Oleh: Iis Nia Daniar
Berjalan menyusuri pematang sawah, angin sayup meraba setiap helaian rambutku. Angan terhenti pada akhir tahun lalu. Ada rasa kesal, marah, muak, dan entah apa lagi. Nistapun kembali menyelimuti hati. Jika tidak ada para bu tani dan pak tani yang asyik menyiangi rumput-rumput pengganggu tanaman padi, mungkin teriakanku sudah memecah kedamaian siang ini.
“Ah, ...,” dalam kutarik napas.
Mata ini terlalu berat karena membendung air yang hendak menerobos keluar. Wajahku tertunduk lesu. Namun, seraya tatapanku terpana pada langit yang membiru dalam parit. Langit masih biru, pikirku. Berarti catatan dosaku masih tersimpan rapi pada Atid. Dosa, lagi-lagi tentang dosa. Dosaku yang sudah menumpuk menjadi tiga gunung atau bahkan lebih.
Saraswati, apa yang ada dalam pikiranmu ketika itu?” gumamku pelan mengiringi lemparan kerikilku ke permukaan air parit.
Sengaja kuamati air parit itu, tetapi sayangnya bekas lemparanku hanya mampu membentuk satu lubang bulatan dan tiga tumpuk riak kecil. Langit birunya masih tampak angkuh. Aku benci! Ku coba melepas lelah dengan duduk-duduk di atas rerumput pematang. Pematang ini tidak begitu sempit, pikirku.
“Kamu dimana?”
“Aku sudah berada depan taman,” bersemangat aku menjawab panggilan dari nomor yang sudah sangat ku kenal.
Kulihat Yadi mengenakan jaket putih kesayangannya. Tidak ada getar apalagi debar di jantungku. Biasa saja, seperti bertemu dengan Roni, Willy, dan teman lelakiku lainnya. Kami satu hobi, itu yang membuatku mengiyakan Yadi saat dia memintaku untuk bertemu. Kebetulan hari itu akhir Desember, kami berjanji makan bareng di daerah sekitar gedung olahraga kota. Mie ayam dan es teh manis pilihan kami, dan kali ini Yadi yang membayar.
Yadi bercerita tentang banyak pengalamannya ketika masih di sekolah dulu, saat dia mengikuti pelbagai lomba, sampai proses penciptaan karya puisi. Aku agak suka sih. Mataku terpaku pada rambutnya yang keriting, jariku memainkan ujung sedotan di gelas es. Mendengarkan ceritanya, ada perasaan jenuh bergelayut di dada. Tutur kata dan susunan kalimatnya tidak seperti karya-karya yang ia telurkan. Hem, bahasa lelaki yang ingin dipuji.
Tanpa Yadi sadari telingaku lebih memilih mendengarkan lagu “Birunya Rindu” yang diputar oleh pedagang mie. Akan tetapi, sayang pada liriknya terdapat birunya langit.... Cepat-cepat kualihkan pendengaranku kembali pada Yadi. Dia masih asyik dengan ceritanya, tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara.
Waktupun merayap menuju malam, setelah kami keluar dari kantin jajanan yang letaknya di tribun barat stadion. Kami berjalan menyusuri temaram taman. Tanganku menggenggam tangannya seperti muda-mudi yang dimabuk asmara. Kami duduk di bangku panjang. Belum selesai aku meletakkan bokongku di bangku itu, Yadi sudah menarik tanganku dan dengan cepat memagut bibirku. Kedua mata kupejamkan bukan karena ingin menikmati, melainkan karena malu pada jejangkrik yang ramai mengerik.
“Malam ini terakhir kita bertemu.”
“Kenapa?” tanyaku sembari mengatur napas. Tidak munafik, aku sedikit menikmati lumatan Yadi meski dosa membayang.
“Besok aku berangkat ke Cirebon, pengantin wanitaku telah menunggu di sana,” lanjut Yadi dengan tak melepaskan genggamannya pada tanganku.
