Senin, 12 Desember 2016

Puisi "Kepada Uang", Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis

Puisi "Kepada Uang",  Karya Joko Pinurbo Sebuah Kajian Psikoanalisis
Oleh: Iis Nia Daniar

Kepada Uang
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

(Joko Pinurbo 2006 :18)

Pekerjaan Mimpi
Unsur-unsur yang tercakup dalam pekerjaan mimpi dalam puisi Kepada Uang, karya Joko Pinorbo sebagai berikut,
Figurasi: mimpi selalu dalam bentuk gambar
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)

Mimpi “Aku” difigurasikan dalam bentuk rumah yang dapat dibeli dan nyaman untuk berlindung ketika usia sudah menua (senja). Hal ini ditunjukkan pada larik ke-1 dan larik ke-2. Rumah yang diinginkan adalah rumah dengan halaman yang ditumbuhi pepohonan atau tanaman sehingga jika jendela rumah terbuka, “Aku” dapat menikmati pemandangan tersebut (larik ke-3).

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Mimpi “Aku” berikutnya difigurasikan dalam bentuk ranjang dengan model yang sederhana (larik ke-7). Ranjang dengan kasur yang hangat sekadar untuk berbaring ketika “Aku” merasakan sakit encoknya menjalar kembali (larik ke-8). Ranjang yang diharapkan “Aku” adalah ranjang yang lentur pada bagian bawahnya, atau semacam sprigbed dengan per-per yang lentur sehingga “Aku” merasa nyaman berada di atasnya (larik ke-9).

Simbolisasi: digunakannya lambang-lambang untuk menyembunyikan hasrat taksadar.

Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)

Uang, rumah yang murah, jendelanya hijau menganga, dan ranjang yang lugu saja adalah kata-kata simbol keinginan “Aku” untuk memiki uang agar dapat membeli rumah yang nyaman dan ranjang yang sederhana. Keinginanan yang sesungguhnya adalah bebasnya “Aku” dari ketidakmampuan dalam hidupnya atau miskin materi.
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Merawat encok-encokku dan lentur dan liat seperti kaki masa kecilku adalah simbol dari ketidakberdayaan fisik “Aku” di usianya sekarang karena penyakit yang encok yang diidapnya. Kaki “Aku” sudah mengaku atau sulit digerakkan sehingga tidak bisa menopang badannya. Oleh karena itu, “Aku” menginginkan ranjang yang lugu dan cukup hangat untuk berbaring.

Kondensasi: digunakan penumpukan untuk menyamarkan hasrat taksadar.

Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Kesadaran “Aku” akan keterbatasannya dalam materi membuat dia menahan keingiannya seperti yang tertulis pada larik ke-4. “Aku” tidak mempunyai uang, dia hanya memiliki rasa lapar dan sakit (larik ke-6). Oleh karena itu, dia hanya mengubur mimpi dan keinginannya (larik ke-5).

Pengalihan: digunakan pengalihan untuk menyamarkan hasrat taksadar

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

Setelah sadar akan ketidakmampuannya, “Aku” tetap menginginkan mempunyai materi meskipun dalam bentuk yang lebih kecil, yaitu ranjang. Pada larik ke-7, 8, dan 9 hasrat “Aku” untuk terbebas dari kemiskinan dialihkan pada keinginannya memiliki ranjang yang hangat dengan kasur yang empuk untuk berbaring karena sakit encok menyebabkan kakinya tidak bisa bergerak.

Distorsi Bahasa dalam Puisi Kepada Uang, Karya Joko Pinurbo
Distorsi/dis·tor·si/ n 1 pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan: untuk memperoleh keuntungan pribadi tidak jarang orang melakukan -- terhadap fakta yang ada; 2 gangguan dalam siaran radio yang mengubah mutu siaran; 3 Fis perubahan bentuk yang tidak diinginkan; eroton; 4 Dok hal terkilir (kaki dan sebagainya); 5 ark perubahan bentuk pada benda gerabah yang disebabkan oleh pengeringan terlampau cepat dan tidak merata karena pencampuran bahan tidak merata waktu pencetakanhttp://kbbi.web.id/distorsi
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku. (3)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Distorsi bahasa yang terdapat pada puisi Kepada Uang, karya Joko Pinurbo terdapat pada larik (1) dan (2) menganggap uang mampu memberikan rumah dan ranjang. Kata lugu sebagai keterangan dari ranjang yang diinginkan “Aku”. Kata lugu ini dipilih sebagai sinonim kata sederhana (larik ke-7). Larik ke-3  terdapat frasa nomina yang jendelanya hijau menganga maksudnya adalah  tanaman yang dapat dilihat dari jendela ketika jendela itu terbuka. Seperti jendela mataku maksudnya adalah pintu jendela yang mudah dibuka seperti mudahnya membuka kelopak mata “Aku”.
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Distorsi bahasapun terdapat pada larik ke-5, “Aku” sadar tidak mampu mewujudkan impiannya karena  dia tidak berdaya. “Aku” hanya memiliki rasa sakit (larik ke-6). Larik ke-8 terdapat frasa verba merawat encok-encokku yang mengandung pengertian merasakan penyakit encok yang sedang menjalar. Larik ke-9  adalah penyimpangan dari makna ranjang yang nyaman dengan kasur yang empuk.  Seperti kaki masa kecilku menyirakan bahwa kaki “Aku” dulu keadaannya tidak seperti kaki yang sekarang.
Hal-hal yang Penting dalam Psikoanalisis
Id adalah bentukan awal, sumber energi, reservoi, pulsi primer, keos yang terus-menerus bergerak, sumber semua prosesus psikis, pusat pulsi-pulsi dasar dan hasrat-hasrat yang terekspresi. Id dalam puisi Kepada Uang adalah kemiskinan karena ketidakberdayaan fisik akibat usia. Hal tersebut terdapat dalam larik berikut.
Uang, berilah aku rumah yang murah saja, (1)
Yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku, (2)
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)

“Aku” yang dideskripsikan sebagai seseorang yang tidak memiliki rumah, usianya telah senja atau tua. Bukan hanya itu, si “Aku” pun digambarkan sebagi tokoh yang memiliki sakit encok yang parah sehingga kakinya tidak bisa bergerak dan hanya berbaring.
Ego adalah instasi defensif dan protektif yang mengelola dorongan-dorongan taksadar dengan superego terhadap tekanan-tekanan dari luar  (peraturan, tuntutan sosial). Ego terdapat pada larik berikut.
Sabar ya, aku harus menabung dulu. (4)
Menabung laparmu, menabung mimpimu. (5)
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu. (6)

Larik-lakrik di atas menunjukkan bahwa “Aku” menekan Id dengan munculnya kesadaran tokoh bahwa dia harus bersabar untuk mewujudkan keinginannya (larik ke-4). Namun, kesadaran ini membuat “Aku” semakin merasa jauh untuk bisa mewujudkan keinginannya karena“Aku” sadar juga kalau “Aku tidak bisa berbuat apa-apa” (larik ke-5 dan ke-6).
Superego adalah bentukan akhir yang dihasilkan oleh peraturan-peraturan keluarga, pendidikan, agama, peraturan-peraturan sosial dan lain-lain. Superego terlihat pada larik berikut.
Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja, (7)
Yang cukup hangat buat merawat encok-encokku, (8)
Yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku. (9)
Karena kesadaran “Aku” akan ketidakberdayaannya untuk mewujudkan keinginannya, si “Aku” kembali untuk bermimpi mengharapkan uang utuk memberikan ranjang yang sederhana agar “Aku" dapat berbaring dengan nyaman di sakitnya.

