Kamis, 23 Maret 2017

Angsoka

Angsoka Berkerudung Lindap
Oleh: Iis Nia Daniar

Nanapku pada angsoka merah di balik jendela
Meski  samar bayangnya terbingkai dalam cermin
Hingga takdapat ku eja ingin

Senja ini, entah kali ke berapa termangu menanti gerimis
untuk menyapa mersik

Menyilam sudah jingga di langit belantara
Sedangkan sansai enggan membenam
Angsoka merahpun berkerudung lindap
Tanpa tahu kapan saat memenggat

Bekasi, 2016
Daun Coklat
Oleh: Iis Nia Daniar

Daun coklat inginkan hijau
Hanyalah asa yang membindam
Penuhi palung jiwa dengan rabas kama!
Tidak!
Kinanti terlalu sumbang mengembus
Menyelusup di antara cabang
Kemasi juadah!
Paksa melupa pada candu serejang!
Biarkan waktu terus berkayuh!
Dan daun coklat relai teremas

Bekasi,  8 Februari 2017
Sudahi
Oleh: Iis Nia Daniar

Desir angin menerpa kemana entah
Hanya embusannya menyelisik risau
dalam debar yang tak mau memudar

Palung hati menyeyap
Sepi terpaku pada tetes embun yang enggan meninggalkan daun di ujung

Andai ombak samudera masih bergulung,
deburkan seluruh nadi
biar lantak tercabik
andaikan kilat masih menggelagar,
porandakan segala kenang

Dan sudahi

Bekasi, 20 Maret 2017

Separuh Napasku adalah Puisi


Luka Teranyar
Oleh: Iis Nia Daniar

Tusukkan belati berlumur bisa di ujung
tepat pada bola hitam mataku
Itu lebih nikmat daripada cumbuiku dengan bibir penuh duri

"Tidak perih."
Kataku sambil menampung airmata
bercampur darah pada saputangan
merah jambu yang kian memerah

"Biasa."
Tambahku sembari mengeja sepi di pinggir trotoar jalan berlapis kerikil-kerikil tajam
Hingga mencipta leluka teranyar

Bersama asap knalpot yang menghilang di kerimunan
Harap ku,
berlalulah goresan luka teradang dengan benang fibrin penutup tanpa jejak

Bekasi, Juni 2016

Kepada Pertiwi
Oleh: Iis Nia Daniar

Pertiwi,
Jagalah nyiur hijau ini tetap di pelepahmu
Karena sauh nelayan masih asyik bermain di laut
Ikan-ikan dan mutiara masih menunggu dipangku anakmu

Angin,
Tetaplah berembus sepoi
Menyibakkan rambut Pertiwiku
hingga api di tungku tetap menyala kecil
Tanpa menghanguskan puzzle yang masih terserak
Biarkan ia menjadi lukisan  gadis merona serupa Monalisa
Hingga pemuda dari seberang benua berseru menyapa

Bekasi,  November 2016

Abstrak
Oleh: Iis Nia Daniar

Bercampur warna dalam kanvas
Hijau meguning lamat-lamat
Putih menyemu abu-abu
Merah terbias menjadi jambu
Menuju Nur Izzati

Asalkan jangan tabur pasir pada minyaknya!
Abstrak akan terbungkus kerikil kecil
Yang menghunjam mata
Mata berdarah merintih
Awanpun berjalan tertatih

Tetap Berpuisi

Tema: Lingkungan
Murka Comberan
Oleh: Iis Nia Daniar

Perih ku ketika kau menutup hidung,
membuang muka, mengeluarkan muntah
yang berisi reak

Apa salahku?
Bukankah kau yang mengencingi
dan melempar kotoran?
Bukankah aku hanya diam sambil meringis
saat segerombolanmu melempariku dengan batu-batu
karena ingin melihat cipratan gelembung di airku
mengotori jalan hingga menodai baju-bajumu?

Kau jubelkan sesampah hingga baju rombeng di tubuhku
Langkahku memberat
Jalanku terseok, bahkan aliranku tak bernapas
Jentik-jentik nyamuk dan kutu air
yang asyik menyarang menggelitik ku hingga mampus berbau
Arus kecilku mati suri tanpa ronta

Bekasi, 23 April 2016


Tema: Awan
Awan Jingga
Oleh: Iis Nia Daniar

Jingganya mungkin yang membuat silau Sang Kawindra
hingga rela melantunkan seribu baris puisi
peluruh sukma

"Jinggaku sebentar lagi
akan menghilang dan berganti kelam karena
itu hanya pinjaman bias sang Surya." Ucap awan.