Hmmm, ... lelaki ini. Apa hatinya telah membatu? Bermesraan denganku semalam sebelum pernikahannya. Seharusnya dia mengerti hatiku dan hati perempuannya jika memang dia adalah puisi. Lelaki yang berada di hadapanku ini rupanya hanya ingin bermain dan mengumbar gairah cinta. Sungguh aku sakit. Ternyata simpulanku tentang lelaki adalah benar: makhluk kuat tak berhati.
“Kok, diam,” tegur Yadi menghentikan lamunanku.
Aku tersenyum dan beranjak duduk di pangkuannya. Jika kau ingin bermain-main, baiklah akan aku layani. Setelah kau merasa aku takluk, kau akan kulepaskan semudah kau melepaskan kancing baju di dadaku.
“Bisa kita pergi ke suatu tempat yang lebih privasi?”
“Tidak, besok aku ada privat,” kataku tegas.
“Sekali ini saja,” paksa Yadi dan tatapannya berusaha meyakinkanku.
“Tidak, aku takut Tuhan,” kataku sambil berusaha melepaskan pelukan dan bangkit dari pangkuannya.
Yadi menganggukan kepala perlahan. Dari sudut mata kanan, aku bisa melihat ada kekecewaan di wajahnya. Aku tidak perduli. Kutarik tanggannya dan mengajak berjalan menuju pintu keluar taman.
“Saras, tega sekali kau,” rajuk Yadi.
Aku hanya menunjukkan ujung jariku ke arah jam tangan yang terpasang di lengan kiri.
“Pukul 22.00,” singkat jawabanku.
Kami berpisah di tempat parkir motor. Yadi melaju motor dengan cepat. Aku tertawa puas melihat belakang punggungnya. Anak muda harus diberi pelajaran, pikirku nakal.
Entah sejak kapan, aku menggila. Irama hatiku naik turun, mungkin karena iman ini yang setipis kulit bawang. Di benakku lelaki hanyalah penganggu alur hidup. Cukup Adit, Tito, dan terakhir Yadi menjadi sampel penguat teoriku tentang makhluk kuat tak berhati ini. Meskipun demikian, pada malam-malam beku terkadang aku merindukan kehangatan darinya.
Pluuuuuk ....
Aku tersentak dari lamunan dan berusaha berdiri memandang jauh ke tengah sawah. Orang-orang tani itu masih kuat berjibaku dengan lumpur di tengah terik. Kutengok riak air terakhir dari jatuhnya belalang hijau yang cukup besar. Riak itu masih tidak sanggup melenyapkan langit biru di parit.
Lemas aku duduk kembali di tempat semula. Rumput-rumputnya telah merebah karena tertindih bokongku tadi. Tatapanku tak mau lepas dari belalang hijau di dalam air parit. Dia mati tanpa ada sanak saudara yang tahu. Bangkainya kedinginan dalam air yang tidak begitu dalam. Tidak satupun yang menolong ketika terjatuh tadi, termasuk aku. Kejam dunia ini. Ada yang datang dan ada yang pergi. Datang sendiri, pergipun sendiri. Lalu buat apa aku memiliki pendamping hidup? Apa hanya sekadar untuk lucu-lucuan seperti kata Maya siswa kelas 12-ku saat ditanya apa motifnya memiliki kekasih?
Pikiranku menari-nari tidak karuan. Andai saja Tito bersikap baik padaku dengan menerima aku apa adanya, mungkin aku masih bisa bahagia dalam bahtera cinta yang kubina beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, aku tahu persis hati dan pikiran Tito, dia takpernah memberikan sayangnya secara utuh. Cintanya telah dibagi-bagi kepada perempuan-perempuan selainku. Bahkan Tyras, Tito telah menganggapnya tidak pernah terlahir.
“Tito,” pelan bibirku menyebut nama itu tanpa sadar.