Tentang Penulis:
Iis Nia Daniar,  S. S. lahir di Bekasi,  15-08-1977. Saat ini sedang menempuh S-2, Prodi Pend.  Bahasa Indonesia pada Universitas Indraprasta PGRI di Jakarta. Kegiantan sehari-hari sebagai pengajar pada SMP N 31 Kota Bekasi,  SMP Amal Mulia 2 Bogor,  dan I. Smart pada sebuah lembaga bimbingan belajar di Bekasi.  Minatnya pada bidang bahasa dan sastra hingga menelurkan beberapa karya puisi (Hujan: Klimaks Cemburu  Selir,  Akhir Pintaku,  Kotaku Kini,  Gugatan,  dll) , cerpen (Sebuah Janji) ,  dan artikel bahasa (Akulturasi Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi)  yang telah dimuat di beberapa media massa cetak dan elektronik.

Rabu, 07 Desember 2016

Akulturasi antara Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi

Akulturasi Mesra  antara Bahasa Sunda dan Bahasa Bekasi
Oleh: Iis Nia Daniar

Jika dilihat dari sejarah wilayah Bekasi, sebelum tahun 1949 Bekasi masuk ke wilayah Provinsi Jakarta, dan pada tahun 1950 berdasarkan Undang-Undang No.14 Tahun 1950 Bekasi masuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Faktanya Bekasi secara administratif pemerintahan baik kota, maupun kabupaten berada di wilayah Provinsi Jawa Barat  didominasi oleh budaya Sunda. Kondisi ini semakin memosisikan bahasa Melayu Bekasi menjadi amat penting keberadaannya sebagai bagian interaksi budaya dan bahasa yang berkembang di Jawa Barat. (Ensiklopedia Bekasi,)
Kemiripan bahasa Bekasi dengan bahasa Sunda sebagai akibat akulturasi bahasa ini merupakan kondisi nyata dan menarik untuk dilakukan penelitian kebahasaan secara lebih cermat dan mendalam. Akulturasi adalah suatu pencampuran atau persatuan dua budaya yang masih mempertahankan cirinya masing-masing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:

“ akulturasi akul·tu·ra·si/ n 1 percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi: candi-candi yang ada sekarang merupakan bukti adanya -- antara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan India; 2 Antr proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu; 3 Ling proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di antara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau bilingualisme.”

Akulturasi antara bahasa Sunda dan bahasa Bekasi perwujudannya sebagai berikut.
kata bahasa Sunda yang memiliki makna sama  dengan bahasa Bekasi secara keseluruhan tanpa mengubah lafal atau ejaan, contoh: awak, bae, bejad, cekel, gebah, pinter, udag, getol, gaplok, dan lain-lain.
Kata dalam bahasa Sunda  ejaan atau cara penulisannya hampir sama dengan bahasa Bekasi. Kondisi kata tersebut  dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
kata dasar, contoh: dingke dan kata dasar jengke
kata ulang (reduplikasi), contoh: tetaekan dan kata tataekan (dwipurwa), deg-degan dan kata dag-dig-dug (trilingga)
kata berimbuhan, contoh: begawe dan kata digawe, gegerawakan dan kata gogorowokan.
Dengan demikian,  jika dilihat dari perwujudan kata di atas,  dapat dikatakan antara bahasa Bekasi dan bahasa Sunda menjalin hubungan yang mesra.  Entah siapa memengaruhi siapa,  kenyataan menunjukkan demikian.

Minggu, 04 Desember 2016

Selamat Jalan Pak Dudung!

Selamat Jalan Pak Dudung!
Oleh: Iis Nia Daniar

Ah,  takada yang bisa ku gambarkan secara detail tentangmu teman paling lucu, paling cengeng,  dan paling menjengkelkan. Pak Dudung entah kapan kita bertemu di sekolah ini dan entah kapan juga kita menjadi dekat,  aku telah lupa.  Yang aku ingat kau guru IPA dan mantan wakil kurikulum yang selengean.
“Is situ gak punya perut apa?” Teriaknya dari bangku pojok, tempat favoritnya.
“Hihihi yuk makan siang di mana nih?” Tantangku sambil bercanda padahal satu mangkuk mie instan pakai telur made in kantin sekolah telah kusantap.
Pak Dudung hanya mesem-mesem sembari menggoda siswa yang sedang menaruh tugas di ruang guru.
“Eh,  Riska! Bu Is nih anaknya bu Dian. Persis galon kan? Kalau Riskanya galon,  emaknya apa ya? Wakakakak. “
“Wah,  parah nih Pak Dudung!  Bu Dian dikatain Pak Dudung tuh. “ Kataku cengengesan menahan tertawa lepas melihat ekspresi Bu Dian yang seperti hendak memakan Pak Dudung.
“Si Dudung mah emang kaya gitu,  lihat saja nanti aku makan sama ayam gak akan dibagi kamu.” Jawab Bu Dian sambil melotot.
“Terus… terus… terus!” Kami yang berada di ruangan karena sedang jam istirahat menyaksikan kelakar mereka dengan gembira seolah mendapatkan hiburan.
“Ayo Beb ke warung makan ayam!  Eh,  mana tangannya. Kok saya gandeng kakinya?” Pak Dudung menghampiri Bu Dian sambil terus bercanda, tawa kamipun pecah.
Begitulah hari-hari kami di ruang guru pada sekolah ini diwarnai canda dan kadang-kadang benturan antarteman guru. Namun,  itu yang membuat aku berasa hidup.
Pak Dudung memang tidak bisa lepas dari image bercanda, pernah suatu Senin dia menjadi pembina upacara. Ketika hendak menyampaikan amanat, siswa-siswa yang berbaris sudah tertawa terpingkal-pingkal padahal Pak Dudung belum berbicara. Takpelak kamipun rekan guru ikut tertawa.
Kenangan-kenangan seperti itu yang membuat dadaku terasa sesak bila mengingat dia. Bukan hanya aku, melainkan semua teman-temanku dan bahkan siswa-siswa kami. Di Jumat pagi dengan iringan hujan di rumahku, jantungku terasa berhenti saat membaca what’s up grup sekolah.
“Innalillahi wa innailaihi rojiun,  telah berpulang rekan kita Dudung Anggara Mukti,  S. Pd.”
Badanku lemas karena kakiku terasa melayang. Ingatanku berputar ke masa yang telah lalu. Banyak kejadian yang kami lalui bersama dan banyak jasa yang telah Pak Dudung berikan untuk sekolah dan aku.  Tanpa jasanya aku tidak mungkin bisa melanjutkan hidup setegar ini setelah anak keduaku meninggal. Air mataku masih mengintip di pelupuk jika mengingat tentang Pak Dudung, rekan kami tercinta.

