tata bahasa pun tata sastranya. Jika diperhatikan secara bentuk ketatabahasaan (untuk selanjutnya ditulis: gramatikal), dua bait isi yang ditampakkan teks tertampak jelas ketidaksesuaiannya secara gramatikal, dimana perlakuan Sapardi Djoko Damono untuk penyentaraan makna yang dibawa teks larik pertama setara dan sebanding dengan makna yang dibawa teks dalam larik-larik berikutnya dalam tiap bait, sangat jelas berlawanan makna, artinya kurang tepat jika larik pertama (bait pertama dan kedua) disamakan dalam derajat kesamaan makna dengan larik kedua dan seterusnya (bait pertama dan kedua).  Dalam teks nampak ada “ketidaksesuaian”. Karena hal yang ingin disampaikan sesuatu yang sederhana, tetapi yang dijadikan perumpamaannya jelas-jelas bukan sesuatu yang sederhana dan membawa makna tidak yang sederhana pula. Pemaknaan tata bahasa sebagai sebuah sistem yang terukur secara makna kata (semantik) dari adanya pemindahan objek nyata yang ditangkap Indra ke dalam bentuk bahasa teks (mimesis). Pengertian terukur di sini adalah bagaimana makna teks tadi dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pembaca (koheren). Dalam tata bahasa, ada yang namanya makna leksikal (denotasi) dan makna gramatikal (konotasi). Biasanya dalam membaca sebuah teks puisi, kecenderungan pertama yang ada dalam pikiran, adalah makna leksikal—makna kediriannya—makna yang tertera dalam kamus. Makna gramatikal—biasanya berkaitan dengan gaya bahasa, baru menjadi pusat perhatian setelah dalam satuan utuh kalimat, makna leksikal tadi tidak mampu mengakomodasi ide, tema, gagasan atau amanat yang dibebankan pada kata.             Dalam puisi AKU INGIN-nya Sapardi Djoko Damono, sebagaimana yang ditampakkan bait pertama yang terdiri dari tiga larik, jika dimaknai perlarik, maka secara makna leksikal sangat jelas dan tegas apa yang disampaikan. Hal tersebut nampak pada bait pertama aku ingin mencintaimu dengan sederhana; à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas dengan kata yang tak sempat diucapkan à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas kayu kepada api yang menjadikannya abu à pernyataan yang tegas dan cenderung tuntas Namun saat dihadapkan dalam pemaknaan secara satuan utuh teks dalam bait, didapati adanya kombinasi gaya ungkap yang menawarkan makna leksikal larik pertama /aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dan makna gramatikal pada penyatuan larik dua dan tiga /dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu / dan tampak jelas berhubungan dengan makna tersirat (sesuatu yang tidak sederhana). Ketidaktepatan sintaksis (tata kalimat), baik dengan adanya simbolik tanda baca titik koma (;)  [dalam manuskrip HUJAN BULAN JUNI yang diterbitkan  pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 1994; halaman 87, simbolik tanda baca yang tertulis dalam teks puisi adalah tanda baca titik dua (:)], atau misalkan tanpa tandabaca sama sekali, ketidaktepatan penyetaraan makna secara hubungan ketatabahasaan—dalam konteks ini tanda baca yang saya gunakan adalah tanda baca titik koma (;) dapat diilustrasikan sebagaimana di bawah ini:  Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; ß ingin adv hendak; mau; perbuatan belum dilakukan atau perbuatan mencintaimu dengan sederhana itu belum terjadi. dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu ß dengan kata yang tak sempat diucapkan; perbuatan yang sudah dilakukan/terjadi, tapi menyisakan sesuatu perbuatan yang belum di lakukan, yakni pada frasa tak sempat diucapkan. Kenapa tidak sempat diucapkan? Ini bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menyiratkan hal yang tidak sederhana. Hal tersebut dipertegas dengan sesuatu yang juga tidak sederhana dari makna gramatikal yang tersirat kayu kepada api yang menjadikannya abu. Artinya hubungan ketatabahasaan larik pertama dan larik selanjutnya—larik dua dan larik tiga, kurang tepat (kalau tidak bisa dikatakan tidak tepat)—tidak harmoni dalam konteks penyetaraan makna/arti, yakni larik pertama perbuatan yang belum terjadi dan larik kedua, ketiga merupakan perbuatan yang