Sungguh aku si binal tanpa warna yang
siap kencan dengan angin
dari arah manapun
Aku hanya menggodamu dengan  keindahan maya
dan takkan pernah bertahan
hingga perputaran waktu kembali ke  00.00

Mendarma pada insan sejagat
Menaunginya dengan selaksa cinta
Itu adalah tugasku

Cukup sejenak menatap
Setelah itu abaikan seperti langit yang mengabaikan
tangisku di antara guruh dan guntur
"Tidak apa-apa."

Bekasi, April 2016


Tema: Bebas
Memori Usang
Oleh: Iis Nia Daniar

Bertubi menghunjam di sepi

Membulat memutiara
di persuaan antara air dan latar

Deru berlomba di derasnya
mencipta sunyi
Kilatan membuyarkan muram

Pohon menggigil
sebab dedaun terbasahkan hujan

Hati mengabut di reriuh air
ziarahi memori usang

Aku yang meluluh karena pilu
merenta karena waktu
kian memedar
di senyap sapa kelabu karena mu

"Lelakiku aku merindumu terlalu."
Lirih menutur kata tertekan rasa

Bekasi, 8 April 2016
Tema: Bebas

Terlalu Padamu
Oleh: Iis Nia Daniar

Biruku,
tetaplah warnai angan yang bermain di benak
hingga meloncat-loncat jantungku kegirangan
serupa anak kecil bermain tali

Rindu,
tanpamu aku adalah nisan lapuk tinggal nama
yang tertulis samar di antara noda bercak  tanah merah
sisa hujan semalam

Yayi,
Bawalah aku dari jelaga hampa di balik sepi
seperti Qais yang melarikan Laila dengan kudanya
ketika bintang-bintang dan sang dewi enggan bercengkrama
dengan langit kelam berbalut sunyi
Dan biarlah  jejangkrik mengerik cemburu di balik rerimbun daun
karena aku terlalu padamu

Ciketing Udik, 15 April 2016

Puisiku

YAH, SUDAHLAH!
Oleh: Iis Nia Daniar
Lagi-lagi hinamu memasung segala hasrat.
Malamku beku dan senyap tanpa cumbuan.

“Tidak mengapa.” Dua kata terucap hanya untuk menyelimuti kegetiran rasa.

Kautahu sangat ini bukan kali pertama, melainkan kali keseribu kaujegal berahi yang membakar ruang sendu dalam ketemaraman di tengah rinai hujan beralun lembut.

Tatap mataku dalam-dalam!
Tidakkah kaulihat putihnya memerah dan bulir-bulir bening mulai menggenang hingga tertumpah di sudut-sudut kedua kelopak?

Yah, sudahlah!
Biarkan kubersembunyi di balik selimut sambil terlelap pura- pura.
Bekasi, 8-02-2016
TIGA MATA
Oleh: Iis Nia Daniar
Mata 1
“Sepi pandang tanpa rasa bila kauhilang takberbayang.
Mana gelap, mana terang? Tiada beda… suram.
Ramai alam warna-warni olok rasa… hampa.
Ah, sebola kelereng sajalah, cukup kutatap fana!”
Ucap Netra dalam diam sembari berpangku tongkat.

Mata 2
“Pancaran jiwa yang berbunga.
Kesenduanmu karena gundah membelit rasa.
Berbinarmu karena riang memerahkan hati, meronakan pipi dalam kecintaan yang sangat.”
Ujar Perawan berpeluk mawar.

Mata 3
“Kejam coba bersembunyi di balik biasan cahaya dalam kristalin. Hitam hati coba memutih dalam iris. Bayangan pada kornea takpernah sama dengan objek kasat hingga menyayuku karena sakit takterejawantahkan erangan.”Maki yang terlukai.

Bekasi, 15 Februari 2016
MAS, CINTA MATIKU
Oleh: Iis Nia Daniar

Tersimpul mati sudah segala rasa oleh benang merah yang kita pintal bersama.
Dari ujung rambut sampai ujung jari kakiku semakin terus memujamu ....