Kamis, 01 Desember 2016

Tilang yang Berdarah

Tilang yang  Berdarah
Oleh: Iis Nia Daniar
Seperti biasa jalan-jalan di kota ini dari pukul 03.00 sampai 00.00 tidak ada matinya, apalagi menjelang petang. Perempatan menuju Perumnas 3 itu selalu padat lalulintas, perempatan ini entah siapa yang memberi nama dikenal orang sebagai Perempatan Bulak Kapal.
“Hihihi, lucu juga mana kapalnya?” Kataku dalam hati sambil tersenyum masih memainkan gas roda duaku.
Sebagai perempuan yang hampir 30 tahun lebih menyusuri setiap sudut kota ini, rasanya aku cukup takjub dengan tingkat keramaian yang begitu signifikan kata orang-orang intelek. Ah, andai saja aku dulu dapat menahan diri untuk tidak lekas-lekas menikah setelah kuliahku selesai, tentu ceritanya akan berbeda.
“Terlalu sastra hidupku.” Gumamku lirih di tengah kemacetan.
Agak sulit untuk berpacu dengan waktu di Perempatan Bulak Kapal ini. Polusi asap terpaksa kuhirup.
“Monoksida, silakan isi paru-paru!” Lagi-lagi aku berbicara sendiri.
Roda empat, roda dua saling berebut lajur, padahal lampu masih merah. Klakson-klakson dimainkan dan bumbu umpatan-umpatan disuarakan.
“Hem, tak bisakah mereka menikmati lampu merah yang begitu merona?” Kataku seolah berbicara pada motor tua yang setia menemaniku sejak 10 tahun yang lalu.
“Apa sih yang mereka cari? Bukankah ini jam pulang kerja? Apakah mereka tidak mendengar lantunan adzan maghrib dari mesjid seberang kiri jalan?”
Terus saja pertanyaan-pertanyaan kulontarkan pada pengemis yang kebetulan menghampiri motorku sembari menadahkan mangkuk kecil dekil dalam kebisingan ekses kemacetan ini. Namun, pengemis itu hanya geleng-geleng sambil menyodor-nyodorkan mangkuk kecilnya ke arahku.
“Oy, MAJU!” Terdengar cukup keras suara dari arah belakangku hingga akhirnya gas kutancap penuh dan ....
Priiiit!
“Malam, Bu! STNK? SIM?” Tegas Polantas itu menanyaiku setelah mengarahkanku ke tepi jalan sebelah kiri.
Sedikit aku merasa bersyukur telah dikeluarkan dari kemacetan yang sudah 15 menit menjebakku. Seorang bapak agak rapi pakaiannya kulihat bergegas mendatangi kami sambil teriak-teriak.
“Ibu! Ibu! Ibu harus ganti rugi kerusakan mobil saya! Lihat cat mobil saya bagian belakangnya rusak begitu!”
Apa dia melihatku begitu jauh hingga harus berteriak sekeras itu, padahal jarak kami hanya setengah meter saja. Aku hanya diam sambil menunduk melihat ke arah ban depan motorku karena orang-orang di sekitarku pun seperti histeris menunjuk-nunjuk bagian depan motorku. Ternyata setelah dilihat, ban motorku baik-baik saja. Kubuka helm. Hem, sepertinya aku merasakan perih pada pelipis!
Ceeeeerrrr....
Aneh kenapa waktu seolah terhenti dan bising berubah menjadi senyap. Semuanya tampak gelap.
****

Analisis Cerpen Bukit Cahaya Struktural dan Skema Aktan

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sastra adalah suatu seni yang hidup bersama-sama dengan Bahasa. Tanpa bahasa sastra tidak mungkin ada. Melalui bahasa ia dapat mewujudkan dirinya berupa sastra lisan, maupun tertulis. Walaupun perwujudan sastra menggunakan bahasa, kita tidak dapat memisahkan sastra dari bahasa, ataupun membuangnya dari peradaban bahasa itu sendiri, karena itu merupakan suatu perbuatan yang sangat biadab, Karena sastra adalah sebuah “hidup” bagi seorang penulis
Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu (1) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. (2) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu (3) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa. (4)Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
Karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat kekurangan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Istilah kajian atau pengkajian yang digunakan menunjuk pada pengertian penelaahan. Istilah tersebut berkaitan dengan mengkaji, menelaah, atau meneliti. Pengkajian terhadap sebuah teks fiksi berarti penelaahan, penelitian, atau mengkaji, menelaah, meneliti teks fiksi tersebut. Karya sastra khususnya cerpen dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur saling berhubungan, saling menentukan, dan saling memengaruhi yang menyebabkan cerpen tersebut menjadi karya yang bermakna. Kegiatan analisis cerpen ini dapat menjelaskan peranan masing-masing unsur dan keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini juga untuk memberikan penilaian secara objektif berdasarkan hal-hal yang yang ditemukan pada teks.
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Dalam Cerpen Bukit Cahaya , karya Yanusa Nugroho ini terdapat pengalaman batin yang menarik sebagai bekal hidup manusia.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
menganalisis aspek sintaksis cerpen Bukit Cahaya, karya Yanusa Nugroho;
menganalisis alur sebab akibat;
menjelaskan skema tranformasi cerpen Bukit Cahaya;
menjelaskan skema Aktan cerpen Bukit Cahaya;
menganalisis aspek semantks cerpen Bukit Cahaya;
menganalisis aspek pragmatik cerpen Bukit Cahaya;
menemukan tema utama cerpen Bukit Cahaya.

1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam suatu kajian sangatlah penting hal ini dimaksudkan agar permasalahan yang akan di kaji lebih terarah dan tidak terjadi penyimpangan yang terlampau jauh dari permasalahan semula.
Berdasarkan latar belakang yang demikian luas dan umum, penulis akhirnya membatasi permasalahan hanya dalam bidang tema utama cerpen Bukit Cahaya, karya Yanusa Nugroho.
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan urayan latar belakang di atas, penulis akan merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan pengkajian sebagai berikut:
bagaimana struktur cerpen Bukit Cahaya tersebut?
apa tema utama dari cerpen Bukit Cahaya?
1.5 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah kajian Prosa, adalah:
menjelaskan peranan masing-masing unsur dan keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini juga untuk memberikan penilaian secara objektif berdasarkan hal-hal yang yang ditemukan pada teks;
memahami tema karya sastra yang bersangkutan.