sudah terjadi, Artinya di sini ada sesuatu makna teks yang tidak harmoni. (sebagaimana bisa dilihat dalam diagram alur 1A di bawah ini) Lantas untuk mencapai titik harmoni tadi apakah harus merubah sintaksis, semisal dengan menghilangkan kata “ingin” agar kesetaraan maksud bisa terpenuhi, sebagaimana yang dinyatakan Narudin Pitun dalam catatannya tertanggal Subang, 14 Maret 2016, “Dua bait puisi di atas homolog, terutama untuk baris ke-1 tiap bait: "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana." Ada pengulangan kata "ingin" di situ, yang menyiratkan 2 hal: 1) berarti tindakan mencintai dengan sederhana belum terjadi, dan 2) boleh jadi si aku-lirik justru telah sedang mencintai dengan tak sederhana. Oleh sebab itu, muncullah suatu niat "ingin" mencintai dengan sederhana akibat sesuatu hal yang membuat si aku-lirik beralih cara mencintai dari "dengan tak sederhana" jadi "dengan sederhana". Dampak cinta dengan tak sederhana itu dirasa tak menguntungkan lagi. Dengan kehadiran makna "ingin" yang ke-2 tadi, kesan "cinta sederhana" ini sudah "membawa potensi cinta tak sederhana", yang tentu merusak kesederhanaan yang dikehendaki oleh si penyair (Sapardi). Jadi, sebaiknya, baris ke-1 pada tiap bait itu (bait ke-1 dan bait ke-2), berbunyi: "Aku mencintaimu dengan sederhana" saja. Untuk menemukan jawaban apakah penghilangan kata “ingin”ini perlu dilakukan atau tidak, maka dilakukan simulasi sebagaimana terlihat di bawah ini. Aku mencintaimu dengan sederhana; ß perbuatan mencintaimu dengan sederhana itu sedang atau bahkan terjadi. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu ß perbuatan dari sebuah proses kayu ke abu, sedang atau bahkan sudah terjadi Artinya di sini aku lirik sama-sama sedang atau telah melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan aku lirik yang ditampakkan pada larik pertama, dengan meminjam makna yang tersirat dari larik kedua dan ketiga dengan memanfaatkan jukto posisi, artinya lagim, makna sederhana dalam larik pertama bukan lagi makna leksikal, namun telah bergeser menjadi makna gramatikal—konotasi—makna yang ditambahkan dalam makna denotasi. Tapi konsekuénsi dari penghilangan kata “ingin” menyebabkan perbedaan makna, amanat, pun nada yang mewakili ekpresi aku lirik (Sapardi Djoko Damono).                   Berpegang diagram alur di atas, jadi dalam membaca karya sastra puisi, jika hanya berpegang pada ketatabahasaan saja, saya bisa maklumi jika ada yang berpendapat bahwa dua bait dalam puisi “AKU INGIN”, lemah dalam pembentukan sintaksisnya.Tapi buru-buru akan saya katakan bahwa saat dihadapkan dalam jalan buntu tata bahasa, maka diperlukan jalan lain—yakni tata sastra, untuk mencari tahu mengapa terjadi adanya ungramatikal—ketidaksesuaian dengan tata bahasa/tata kalimat (sintaksis). Sebab bisa jadi adanya sesuatu yang tampak aneh—seperti misalkan keberadaan kata “ingin” yang menjadikan teks tampak tidak wajar atau aneh, merupakan lompatan dari mimesis (tiruan perilaku) ke semiosis (Proses tanda). Dan dengan adanya lompatan tersebut, “ingin” dalam larik pertama bisa saja kini telah bergeser dari belum melakukan suatu tindakan, berubah menjadi suatu proses yang sedang berjalan, dalam artian “ingin—ingin mencintaimu” di sini si aku lirik sudah ada tindakan mencintai, hanya saja mencintainnya di sini bukan dalam ketuntasan, tetapi dalam proses sedang berjalan untuk pencapaian dalam mencintai seperti yang disuratsiratkan larik dua dan tiga yang simbolis metafora tadi. Dan saya condong ke arah itu.  