Terikat erat tanpa sekat, melilit rapat hingga lekat....
Memisahkan ini sama rasanya dengan terbunuh.
Relaku didera seribu cambuk kerna dosaku mencinta mu ...
Bekasi, 2016
SUMARAH DEWA AWAN
Oleh: Iis Nia

Menghitam  dalam bisu,
mendung terselubung  pekat yang menggumpal menjelma kumulonimbus,
menyeruakkan kepedaran tanpa bertanya
hanya sesak yang sesekali menggemuruh dan mengguntur.

Sesaat setelah teruahkan segala beban di titik beku,
memutihlah  tanpa jejak kesembaban.

Menghitam-memutih tanpa penolakan, 
menuruti perintah semesta pada siklus masa.

"Aku hanya takzim pada Raja Sakka." Dewa Awan menguatkan diri.

Bekasi, 22 Maret 2016
DI BALIK KALI JODOH, JAKARTA
Oleh: Iis Nia Daniat

"Mampir, Mas!" Lembut ucap santun laku para penjaja kemesraan sesaat di warung remang-remang yang berjajar sepanjang bantaran kali.

Kumandang adzan isya memanggil mengalun syahdu terkalahkan dengan irama pantura yang mengalun merayu.

Bak bidadari alih profesi cumbu rayu sambil duduk di pangkuan pelanggan penikmat, penjaja asyik bersenda.

Lentik jemari halus asyik menyentuh pori dan menuangkan bergelas-gelas air kencing setan.

Bibir penuh bergincu merona sibuk  terbahak sambil mengepulkan asap kretek; sesekali mendaratkan kecupan mesra, tapi hambar.

"Sampai kapan?" Tanya itu acapkali digulirkan meski dalam canda.

"Yah, mungkin sampai para penikmatku pergi satu per satu hingga akhirnya 0." Terkadang terlontar di saat lengang jauh di ujung malam sambil mengelap tetesan yang masih tersisa diselingi gurau dan tawa. Namun, masih tetap terasa hambar.

"Sampai kita terkena AIDS dan mati muda seperti si Ice alias Sumarti,  Elsya alias Titin, atau Kristin alias Zaenab." Celutuk seorang penjaja yang masih asyik mengepul-ngepulkan puntung asap kretek.

Semua terdiam, hening sambil saling menatap. Adzan shubuh memanggil umat disambut kokok jantan dan rintik hujan, merekapun terlelap dalam warung remang yang berangsur berhenti berpesta.

Bekasi, 24 Februari 2016
RINDU WADI
Oleh: Iis Nia Daniar

Gersang ...  tanpa dedaunan pada batang yang bergesekan menyapa kekerontangan di atas padang pasir.

Putaran angin bergelombang menyapu butirannya di tengah  ketandusan.

Pancaran mahabola pijar memanas kulit, mengelupas epidermis tepat di atas titik pusat diameter bumi.

Di mana hujan?
Di mana sungai?
Di mana oase pemberi kehidupan  Ismail?

Berjalan menyusuri wadi berharap akan turunnya tetesan airmata langit hingga  terisi lengkung panjang yang mendamaikan ketandusan meski hanya setumit tapak.
DAS tidak lagi hanya artefak yang menyembunyikan banyak kisah, inginku....

Bekasi, 6 Maret 2016

PERANG KATA
Oleh: Iis Nia Daniar

A dibilang E
I dilafalkan ai
Jika itu bahasa flektif, pahamku bertemu dititik logika semantis kata.

Hai, yang kaurangkai itu aglutinatif!
Semestinya kamu tahu mitra tuturmu AKU!
Ah, sudahlah!

Sebaris makna implisit telah kucerna.

Sepenggal zatmika terpapar dalam kata berangkai adalah sasmita keengganan.

Tinggallah maluku bersanding dengan penolakan yang takterjabarkan dalam sebuah morfem.

Bekasi, 23 Februari 2016

GUGURNYA ASWATAMA
Oleh: Iis Nia Daniar

Dindaaaa ...!!!
Jerit Aswatama sambil memeluk rapat Banowati untuk kali pertama dan kali terakhir.

Getar rasa yang membiru dari ujung rambut sampai ujung kaki diakui Aswatama, tapi mulut terkunci, bibir urung bertutur.

Aku hanya di balik layar meski ilmuku setinggi langit dan seluas samudera. Namun, hatiku ciut bila mendengar namamu: Banowati.
Tentu saja menggerakkan bibirku untuk menyebut namamu sungkan sungguh.

Taklukku di pesonamu
Berlutut kumemujamu walau diam-diam.