1.6 Sumber Data
Bukit Cahaya
Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 16 Februari 2014)

KALAU itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan. Semuanya itu menyatu, membentuk sebuah bukit yang bercahaya, bersinar terang, berkilau memukau, pada malam tertentu di bulan tertentu.
Aku harus menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Kisah itu memang kudengar dari banyak orang. Sepotong demi sepotong, cerita tentang bukit yang bercahaya itu menyambangiku; seperti kehadiran seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa. Ada yang muncul ketika di perjalanan pulang kantor, ada yang hadir ketika aku harus keluar kota untuk urusan kantor. Ada yang ”numpang lewat” di Facebook. Dan semuanya, seperti puzzle, kepingan-kepingan itu menuntut untuk disatukan. Anehnya, aku tak kuasa menolak atau mengabaikannya.
”Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahkan oleh Sokrasana,” ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum.
”Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan… ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.”
”Jadi, cuilan Taman Sriwedari itu menjelma Bukit Cahaya itu?”
”Miturut dongeng, begitu…,” jawab Mas Tri Luwih kalem.
Meskipun aku tahu bahwa itu hanyalah dongeng, tapi yang sampai pada hatiku adalah sebuah keindahan. Sebuah kesejukan yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.
Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. ”Hanya pada malam ketujuh, di bulan ketujuh.”
”Jadi, hanya setahun sekali?”
”Ya.”
”Kenapa?”
”Embuh… he-he-he…. Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.”
”Sampean tahu dari mana?”
”Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita… haha-ha-ha-ha-ha….” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.
Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.
Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata, dan entah apa lagi. ”Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he…. Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik dandannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.” Ada saja yang gusar karena kegilaanku dan mengucap semau-maunya tentang apa yang harus disebut kenyataan dan bukan.
Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.
Ku umumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli. Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.
”Maaf, sudah tahu di mana persisnya bukit cahayamu itu,” ucapnya dengan nada serius.
”Tahu, Pak, di Dusun Galihkangkung.”
Dia mengernyitkan dahi, mempertajam pandangannya, mencoba mencari di mana si lawan bicara berada saat itu.
”Ya, itu nama yang aneh. Dan saya yakin belum terpetakan,” ujarku dengan suara agak tersekat.
Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.
Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada. Mereka tak akan percaya pada kemustahilan teknologi yang konon canggih itu. Percuma saja aku katakan bahwa apa yang kita percayai sebagai logika, tak lebih daripada sebatok kepala kita sendiri; sementara begitu banyak hal di luar sana, yang jauh, jauh lebih besar daripada batok kepala kita. Percuma saja, toh, mereka memang tidak pernah berusaha untuk memercayai.
Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada perhitungan logika—entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak bisa lagi glenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan. Mereka bukan lagi pengikut para nabi, meskipun dari mulut mereka membusa ayat-ayat Tuhan; mereka menyembah uang yang menurut mereka lebih nyata daripada Tuhan.
Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang membuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahaya itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali memang itu.
Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagai orang aneh, meskipun bagaimana aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagai sesuatu yang aneh.
Entah bagaimana, Gusti Purusa—dia memang bernama Gusti—memberi tahu bahwa ada salah satu kerabatnya di Galihkangkung. Mengapa bisa Gusti Purusa mau memberi tahu, aku juga bingung, karena sebetulnya aku tidak kenal langsung dengan dia. Ah, sudahlah, aku hanya berprinsip: ada kemauan, ada jalan—seganjil apa pun jalan itu; dan di rumah kerabat Gusti Purusa inilah aku tinggal di Galihkangkung.
”Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk,” ujar Pak Har, si tuan rumah.
”Oh, jadi bukit itu di laut?”
”Ya. Di teluk itu ada beberapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan kita lihat bercahaya.”
”Pak Har pernah menyaksikan sendiri?”
”Ha-ha-ha… semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu, atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.”
Sekali lagi aku dibantah oleh keluguan. ”Maksud saya,” ucapku buru-buru, ”mengapa bukit itu bercahaya? Dan hanya pada saat tertentu saja?”
”Ah, Mas ini… ha-ha-ha-ha-ha…. Ya, memang begitu. Nanti kalau bercahaya terus-menerus dikira sumur bor minyak? Haha-ha-ha-ha…. Ndak ada yang aneh, Mas, biasa saja. Malah, kalau setahun sekali, bagus, karena ada yang ditunggu-tunggu, ada yang akan ditonton dari pantai. Memang indah, Mas. Tapi, ya… biasa sajalah, bukan aneh, kok.”
Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.
”Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama saja seperti di sini,” tambah Pak Har. Aku tersenyum.
Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Debur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga tempat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.
Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh. Udara mendadak dingin, padahal angin mati. Malam tiba di kulminasinya. Di keremangan sana, di bukit yang semula hitam samar-samar, kusaksikan cahaya menitik satu demi satu. Menyala kuning kemerahan di sana-sini. Jumlahnya kian banyak, dan entah pada kedipan mataku yang ke berapa, tiba-tiba titik-titik itu seperti membuncah karena seperti kepingan emas yang dituang dari langit. Merambat perlahan meninggi dan meninggi, cahaya yang menjulang, membukit, terang benderang, membawaku melayang.
Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang membintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku. Meneranginya dengan kelembutan. Cahaya itu seperti menggemakan kidung, melaut bunyinya, bagi kebesaran Sang Maha Besar. Cahaya itu seolah mengajakku menikmati keindahan Sang Maha Indah.
Air mataku mengucur deras menyaksikan keindahan yang belum pernah terperangkap jiwaku seumur hidup. Keindahan itu hanya kupercaya, melalui tuturan manusia-manusia berjiwa indah, dan dengan caranya yang indah memasuki jiwaku.
Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah. Gadis-gadis cantik yang lahir dari permata. Batang-batang delima cahaya yang menundukkan cabangnya manakala tanganmu meraihnya, dan membiarkan rasa madu bilamana kau mencecapnya, kutemukan di cahaya itu.
Aku tergeragap bangun karena guncangan tangan istriku.
”Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?”
Aku diam.
”Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, cuma dongeng,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali tidurnya.
Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupku. Apakah akan kuceritakan juga mimpiku? Buat apa? Kepada siapa? Siapakah yang saat ini butuh mimpi, yang menurut mereka tidak masuk akal ini?
Tapi aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas. Jika itu kerikil, tentu kerikil-kerikil itu intan.