Ungramatikal (Tata sastra) dalam “Aku Ingin. Dapat disimpulkan, kata “ingin” ini keberadaannya saya pandang sangat vital, sebab menciptakan kekontrasan makna antar lariknya secara gramatikal, namun saat dipandang secara ungramatikal (tata sastra), justru adanya kata “ingin” ini yang menyiratkan adanya makna ke dalam, yang ditimbulkan dari pembalikan arti atau pembalikan makna yang disebabkan adanya impresi (tekanan) dari mimesis (tiruan perilaku) ke semiosis (Proses tanda) larik selanjutnya yang masing-masing bait berbunyi / dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu/ dan /dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada/. Dan ekpresi dari adanya pergolakan batin yang diwakilkan melalui bahasa simbol kayu, api, abu, awan,dan hujan tadi menjadi semakin kuat dengan adanya repetisi utuh / aku ingin mencintaimu dengan sederhana;/ di larik pertama bait pertama dan diulang dalam larik pertama bait kedua, memjadikan intensitas nada kian memberat—menyiratkan sesuatu hal yang tidak mudah—tidak sederhana. Tanpa "ingin" justru akan meniadakan pergolakan batin aku lirik—hilangnya suatu proses bahwa cinta itu tidak mudah, bahwa cinta itu tidak sederhana, bahwa cinta itu pelik, butuh kesabaran, ketabahan, keikhlasan, ketawadukan, dan untuk mencapai itu bukan hal yang mudah, dan ini adalah proses dari “ingin”– seperti proses yang dicitrakan atau di surat-siratkan dalam susunan frasa larik-larik selanjutnya tentang makna cinta sederhana yang sebenarnya tidak sederhana tadi melalui bahasa simbolis (semiotika). Bisa dilihat diagram alur 2A dan 2B di bawah ini:       Ketika membaca karya sastra—khususnya puisi, saya atau mungkin Anda harus selalu sadar bahwa teks diberikan peran atau bahkan mungkin teks membebankan pada dirinya untuk terus mendorong pembaca menemukan makna yang tidak dihadirkan secara terbuka. Jadi sangat jelas bahwa ungramatikal hadir untuk menciptakan nilai keindahan dari suatu ambiguitas (kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan). Terkait ungramatikal, Riffaterre menekankan bahwa teks akan memberikan indeks resmi kepada pembaca, yang akan memberikan kunci untuk interpretasi. indeks ini menunjukkan dua fitur, atau properti:  Pada baris pertama Aku ingin mencintaimu dengan sederhana sederhana menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 1 bersahaja; tidak berlebih-lebihan: hidupnya selalu –; 2 sedang (dl arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah, dsb): harga –; 3 tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dsb); tidak banyak pernik; lugas.Artinya, Aku-Lirik ingin mencintai sesorang dengan cara yang tidak berlebihan, sedang dan secara tulus, apa adanya dan hanya untuk seseorang yang ia cintai. Baris kedua Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikanya abu. Kata-kata ini memunculkan pengertian bahwa ‘Aku-lirik’ tidak sempat mungungkapkan perasaan cintanya kepada orang yang ia cintai. Hal ini diperjelas dengan kata kayu yang telah menjadi abu. Begitu juga dengan bait berikutnya Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Bait ini mempunyai pengertian hampir sama dengan yang diatas. Yaitu tentang keterlambatan seseorang dalam mengungkapkan isi hatinya kepada orang yang ia cinta. Kata-kata yang digunakan Sapardi Djoko Damono dalam puisi ini sederhana, tapi maknanya sangat dalam, dari beberapa kata yang menjadikan key word adalah kata Aku ingin mencintai kamu dengan sederhana. Kesimpulan yang dapat diambil dari puisi ini ialah Cintailah seseorang dengan tulus dan apa adanya dan Segera ungkapkan isi hati kita kepada orang yang dicinta sebelum semuanya terlambat karena biasanya kesempatan tidak datang dua kali. lebih baik diungkapkan dari pada tidak diungkapkan. Stuktur Puisi Struktur Fisik Diksi (pilihan kata) Pilihan kata banyak mengunakan kata-kata yang bernada serius, dipantulkan oleh kata-kata: Mencintaimu, sederhana, kayu, api, abu, isyarat, awan, hujan, tiada Majas (bahasa kiasan) Gaya bahasa yang terdapat dalam puisi diatas adalah majas personifikasi yang ditemukan pada kalimat: “Dengan kata yang tak sempat, diucapkan kayu kepada api” “Dengan isyarat yang tak sempat, disampaikan awan kepada hujan” Pengimajinasian (pencitraan) Penggunaan kata-kata yang digambarkan atas bayangan konkret apa yang kita hayati secara langsung melalui pengindraan manusia. Imaji Pendengaran Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api Imaji visual Penglihatan Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan Rima Masih mengikuti pola lama. Rima akhir setiap bait( / Mu-na-at-pi-bu (abab) dan (/Mu-na-at-an-da(aabb), dan pada bait ketiga rima akhir berubah menjadi (abab). Struktur Batin Puisi Struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan penyair dan stuktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya (Waluyo, 1987:102). I.A.Richards dalam J.Waluyo (1987:106) menyebutkan makna atau stuktur batin itu dengan istilah hakekat puisi. Ada empat unsur hakekat puisi yakni. Tema Puisi di atas dapat dianalisis bahwa temanya adalah cinta. Saat penyair  menyampaikan bagaimana keinginanya untuk mencintai dengan sederhana. Perasaan Perasaan penyair pada waktu menciptakan puisi ini dapat kita rasakan juga sewaktu kita menelaah dari bait ke bait. Perasaan yang serius dan menginginkan tentang tindakan yang tidak terlalu menggebu- gebu. Nada Nada puisi tersebut adalah Penyair menyceritakan perasaanya dengan nada memberi  tahu dengan lembut dan penuh dengan penghayatan . Amanat Amanat puisi itu menyatakan bahwa penyair ingin mengungkapkan  tentang apa yang dirasakanya dengan tenang dan sederhana tanpa dengan perbuatan yang mengada-ada. Analisis Semantik Aspek Tokoh Tokoh “Aku”di dalam puisi ini diceritakan adalah pribadi yang sederhana, apa adanya, tidak berlebihan kepada orang yang dicintainya (Aku ingin mencintaimu dengan sederhana). Ia juga merupakan seseorang yang pendiam, kurang suka mengekspresikan rasa cintanya melalui perkataan. Hal tersebut dibuktikan oleh salah satu larik dalam puisi tersebut; yakni “Dengan kata yang tak pernah diucapkan”. Ia lebih suka membuktikan ketulusan cintanya dengan sederhana; bukan melalui perkataan semata, tetapi membuktikannya secara langsung melalui tindakan yang menyatakan rasa sayangnya untuk orang yang dicintainya. Justru mencintai seseorang dengan sederhana itulah yang merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan. Namun, tokoh “Aku” di dalam puisi ini terlambat untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dicintainya dan itu membuat hatinya hancur bagaikan kayu yang dibakar menjadi abu (dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu). Bait kedua mempunyai makna yang sama dengan bait pertama, hanya saja pada baris keduanya, tokoh “Aku” ingin menyatakan cintanya dengan menggunakan isyarat, tetapi dia terlambat menyatakan cintanya dan orang yang dicintainya meninggalkan dan hilang dari tokoh “Aku” bagaikan awan yang ditinggali oleh air-air yang awalnya terdapat dalam awan. (dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada). Larik ini menunjukkan sang penulis puisi yang terlambat mengungkapkan cinta bagi orang yang dicintainya, sehingga makna dari rasa cintanya selama ini menjadi tiada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sang penulis puisi merupakan seorang pribadi yang hati-hati dan penuh pertimbangan, sehingga ia terlambat menyatakan cintanya. Aspek ruang Jika ditelaah secara mendalam, dapat dideteksi beberapa unsur yang bisa mengindikasikan ruang, seperti kayu, api, awan dan hujan. Sapardi melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam untuk dijadikan simbol-simbol dalam puisinya. Kayu dan awan menyimbolkan seorang laki-laki yang ingin menyatakan cintanya, tetapi tidak tercapai, sedangkan api dan hujan menyimbolkan seorang perempuan yang acuh tak acuh terhadap cinta pria tersebut. Selain itu, unsur lain dalam puisi tersebut yaitu awan dan hujan, semakin menegaskan bahwa latar tempat yang digunakan adalah ruang terbuka, karena penulis mudah menemukan inspirasi ketika menatap pada sesuatu yang berpijak di tanah dan yang bisa ditemukan di langit. Aspek ruang lainnya adalah tempat antara tokoh (aku) dan orang yang dicintainya (mu), yaitu ruang relasi mereka berdua. Aspek waktu Waktu yang ditunjukkan dalam puisi yaitu, saat tokoh “Aku” terlambat untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dicintainya dan membuat dirinya tersakiti (Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu) dan pada saat-saat terakhir tokoh “Aku” mendapatkan kesempatan untuk menyatakan cintanya kepada orang yang dikasihinya, tetapi terlambat sehingga orang yang dicintainya pergi. Waktu antara ’aku’ dan ’mu’ telah habis dan tiada kesempatan lagi Analisis