Mataku sering terpanah racun hingga menggeserkan jantung … mengoyakkan hati karena cumbuan pada lelaki sejagatmu yang sengaja kuintip di balik rerimbun bunga setaman.

Walau demikian, Diajeng telah terlanjur mengisi ruang yang sengaja kuselubungkan di sisi hati lain tanpa harus bicara pada Bhisma apalagi pada keris yang menghujam dadamu.

Beribu maaf dan sesal kubawa sembari menyusulmu, cinta terpendamku.

Bekasi, 21-02-2016

DAH, AYANG!
Oleh: Iis Nia Daniar

Sesapa lembutmu membuat percepatan detak di jantungku.

Candamu meronakan hariku, menginspirasi setiap torehan romansaku.

Namun, pernyataan rasamu lebih lambat dari larinya keong, Yang.

Kau biarkan aku yang rapuh penuh harap saat keluluhlantahan menjerat memelantingku untuk bergumul dalam ombak dan menengah hingga hampir mengaram,
sedangkan kau hanya tergeming memaku di pesisir.

Kini aku menolakmu meski somasi kau layangkan.

"Dah, Ayang!" Akhir kekataku untukmu di balairung cinta.

Bekasi, 19 Maret 2016
KISAH HUJAN DAN SELIR
Oleh: Iis Nia Daniar

Mendung itu menemaramkan segala.
Binar senyum adalah keterpaksaan, tanpa keinginan.
Kekeh tawa adalah pemerkosaan terhadap kebisuan karena inginku menyepi dan mengaku bibir.

Angin?
Angin itu berseliweran di antara cemburu yang membakar jiwa.

Guruh?
Ah, gemuruhnya terlalu menyesakkan dada dan takmenyisakan ruang untuk sekadar mengganti oksigen.

Tatkala sapa hujan bertubi menghujam bumi, membekulah waktu di antara desah dan deru napas yang memburu.

Sedangkan aku?
Aku hanya selir ...  hanya bisa menggigil di antara derasnya sembari menyapu airmata dan mencari persembunyian akibat sambaran petir.

Bekasi, 29 Februari 2016
Tentang Penulis:
Nama penulis Iis Nia Daniar. Lahir di Bekasi, 15-08-1977. Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Padjadjaran Bandung (2000). Beberapa karya telah dimuat di koran lokal. Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan guru pada SMP N 31 kota Bekasi. Hp. 085280873946 email: iisnia0@gmail.com




Nyok Kita Lestariin Bahasa Bekasi!


Oleh: Iis Nia Daniar
Bekasi sebagai satu di antara daerah tujuan urban merupakan faktor yang harus diwaspadai dalam perkembangan bahasa daerah Bekasi. Akulturasi antara bahasa dan budaya baik daerah Bekasi maupun daerah para pendatang, tidak menutup kemungkinan lenyapnya bahasa Bekasi yang menjadi ciri khas daerah itu sendiri dalam interaksi dan  komunikasi sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan pengajian bahasa Bekasi secara intensif yang bisa dikonsumsi publik, khususnya masyarakat yang berada di daerah Kota dan Kabupaten Bekasi sebagai tindakan preventif dan representatif dari pelestarian bahasa Bekasi.
Bahasa adalah sebuah sistem yang diciptakan secara arbitrer dan berdasarkan konvensi (Chaer, 1994:33). Demikian juga dengan bahasa Bekasi, bahasa Bekasi memiliki sistem yang berbeda dengan bahasa lainnya karena dibuat secara manasuka berdasarkan perjanjian penutur aslinya (native speaker).
Berikut contoh kosakata bahasa Bekasi dan penggunaannya dalam kalimat. Gaplok, gampar ‘tampar’, deprok ‘duduk di bawah’, bledug ‘bunyi ledakan kompor’, keprok ‘tepuk tangan’, jingkrak ‘melompat-lompat’, nguyup ‘minum langsung dari tempat tanpa sedotan’, ciplak ‘mengunyah’, bangkis ‘bersin’, kepret  ‘menampar dengan menggunakan punggung tangan’, ngocor ‘bunyi air yang keluar’, ngorok ‘ mendengkur’, keketok ‘suara ayam sebelum dan sesudah bertelur’, berebet ‘suara kain robek, angob ‘menguap karena mengantuk’, teblag ‘dipukul bagian punggung dari arah belakang’. Contoh kalimat: (1)Bocah digaplok ama temennya. (2)Emak-emak padadeprok di bawah.(3)Kompornya ngebledug. (4)Orang-orang padakeprok abis nonton topeng. (5)Indun jingkrak kegirangan.(6)Kopi panas diuyup.(7)Si Usin makannya ciplak. (8)Abis keujanan, Darmaji bebangkis bae. (9)Gua kepret luh! (10)Aer ngocor dari setadi. (11)Waya ginih masih ngorok. (12)Ayam keketok bae di kandang. (13)Kaen Pak Aji berebet pas di langgar.(14)Burhan angob bae. (15)Bocah bader banget, gua teblag bae belakangnya.
Kata gaplok, deprok, bledug, keprok, jingkrak, nguyup, ciplak, bangkis, kepret, ngocor, ngorok, keketok, berebet, angob, dan teblag yang diejawantahkan dalam kalimat-kalimat di atas adalah bentuk onomatope. Onomatope/ono·ma·to·pe/ /onomatopé/ n kata tiruan bunyi, misalnya "kokok" merupakan tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus (http://kbbi.web.id/). Hal tersebut sama seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Kata onomatope digunakan pada kalimat aktif intransitif, contoh: (1)Kucing mengeong. Anjing menggonggong; (2)Kuda meringkik. Namun, penggunaan kata beronomatope dalam bahasa daerah, khususnya bahasa Bekasi lebih kaya. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Bekasi sebagai satu di antara kekayaan budaya Indonesia.