1.7 Kerangka Teori
1.7.1 Cerpen/Prosa
Menurut kamus istilah sastra yang diterbitkan oleh Balai bahasa, cerpen adalah kiasan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatik; cerpen. Cerpen harus memperhatikan kepaduan sebagai patokan dasarnya (short story Ing.)
Cerpen bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita.
Sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas.
Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut.
1.7.2 Unsur-unsur Pokok Cerpen
Menurut Nyoman Kutha Ratna, unsur pokok atau sering disebut juga sebagai unsur intrinsik yang terkandung didalam cerpen antara lain: (1) Tema, (2) Peristiwa atau, Kejadian, (3) Latar atau Seting, (4) Penokohan atau Perwatakan, (5) Alur atau Plot, (6) Sudut Pandang dan (7) Gaya Bahasa.
1.7.3 Semiotik
1.7.3.1 Sejarah Semiotik
Di akhir abad ke sembilan belas filsuf Amerika Charles Sanders Peirce memulai sebuah studi yang dinamakannya “semiotic”, dan dalam bukunya COURSE IN GENERAL LINGUISTICS (1915) linguis Swiss Ferdinand de Saussure tanpa mengetahui ide Peirce tersebut mengusulkan sebuah ilmu ( a science) yang disebutnya “semiology”. Sejak itu semiotika dan semiologi telah menjadi nama-nama alternatif bagi sebuah ilmu umum tentang tanda-tanda (a general science of signs), seperti yang terdapat dalam semua pengalaman manusia. Menurut ilmu ini pemakaian tanda tidak terbatas pada sistem komunikasi yang eksplisit seperti bahasa, kode Morse, dan tanda serta signal lalulintas; beragam aktivitas dan produksi manusia lainnya – postur dan gerak badan kita, ritual sosial yang kita lakukan, pakaian yang kita pakai, makanan yang kita sajikan, bangunan tempat kita tinggal – mengandung “arti” yang dimengerti oleh anggota-anggota dari kebudayaan tertentu, makanya bisa dianalisis sebagai tanda-tanda yang berfungsi dalam berbagai jenis sistem signifikasi. Walaupun studi tentang bahasa (pemakaian tanda-tanda verbal) dianggap hanya sebagai satu cabang semiotika, linguistics yang merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainnya.
C.S. Peirce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikannya dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan: (1) IKON, berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan; contoh-contohnya adalah persamaan antara sebuah potret dengan manusia yang digambarkannya, atau persamaan antara sebuah peta dengan wilayah geografis yang diwakilinya. (2) INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan; jadi, asap merupakan tanda yang mengindikasikan api, dan sebuah alat penunjuk arah angin mengindikasikan arah angin berhembus. (3) Dalam SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Gerakan berjabatan tangan, misalnya, dalam banyak kebudayaan merupakan tanda konvensional untuk sapaan ataupun perpisahan, dan lampu lalulintas berwarna merah secara konvensional menandakan “Berhenti!” Contoh paling utama dan paling kompleks dari tipe tanda ketiga ini adalah kata-kata yang membentuk sebuah bahasa.
Saussure memperkenalkan banyak dari istilah dan konsep yang dipakai para semiotikus sekarang ini. Yang paling penting adalah sebagai berikut: (1) Sebuah tanda terdiri dari dua komponen atau aspek yang tidak dapat dipisahkan, yaitu “signifier” (dalam bahasa, seperangkat bunyi ujaran, atau tanda-tanda di atas kertas) dan “signified” (konsep, atau ide, yang merupakan arti dari tanda tersebut). (2) Sebuah tanda verbal, dalam peristilahan Saussure, bersifat “arbitrary”. Maksudnya, dengan onomatopoeia (kata-kata yang kita anggap sama dengan bunyi-bunyi yang ditandakan) sebagai pengecualian kecil, tidak ada hubungan inheren atau alami antara sebuah “signifier” verbal dengan apa yang ditandakan (signified). (3) Identitas dari semua elemen sebuah bahasa, termasuk kata-katanya, bunyi-bunyi ujaran komponennya, dan konsep-konsep yang ditandakan kata-kata, tidak ditentukan oleh “kualitas positif”, atau unsur-unsur objektif dalam elemen-elemen itu sendiri tapi oleh perbedaan (differences), atau sebuah jaringan hubungan, yang terdiri dari perbedaan dan oposisi dengan bunyi-bunyi ujaran lainnya, kata-kata lainnya, dan “signified” lainnya yang terdapat hanya dalam sebuah sistem linguistik tertentu. (4) Tujuan dari linguistics, atau usaha semiotika lainnya, adalah untuk memahami “parole” (sebuah ujaran verbal, atau sebuah pemakaian khusus tanda atau seperangkat tanda) hanya sebagai sebuah manifestasi dari “langue” (yaitu sistem umum dari perbedaan-perbedaan implisit dan aturan-aturan kombinasi yang mendasari dan memungkinkan sebuah pemakaian khusus tanda). Fokus perhatian semiotika lebih banyak terletak pada sistem yang mendasari “langue” daripada pada sebuah “parole” tertentu.
Semiotika modern berkembang di Perancis di bawah pengaruh Saussure hingga banyak semiotikus juga merupakan strukturalis. Mereka membahas setiap fenomena atau produksi sosial sebagai “teks”, yakni seperti yang terbentuk oleh struktur-struktur yang berdiri sendiri, mandiri dan hierarkis dari tanda-tanda, “kode-kode” fungsional yang ditentukan secara berbeda-beda, dan aturan-aturan kombinasi dan transformasi yang membuatnya “berarti” bagi anggota-anggota sebuah masyarakat. Claude Levi-Strauss, di tahun 1960an dan sesudahnya, memulai penerapan semiotika atas antropologi budaya dan pendirian strukturalisme Perancis dengan memakai linguistics Saussure sebagai model untuk menganalisis berbagai fenomena dan praktek-praktek dalam masyarakat primitif, yang diperlakukannya sebagai setengah-bahasa, atau struktur-struktur penanda yang independen. Ini termasuk sistem kekerabatan, sistem totem, cara menyiapkan makanan, mitos, dan mode pra-logis dalam penginterpretasian dunia. Jacques Lacan menerapkan semiotika atas psikoanalisis Freud, dengan menginterpretasikan ketaksadaran sebagai sebuah struktur tanda, seperti bahasa; dan Michel Foucault melakukan pendekatan analisis yang serupa untuk mendiskusikan, dalam berbagai periode sejarah, interpretasi medis atas symptom penyakit, perubahan dalam identifikasi, klasifikasi dan perawatan orang gila, dan konsep-konsep seksualitas manusia. Roland Barthes, yang secara eksplisit menerapkan prinsip-prinsip dan metode Saussure, menulis analisis semiotik atas konstituen dan kode sistem-tanda dalam iklan fashion perempuan, dan juga dalam banyak “ mitos borjuis ” tentang dunia ini yang menurutnya dicontohkan dalam sistem-tanda sosial seperti pertandingan gulat profesional, mainan anak-anak, “ornamental cookery”, dan tarian telanjang striptease. Barthes juga dalam tulisan-tulisan awalnya merupakan seorang eksponen utama dari kritik strukturalis yang membahas teks sastra sebagai “sebuah sistem semiotik lapisan kedua”; maksudnya, teks sastra dipandang sebagai memakai sistem bahasa yang merupakan lapisan pertama untuk membentuk struktur yang lebih tinggi tingkatannya, sesuai dengan sistem elemen-elemen, konvensi dan kode berbeda sastra.
1.7.3.2  Defenisi Semiotik Menurut Para Ahli
Sebagai ilmu semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektifitas dan efesiensi energi yang harus dikeluarkan. Memahami sistim tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati suatu kehidupan yang lebih baik. konflik, salah paham, dan berbagai perbedaan pendapat diakibatkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap tanda-tanda kehidupan.
Di satu pihak, ilmuwan sosial mencoba memecahkan masalah sosial yang terjadi dengan cara menemukan latar belakangnya, sekaligus memecahkan secara teoretis, misalnya, dengan teori konflik. Di pihak yang lain, ia juga dapat memecahkannya melalui semiotika, misalnya, interaksi sosial. Tujuannya yang dicapai sama, yaitu mengatasi konflik suatu masyarakat tertentu.
Dick Hartoko memberi batasan, semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda dan lambang-lambang. Sedangkan Luxemburg mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu-ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya dan proses perlambangan (santoso 1993:3). Aart Van Zoest mendefinisikan semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Sujadi Wiryaatmaja mengatakan bahwa Semiotik adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang luas di dalam kehidupan masyarakat baik yang lugas maupun yang kias.