Pragmatik Pada puisi aku ingin, penutur dalam hal ini penyair mengajak petutur berkomunikasi melalui tuturan-tuturannya, sehingga penutur membutuhkan perhatian khusus melalui setiap kalimat dalam baitnya. aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Tuturan di atas merupakan satuan lokusi yang dituturkan oleh penyair, penutur menuturkan tuturan diatas, dengan tujuan membuat penutur memperhatikan hal yang dituturkannya. Penyair sengaja memakai bahasa yang mudah di mengerti sehingga petutur dapat memaknai kalimat demi kalimat yang hendak disampaikan oleh penutur yang dalam hal ini adalah penyair sendiri. Hal ini ditunjukkan dari kata aku yang merupakan penyair sebagai dirinya sendiri. Selain itu, penutur juga memakai diksi yang kontradiktif, hal ini terlihat pada baris ketiga, penutur menggunakan kata kayu kepada api yang menjadikan abu, kata kayu sendiri bermakna bagian batang atau cabang serta ranting tumbuhan, namun dalam hal ini kayu yang disematkan pada kata kayu kepada api bermakna kekokohan sebuah cinta yang mampu melewati apapun. Selain itu, penyair memakai diksi ini untuk menarik perhatian petutur dan dan juga menerima pesan yang ingin disampaikan. Pada akhirnya, perlokusi yang timbul yang disebabkan pada baik pertama dan kedua diatas adalah penutur ingin mendapatkan atensi dari pututur, itu perlokusi pertama. Perlokusi kedua adalah penutur tidak hanya ingin diperhatikan oleh petutur, tetapi petutur dapat menyimak bait tiap baik sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh petutur. aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada Tuturan di atas adalah bentuk lokusi yang ada dalam puisi aku ingin. Penutur bermaksud untuk menginformasikan kepada petutur tentang hal-hal yang dapat dilakukan nya. Tuturan yang disampaikan diatas oleh penutur merupakan kalimat analogi yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal ini, dapat diklasifikan sebagai ilokusi. Di awal tuturan, penulis menggunakan kata aku sebagai inti dari subyek dalam puisi tersebut.pada kalimat dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada merupakan lanjutan ungkapan penutur tentang dampak yang akan terjadi akibat dari ungkapan tersebut. Perlokusi yang timbul akibat dari lokusi dan ilokusi pada teks diatas adalah ungkapan rasa cinta yang sederhana namun dibarengi dengan perumpamaan yang luas dan mengena. Pada kalimat aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dalam hal ini penutur mengajak biacar petutur, sehingga diksi yang di pilih oleh penutur adalah aku. Adapun orang-orang yang mendengarkan puisi ini dituturkan merupakan penerima pesan yang dapat menginterpretasikan isi tuturan sesuai pemahaman sesuai dengan konteks yang dimiliki. BAB IV KESIMPULAN Menyatakan bahwa cinta yang sederhana justru adalah cinta yang besar dan cinta yang sesungguhnya. Semakin kita mengatakan cinta yang sederhana itulah kekuatan cinta. Karena sesungguhnya, manusia tidak mudah untuk dapat mencintai dengan sederhana. Karena cinta yang sederhana adalah cinta yang dapat menerima apa adanya dan juga menampilkan diri apa ada diri kita. Akan tetapi, keberadaan kata "ingin" justru akan meniadakan pergolakan batin aku lirik—hilangnya suatu proses bahwa cinta itu tidak mudah, bahwa cinta itu tidak sederhana, bahwa cinta itu pelik, butuh kesabaran, ketabahan, keikhlasan, ketawadukan, dan untuk mencapai itu bukan hal yang mudah, dan ini adalah proses dari “ingin”– seperti proses yang dicitrakan atau di surat-siratkan dalam susunan frasa larik-larik selanjutnya tentang makna cinta sederhana yang sebenarnya tidak sederhana. DAFTAR PUSTAKA ----------. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajiani Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni (Kumpulan Puisi). Jakarta: Grasindo. ---------. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Tim Kemdikbud. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V. Jakarta: Pusat Bahasa Waluyo, Herman J. 1987. Teori  dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. http://yusrayus10.blogspot.co.id/2014/01/prosodi-dan-suprasegmental.html