Senin, 20 Maret 2017

Saedah Saeni

                   
Oleh: Iis Nia Daniar

“Mimi, kapan Mama pulang?” tanya Saida suatu hari pada ibunya yang masih terbaring lemah.
Ibu dari Saida dan Saeni ini memang telah lama jatuh sakit setelah Sarkawi, suaminya, pergi.  Anak-beranak tersebut tinggal di Desa Karang Turi, Indramayu. Mereka hidup dengan serba keterbatasan dari sisa uang yang diberikan Sarkawi sebelum berangkat menunaikan ibadah haji 7 bulan yang lalu, sedangkan kabar  tentang dirinya tidak pernah ada.
“Mi, Pak Kaji Umar sudah pulang dari Mekkah, kok Mama belum juga pulang ya Mi. Padahal berangkatnya setelah Mama.”
“Husss, Saeni kasihan Mimi!”
Hari terus berganti, ibu Saedah dan Saenipun semakin tenggelam dalam penderitaan hingga akhirnya ajal menjemput. Saeni masih meronta sedih sesudah pemakaman ibunya. Saedah hanya bisa memeluk Saeni dengan berurai air mata.
Sementara itu di tempat terpisah Sarkawi telah menjalani kehidupan barunya, ia menikahi Maemunah,  seorang ronggeng desa tetangga yang dijumpainya dalam perjalanan menuju Baitullah dulu. Namun, bukan berarti Sarkawi sudah melupakan keluarganya yang dulu.  Pernah satu kali Sarkawi mencoba untuk menemui anak-anak dan isterinya di desa yang telah ia tinggalkan, tetapi Maemunah menghalangi.
“Aku rindu Saedah dan Saeni.”
“Apa kau juga merindukan isteri pertamamu?”
“Aku merindukan mereka.”
“Tapi aku sedang mengandung, kau tega meninggalkanku?” rajuk Maemunah setengah menahan air mata. Sarkawi hanya bisa menghela napas sambil menatap jauh malam. 
Selang beberapa hari setelah isteri pertamanya berpulang, Sarkawi merasa didorong  terus untuk pulang ke Desa Karang Turi, dan akhirnya Maemunah menyetujui. Alangkah tekejutnya Sarkawi ketika mengetahui bahwa isteri pertamanya telah meninggal dunia. Perasaan bersalahpun mengalir di dadanya.
Setelah keadaan mulai membaik, Sarkawi mengenalkan Maemunah pada kedua anaknya. Saedah dan Saeni menerima Maemunah sebagai pengganti ibu mereka. Keluarga baru itupun tinggal bersama di rumah peninggalan mendiang isteri Sarkawi.
Tidak berapa lama kemudian, Sakarkawi izin pergi mencari nafkah dan menitipkan kedua anaknya pada Maemunah. Sarkawi berpesan agar berbaik-baik pada Saedah dan Saeni karena rumah yang mereka tempati adalah rumah ibunya.
“Saedah, Mimi mau ke pasar. Ada beberapa rupiah di bawah bantal Mimi dan seliter beras gentong, janganlah kalian pakai,” pesan Maemunah pada kedua anak tirinya. Saedah mengiyakan dengan rasa takut.
Rupanya Maemunah pergi terlalu lama hingga sore menjelang ia belum juga pulang. Saeni yang sudah kelaparan menangis sejadi-jadinya. Saedahpun kebingungan. Saedah teringat akan uang dan beras yang dititipkan Maemunah, dengan berat hati ia memasak beras itu dan memakai uang untuk membeli bumbu lengko. Tidak berapa lama kemudian Maemunah datang.
“Mana berasku, Saedah?” geram Maemunah melihat nasi yang tengah dimakan Saeni.
“Ampun, Mi! Beras dan uangnya saya pakai karena kami lapar,” Saedah ketakutan menjawab sambil menghalangi Saeni dengan badannya seolah-olah ingin melindungi Saeni dari tatapan marah Maemunah.
“Dasar bocah blesak!” berang Maemunah.