BAB II
ANALISIS CERPEN BUKIT CAHAYA, KARYA YANUSA NUGROHO
2.1 Analisis Aspek Sintaksis Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho
2.1.1 Urutan Satuan Cerita
Kisah tentang Bukit Cahaya yang didapatkan dari teman-temannya Aku.
Aku mempercayai keberadaan bukit cahaya, tepatnya di Dusun Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah bukit cahaya hanya sebuah dongeng.
Upaya untuk membuktikan keberadaan bukit cahaya melalui kisah yang didengarnya dari teman (Mas Tri Luewih dan Gus Rony).
Upaya untuk mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Tokoh Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain membulatkan tekad untuk pergi ke Bukit Cahaya.
Keyakinan yang kuat dari tokoh Aku tentang Bukit Cahaya.
Membulatkan tekad untuk pergi ke Dusun Galihkangkung.
Tokoh Aku menyadari bahwa Dusun Galihkangkung belum terpetakan.
Kepergian tokoh Aku menuju bukit cahaya melewati Dusun Galihkangkung dengan bantuan Gusti Purusa dan Pak Har sebagai tuan rumah di Dusun Galihkangkung yang mengantarkan tokoh Aku ke bukit cahaya.
Akhirnya, tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut.
Istri tokoh Aku membangunkan dari tidurnya, karena semua itu hanyalah mimpi tokoh Aku.
Walaupun demikian,  tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.








2.1.2 Alur Sebab Akibat
     
   1                     2                      7                             8                      11                    12
                                         

                      3                             6                       9                                            13

                        4                                                    10



                      5
Dongeng tentang Bukit Cahaya
Keyakinan Aku keberadaan Bukit Cahaya, tepatnya di Dusun Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah Bukit Cahaya hanya sebuah dongeng.
Upaya untuk membuktikan keberadaan Bukit Cahaya.
Mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain .
Keyakinan yang kuat dari tokoh Aku tentang Bukit Cahaya.
Membulatkan tekad untuk pergi ke Dusun Galihkangkung.
Kesadaran tokoh Aku bahwa Dusun Galihkangkung belum terpetakan.
Tokoh Aku menuju bukit cahaya melewati Dusun Galihkangkung dengan bantuan Gusti Purusa dan Pak Har sebagai tuan rumah di Dusun Galihkangkung yang mengantarkan tokoh Aku ke bukit cahaya.
Tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut.
Tokoh Aku dibangunkan dari tidurnya oleh isteri Aku.
Tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.


2.1.3 Skema Transfomasi












2.1.4 Skema Aktan
2.1.4.1 Skema Aktan Utama

   Kisah tentang bukit cahaya                          Bukit Cahaya                              Aku                                                         



Teman-teman tokoh Aku                                        Aku                                   Kisah hanya dongeng
Penjelasan:
Kisah tentang bukit cahaya yang didapatkan dari teman-temannya (pengirim)
Bukit Cahaya (objek)
Keyakinan kuat Tokoh Aku, pengambilan cuti kerja, teman-temannya seperti, Mas Tri Luwih, Gus Rony, Gusti Purusa, Pak Har (penolong/pembantu)
Tokoh Aku (subjek)
Ejekan dari teman dan bos di kantornya, tempat Galihkangkung yang belum terpetakan di Indonesia, dan kisah bukit cahaya hanya sebuah dongeng (penentang)
Tokoh Aku (penerima)
2.1.4.2 Skema Aktan Bawahan 1
Upaya membuktikan                                       Bukit Cahaya                           Aku
kebenaran cerita                                                                                                                 



Teman-teman tokoh Aku                                        Aku                                   Kisah hanya dongeng
Penjelasan:
Upaya untuk membuktikan keberadaan bukit cahaya melalui kisah yang didengarnya dari teman (Mas Tri Luewih dan Gus Rony)
Upaya untuk mengambil cuti kerja dan diejek oleh teman dan bosnya karena dianggap terlalu mengada-ada.
Tokoh Aku tidak menghiraukan ejekan yang diberikan orang lain
Membulatkan tekad untuk pergi ke bukit cahaya
Tokoh Aku menyadari bahwa kisah yang didapatkannya hanyalah sebuah dongeng
2.1.4.3 Skema Aktan Bawahan 2
Upaya membuktikan                                       Bukit Cahaya                           Aku
kebenaran cerita                                                                                                                 



Teman-teman tokoh Aku, Pak Har                       Aku                                       Isteri tokoh Aku
Penjelasan:
Akhirnya, tokoh Aku berhasil melihat bukit bercahaya itu melalui bantuan Pak Har, namun saat ia sedang menyaksikan keindahan tersebut, Istri tokoh Aku membangunkan dari tidurnya, karena semua itu hanyalah mimpi tokoh Aku walau pun tokoh Aku tetap mempercayai bahwa ia telah berhasil menemukan bukit cahaya yang menurut orang lain itu hanya sebuah dongeng.
Analisis Aspek Semantik Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho

2.2.1. Analisis Tokoh
   Tokoh Aku
   Mas Tri Luwih
   Gus Rony
   Bos
   Teman-teman kantor
    Gusti Purusa
    Pak Har
    Istri tokoh Aku
Rincian Tokoh:
1.      Tokoh Aku sebagai tokoh utama yang berperan sebagai tokoh protagonis, termasuk dalam tokoh kompleks/ berwatak bulat yang memiliki kayakinan yang kuat untuk memperoleh sesuatu yang diinginkannya, keras kepala, tidak mudah menyerah, dan tak acuh dengan perkataan orang lain.
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang suami yang bekerja di sebuah kantor dalam bidang ekonomi dan sebagai penggemar kopi pahit
-          Psikologis: memiliki keyakinan kuat untuk mendapatkan sesuatu, tidak mudah menyerah, dan tidak peduli dengan orang yang mengejeknya
Penokohan tokoh Aku diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
2.    Mas Tri Luwih sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki pengetahuan lebih tentang pewayangan
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang dalang
-          Psikologis: memiliki pengetahuan tentang pewayangan dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Mas Tri Luwih diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Kata nenek saya, dulu, bukit itu adalah serpihan Taman Sriwedari, ketika dipindahakan oleh Sokrasana,” ucap Mas Tri Luwih, seorang dalang. Aku kagum. (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
3.    Gus Rony sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: teman tokoh Aku
-          Psikologis: memiliki pengetahuan tentang bukit cahaya dan sebagai penggemar kopi pahit
Penokohan Gus Rony diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita...haha-ha-ha-ha-ha....” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
4. Bos sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan pendapat orang lain dan memiliki sifat suka meremehkan orang lain
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Sosiologis: seorang yang menjabat sebagai bos di kantor tempat tokoh Aku bekerja
-          Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka meremehkan orang lain
Penokohan Bos diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Bosku, yang selama ini hanya tersenyum, kali ini menatapku dalam-dalam.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
5. Teman-teman kantor sebagai tokoh antagonis yang memiliki sifat tidak percaya dengan pendapat orang lain dan memiliki sifat suka mengejek orang lain.
Dimensi tokoh
-          Sosiologis: teman kantor tokoh Aku
-          Psikologis: tidak percaya dengan pendapat orang lain, memiliki sifat suka mengejek orang lain
Penokohan Teman-teman kantor diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan msuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata, dan entah apa lagi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
Namun, adapula yang ditampilkan melalui ucapan-ucapan tokoh (metode dramatik),
“Emang kamu itu si Milo? Itu, yang di film Journey to the Bottom of the World? he-he-he.... Tuh, lihat di jalanan buruh semua demo, minta kenaikan UMR. Tuh, ada gubernur cantik dandanannya satu miliar. Itu kenyataan. Gak usah sok mimpi mau lihat bukit bercahaya segala.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
6. Gusti Purusa sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Psikologis: memiliki sifat yang baik
Penokohan Gusti Purusa diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Entah bagaiman, Gusti Purusa-dia memang bernama Gusti-memberitahu bahwa ada salah satu kerabatnya di Galihkangkung.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
7. Pak Har sebagai tokoh bawaan atau tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang laki-laki
-          Psikologis: memiliki sifat yang baik (menjadi tuan rumah di Galihkangkung)
Penokohan Pak Har diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai tepian teluk, “ ujar Pak Har, si tuan rumah.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
8. Istri sebagai tokoh pendamping termasuk dalam tokoh sederhana yang memiliki sifat baik
Dimensi tokoh
-          Fisiologis: seorang perempuan
-          Psikologis: istri tokoh Aku
Penokohan Istri diceritakan melalui penerangan langsung dalam cerita (metode diskursif),
“Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku.”
“Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
Dari uraian tokoh tersebut, kita dapat mengetahui watak tokoh-tokoh dalam cerita, keyakinan kuat yang dimiliki tokoh Aku menjadi penggerak cerita ini, sampai pada akhirnya tokoh Aku bisa melihat langsung bukit cahaya. Oleh karena itu, kita patut mencontoh sifat baik yang dimiliki oleh tokoh Aku pada  cerita dalam hidup ini untuk menggapai mimpi dan keinginan kita. Melalui tokoh Bos dan Teman-teman kantor kita dapat mengambil pelajaran untuk tidak meremehkan orang lain, tidak mengejek pendapat dan pemikiran orang lain terhadap suatu hal.

2.2.2 Analisis Latar
Latar Tempat: di kantor, dusun Galihkangkung, teluk Galihkangkung, di gubuk-gubuk kecil, di rumah tokoh Aku, bukit cahaya
Latar Waktu: awal bulan Juli, malam hari, menjelang jam sebelas
Latar Sosial: kantor, perkampungan/dusun
Cerita tersebut terjadi pada masa sekarang ini dengan pekerjaan para tokoh pada sebuah kantor. Akan tetapi, pertengahan sampai akhir cerita betempat di pedesaan, dusun Galihkangnkung dan di bukit cahaya,
“Lain lagi potongan kisah yang datang dari Gus Rony, juga termasuk teman sesama penggemar kopi pahit. Menurutnya, dari yang dia dengar, tidak setiap saat bukit itu memendarkan cahaya. Hanya pada malam ketujuh bulan ketujuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Bosku kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama dia berkata dengan lantang, memberi tahu seisi ruangan bahwa ada sebuah tempat namanya Galihkangkung dan itu belum terpetakan di Indonesia. Kau tentu bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi di ruangan besar itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jimpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Nanti malam, Mas. Menjelang jam sebelas, kita jalan sampai ke tepian teluk,” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Ya. Di teluk itu ada bebrapa pulau kecil berbukit-bukit, nah salah satunya itulah yang nanti akan kita lihat bercahaya.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Mimpi apa, kok sampai nangis sambil tertawa-tawa?”
“Makanya, sudahlah, lupakan Bukit Cahaya itu. Itu, kan, Cuma dongeng,” ucapnya sebelum melanjutkan kembali tidurnya.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
2.3 Analisis Aspek Pragmatik Cerpen Bukit Cahaya, Karya Yanusa Nugroho
2.3.1 Analisis Gaya Bahasa
            Cerpen Bukit Cahaya karya Yanusa Nugroho menggunakan bahasa yang sesuai dengan lingkungan para tokoh dan penggunaan bahasa cakapan sehingga jalan cerita lebih mudah dipahami, namun ada juga beberapa tokoh yang melesapkan penggunaan bahasa daerah dalam percakapan antar tokohnya. Gaya bahasa yang digunakan lebih bebas, tidak terkesan baku atau formal.
“Tapi, itu miturut, simbah saya, lho, Mas. Jadi, ketika itu, kan, Sokrasana dimintai tolong kakaknya untuk memindahkan taman milik Batara Wisnu itu, sebagai persyaratan... ah, sampean tahu, kan, kisahnya, he-he-he. Nah, ketika dibawa terbang, ada segenggam tanah yang jatuh.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Embuh... he-he-he.... Saya juga tidak tahu, dan tidak mau tanya-tanya.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Lho, kan, saya bilang tadi, kata si empunya cerita...haha-ha-ha-ha-ha....” kemudian dia menyeruput kopi hitamnya yang tanpa gula itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Ha-ha-ha... semua yang ada di sini pernah. Bukan hal baru. Kami bahkan sering ke pulau itu, atau mereka, orang-orang itu juga kemari beli kebutuhan kecil. Mereka, ya, seperti kita manusia biasa. Itu sebabnya saya agak heran, kok, Mas tertarik. Lha, yang aneh apanya? Ha-ha-ha-ha.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Apa, besok mau menyeberang ke sana? Saya antarkan. Tapi, ya, jangan kecewa, wong sama saja seperti di sini,” tambah Pak Har. Aku tersenyum. (Nugroho, 2014, hlm. 2)

2.3.2 Sudut Pandang
Cerita tersebut menggunkan sudut pandang First-Person-Central atau sudut pandang orang pertama sentral atau juga akuan-sertaan, pengarang berada di dalam cerita menjadi tokoh dalam cerita tersebut. Berikut kutipannya,
“Aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Kisah itu memang kudengar dari banyak orang.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Sebuah kesejukan yang yang tulus dan murni, lewat penuturan Mas Tri Luwih, teman sesama penggemar kopi pahit.” (Nugroho, 2014, hlm. 1)
“Jujur saja, kian banyak potongan-potongan kisah yang seperti memaksakan diri hadir dalam keseharianku, kian kuat keinginanku untuk menyaksikan bukit cahaya itu. Dan kian kuat keinginanku untuk menyaksikan sendiri bukit cahaya itu, kian kuat pula ejekan menerjangku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Ada yang mengatakan bahwa seharusnya aku masuk jurusan ilmu klenik saja dan bukan masuk ekonomi. Ada yang meledek bahwa aku lebih percaya pada yang maya ketimbang yang nyata , dan entah apa lagi.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Aku diam saja. Ya, aku sendiri heran mengapa keinginan untuk melihat sendiri bukit cahaya itu begitu kuat; sementara diam-diam aku sendiri tahu persis bahwa itu hanyalah dongeng. Ada semacam kekuatan yang saling menarik, yang tengah terjadi pada diriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Kuumumkan bahwa tekadku bulat sudah. Aku mengajukan cuti khusus nanti di awal bulan Juli.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Maaf, mungkin aku melantur. Tapi, mungkin, itu semua yang memebuatku diam-diam membulatkan tekad mencari dan melihat sendiri bukit cahay itu. Sesuatu yang memberiku kekuatan untuk mencari sumber ketenangan hidup. Ya, barangkali itu.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Telah kususuri jalanku, dan aku berada di Galihkangkung. Suasana begitu lengang. Angin benar-benar seperti senyuman malu-malu seorang gadis yang kau jumpai di jalan. Jalanan kecil, tanah hitam padat, bersih. Orang-orang yang berjalan menggiring kerbau, mungkin ke pasar, mungkin ke sawah, bisa dengan mudah kau jumpai. Mereka tidak memandangku sebagi orang aneh, meski pun bagaimama aku bisa sampai di tempat ini kurasakan sebagi sesuatu yang aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku diam saja. Percuma saja jika kukatakan bahwa koordinat satelit tak akan bisa meraba di mana tempat-tempat yang disebut aneh itu berada.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)
“Mungkin saat itu akulah manusia paling bodoh di dunia ini. Dibanting dan diempaskan kenyataan yang melingkupiku saat ini, aku tak bisa lain, kecuali diam.” (Nugroho, 2014, hlm. 3)
“Aku menyaksikan kelam di kejauhan. Dembur ombak dan angin asin menyapaku dari laut di Teluk Galihkangkung. Di gubuk-gubuk kecil ini kami duduk berdua, ditemani kopi dan rokok. Di sekitarku ada juga te mpat-tempat sebagaimana yang kami duduki, dan beberapa orang juga tengah menunggu sesuatu. Sebagaimana di pantai-pantai yang lain, suasana yang kurasakan tak jauh berbeda.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Namun, beberapa saat kemudian ada yang kurasakan aneh.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Tak kurasakan lagi ketakutan. Tak kurasakan lagi kegelisahan. Aku berada pada jantung kedamaian yang sungguh tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Cahaya-cahaya itu, yang membelintang jumlahnya, seperti membersihkan seluruh jiwaku.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Cahaya itu mengajakku mengelilingi kehidupan yang sesungguhnya indah.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Aku tergagap bangun karena guncangan tangan istriku.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Aku hanya merasakan sisa cahaya paling cahaya yang melumuri hidupu. Apakah akan kuceritakan juga mimpiku?” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
“Tapi, aku yakin benar, kalau itu batu, tentunya batu-batu itu adalah emas.” (Nugroho, 2014, hlm. 4)
            Penggunaan kata “aku” berulang-uang kali dalam cerpen tersebut, sehingga cerita tersebut menggunakan sudut pandang First-Person-Central.


BAB III
SIMPULAN
            Tema yang diangkat pada cerpen Bukit Cahaya,karya Yanusa Nugroho ini umumnya mengandung tema moral, bahwa keyakinan yang kuat dalam mencapai suatu tujuan sangat diperlukan oleh setiap orang karena keyakinan tersebut bisa menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan tersebut. Menyadari bahwa setiap orang memiliki kemampuan, potensi, prinsip, dan pemikiran masing-masing, dan setiap orang pun harus menghargai perbedaan itu, meremehkan pemikiran orang lain bukanlah perilaku yang baik, karena dari pemikiran setiap orang itu bisa menjadi sebuah kebenaran dalam hidup.
“Mereka sudah tak percaya pada kekuatan keindahan. Mereka jauh lebih percaya pada perhitungan logika-entah, apa sebetulnya pemahaman mereka tentang logika. Mereka bahkan tak biasa lagi gelenikan, ngobrolkosong, senda gurau, atau canda antarsesama manusia, lantaran jauh dalam diri mereka hanya ada rasa curiga dan syak wasangka. Semua unsur kehidupan didasarkan pada untung rugi secara sempit. Mereka lebih percaya pada skala penjualan.” (Nugroho, 2014, hlm. 2)

















DAFTAR PUSTAKA

Mulyono, S. (2014). Cerita Wayang. [Online]. Tersedia di: http://kumpulanceritawayanghtm. [Diakses 9 September 2014].
Nugroho, Y. (2014). Bukit Cahaya. [Online]. Tersedia di: http://cerpenkompas2014.htm. [Diakses 4 September 2014].
Nurgiyantoro, B. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press.
Wayang. (2010). Sumantri dan Sokrasana. [Online]. Tersedia di: http://wayangindonesia.htm. [Diakses 9 September 2014].
Wikipedia. (2014). Kartawirya Arjuna. [Online]. Tersedia di: http://wikipedia-kartawirya-arjuna.htm. [Diakses 9 September 2014].