Sambil menangis dan memeluk Saeni, Saedah berkata, “Baiklah jika Mimi tidak mau memaafkan kami, kami akan pergi dari sini.”
Hampir saja sapu lidi menghantam tubuh Saedah, tetapi ia teringat pesan Sarkawi. Diletakkannya sapu lidi di pojok dinding dapur. Dibelainya rambut Saedah dan Saeni sebelum Maemunah meninggalkan dapur.
“Selepas maghrib kalian ikut Mimi. Kita jalan-jalan ke kota,” Suara Maemunah terdengar menurun dari sebelumnya.
Setelah sholat Saedah dan Saeni pergi bersama ibu tirinya, rupanya Maemunah masih menyimpan amarah dengan kejadian sore tadi. Dia berniat akan membuang kedua anak tirinya. Benar saja, Saedah dan Saeni ditinggalkan Maemunah di tengah hutan. Kedua anak malang ini pun menangis.
Di tengah ketakutan dan malam yang mencekam itulah muncul kakek misterius  yang entah datang dari mana. Kakek tersebut tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Saedah dan Saeni. Kontan saja kedua anak itu gemetar, tetapi Saedah langsung menarik tangan Saeni dan menyembunyikan Saeni di belakang tubuhnya.
“Saedah! Saeni!” keras kakek itu memanggil nama keduanya.
“Si ... Siapa Kakek?” Saedah memberanikan diri.
“Aku yang akan membuat kalian kaya.”
“Aku mau, Kek,” tegas Saeni.
“Hahahaha ...,” kakek itu terkekeh-kekeh mendengar jawaban Saeni, “tapi ada syaratnya, apa kalian sanggup?” lanjut Kakek sambil melebarkan tatapannya.
Belum lagi Saedah berpikir, Saeni sudah menjawab, “Sanggup!”
Setelah melakukan ritual yang diperintahkan Kakek misterius itu, Saedah menjadi tukang kendang yang ahli dan Saeni, adiknya menjadi seorang ronggeng yang gemulai.  Mereka mengadakan pertunjukkan di pinggir jalan sekitar Kali Sewo  dan akhirnya mereka terkenal hingga ke desa asal, Desa Karang Turi. Kepopuleran Saedah dan Saeni mengubah kehidupan mereka. Bahkan membuat Maemunah datang berkunjung ke rumah mereka.
“Siapa yang datang, Wak?” tanya Saeni pada satu di antara orang yang bekerja di rumahnya.
“Dia mengaku ibu Nok Ayu,” sambil membungkuk takzim Wak Tarsiah menjawab.
“Maemunah?” berteriak Saeni menyebut nama ibu tirinya. Saeni tersenyum sinis mengingat apa yang telah diperbuat Maemunah dulu terhadapnya dan Saedah.
Saedah yang sedang berlatih kendang di serambi belakang rumah segera menghentikan  tabuhannya setelah mendengar teriakan adiknya. Dia menghampiri Saeni di ruang tengah.
“Ada apa, adikku?” halus Saedah bertanya pada Saeni.
“Maemunah datang ke rumah kita, Kang.”
“Kapan?”
“Barusan saja. Tapi karena aku sedang tidur, Wak Tarsiah tidak membangunkanku,” nafsu Saeni berkata. “mungkin dia hendak menagih utang kita, Kang,” lanjut Saeni.
“Utang?” Saedah tampak bingung, “maksudmu beras dan uang yang kita pakai dulu?”
“Ya, Kang. Aku yakin,” Saeni setengah terisak karena masih terasa sesak akan kejadian masa lalu.    
“Sudahlah, Dik! Tidak baik menyimpan dendam. Bukankah Gusti Allah telah memberikan karunia berlebih atas kejadian itu?” Saedah menasihati adiknya.
Akhirnya merekapun sepakat untuk melupakan masa lalu dan membayar utang kepada Maemunah. Saedah sangat berharap keluarganya dapat berkumpul seperti dahulu lagi. Saenipun rindu pada ayahnya, Sarkawi.
Belum lagi utang pada Maemunah dapat dibayar, waktu berganti terlalu cepat bagi Saeni. Hatinya mulai cemas karena saat perjanjian dengan Kakek misterius yang dia jumpai di tengah hutan dulu telah tiba. Saedah sama sekali tidak mengetahui syarat dan janji apa yang harus dipenuhi oleh keduanya ketika itu karena si Kakek hanya berbisik pada Saeni. Saeni tidak pernah membicarakan syarat dan janji tersebut pada kakaknya. Karena Saeni yakin kalau ia memberitahukan pada Saedah, tentu Saedah tidak  pernah menyetujuinya dan harapan Saeni ingin menjadi orang kaya akan hilang begitu saja.
“Nok Saeni!” suara tanpa rupa memanggil Saeni beberapa kali pada malam yang dipenuhi angin kencang.
Saeni beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mengarah pada suara yang memanggil namanya. Saedah yang ketika itu masih terjaga mengikuti Saeni dari belakang dengan rasa penasaran. Sampailah Saeni di tepian Kali Sewo, tanpa ragu dia terjun ke dalam kali tersebut dan berubah menjadi buaya putih. Saedah yang melihat kejadian tersebut menjerit memanggil-manggil adiknya.
“Saeni! Saeni! Saeni!”
Akan tetapi, Saeni yang telah berubah wujud itu terus menghulu, tidak memperdulikan jeritan kakaknya. Saedahpun berlari sambil terus menjerit seperti orang gila menuju rumah ayahnya, Sarkawi di Desa Karang Turi. Sambil menangis Saedah bercerita tentang kejadian yang sudah menimpah Saeni.
“Mama, Saeni buaya. Saeni putih. Kali Sewo,” Saedah tampak belum bisa menguasai jiwanya.
“Ada apa Saedah? Apa yang terjadi pada Saeni? Apa yang terjadi dengan kalian?” Sarkawi yang penasaran dan cemas memberondong pertanyaan.
“Mama ... Mama ... Saeni jadi buaya putih setelah dia melompat ke Kali Sewok,” tersedu-sedu Saedah sembari terduduk lemas  di hadapan Sarkawi.
“Astaga!” terkejut Sarkawi mendengarnya dan seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir deras membasahi bajunya.
Para tetangga berdatangan mendengar jerit dan tangis Sarkawi dan Saedah. Mereka akhirnya ikut mengantarkan Sarkawi, Saedah , dan Maemunah untuk mencari buaya putih jelmaan Saeni di Kali Sewo. Sesampainya mereka di sana, tidak menunggu lama, muncullah dari hulu sesososk buaya putih yang bersuara mirip Saeni.
“Mama, aku merindukanmu.”
“Saeni!” teriak Sarkawi dan dia langsung berlari menerjunkan diri ke dalam kali. Beberapa saat kemudian Sarkawi berubah wujud menjadi bale kambang, ‘sejenis ranjang yang terbuat dari kayu'.
Maemunah yang melihat suaminya telah berubah wujud ikut terjun ke dalam kali dan berubah wujud menjadi pring ori, ‘bambu’. Saedah sangat terguncang menyaksikan seluruh keluarganya seolah raib ditelan arus deras Kali Sewo. Dia menangis sepanjang hari hingga lemas dan tertidur di rel kereta api yang berada tidak jauh dari kali tersebut. Saedahpun tewas terlindas kereta api dan tubuhnya berubah menjadi pohon bunga cempaka putih.
Sejak saat itu aroma mistis kental menaungi jembatan Kali Sewo. Setiap kendaraan yang berlalu-lalang di atas jembatan Kali Sewo harus membuang uang berupa koin sebagai bentuk penghargaan pada Saedah dan Saeni yang telah meronggeng di tempat tersebut. Jika tidak melemparkan koin, kendaraan akan mengalami kecelakaan.