Aku masih tidak bisa melepaskan sosok itu dari benak. Bayangannya selalu hadir di retinaku, apalagi anak perempuan tunggalku selalu menanyakan ayahnya. Tito terlalu membekas. Sebenarnya sebagian jiwaku adalah jiwanya. Namun, ah, entahlah!
“Langit masih biru dan kita berada di bawahnya. Walaupun jarak memisahkan yakinlah Saraswati, oksigen yang kita hirup adalah sama.”
Kalimat itu masih terngiang di telinga dan dadaku rasa sesak bila mengingat Tito melepaskanku begitu mudah seperti mengucapkan langit masih biru .... Tanpa beban dan tanpa penyesalan. Cinta di antara kami bak hilang tanpa residu sejak saat pertemuan terakhir di stasiun kereta. Tito pergi meninggalkan aku dan buah hati kami demi cinta pertamanya. Yang tersisa kini hanya dendam pada langit biru. Seandainya aku bisa melukis langit, tentu telah kuganti warnanya menjadi hijau agar kulihat terkulai ia di dalam parit.
“Kasihan,” tanganku mengambil belalang dengan daun yang kupetik dari pohon liar pinggir parit.
Tito, langit birumu sungguh biadab. Ia telah menjerumuskanku pada perasaan yang tidak kumengerti, ada perih, rindu, bahkan dendam. Itulah yang membuatku berfantasi rasa dengan Yadi meskipun akhirinya aku menyerah dengan perasaan takut pada Tuhan.
“Dit, jangan lari-lari!” teriakan ibu tani membuyarkan lamunanku.
“Hai, jangan berlari nanti kau terjerembab ke parit!” kataku kepada anak kecil berkaus merah yang hampir separuh badannya berlumpur.
Anak itu hanya tertawa-tawa kecil dan melanjutkan larinya, sedangkan si ibu mengikuti dari belakang dengan was-was. Aku tersenyum padanya sembari menganggukkan kepala.
“Mari, Mba!” tergopoh-gopoh wanita yang tampak lebih muda dari aku menyusul anaknya.
“Adit! Adit!”
Adit? Mengapa Adit? Huh, kemana lelaki itu? Sampai aku dilamar dengan Tito sahabatnya, batang hidungnya takmuncul. Dasar lelaki tak bertanggung jawab! Kabar terakhir yang kuterima, Adit berada di Aceh. Aku berharap dia ikut terhempas tsunami. Adit kautahu perlakuan Tito terhadapku? Dia menganggapmu sebagai ayah dari anakku. Tito tahu kau telah menjamahku di bawah langit biru saat kita camping dulu.
Kututup wajahku dengan kedua belah telapak tanganku sembari menghela napas panjang. Otakku seperti berontak hendak keluar dari kepala. Kurasakan angin bertiup terlalu kencang hingga tubuhku menggigil. Isak tidak bisa kukeluarkan hanya tertahan di tenggorokan. Bumi seperti berputar-putar. Padi-padi yang bergoyang seolah menunjuk-nunjuk dan mengecamku; aku adalah perempuan dengan seribu dosa.
“Bunda! Bunda sedang apa di sini?” suara itu begitu lembut, air mata kerinduan meleleh di kedua belah mataku.
“Sayang Bunda, bagaimana keadaanmu? Siapa yang menemanimu, Nak?”
“Bunda, aku sangat bahagia. Banyak, Bun,” sambil berlari memelukku, “Bunda kenapa di sini?”
“Bunda sedang melihat-lihat sawah Pak Le Marno. Lihatlah, Nak sungguh indah liuk padi diterpa angin!” tunjukku ke arah depan kami.
Tyras hanya tersenyum kecil. Tubuhnya yang mungil bergaun putih. Ah, anakku memang mewarisi pesona ayahnya. Enam tahun lalu nama Tyras kuberikan pada bayi perempuan mungil yang lahir dari rahimku. Yah, nama itu merupakan perpaduan nama kami, Tito dan Saras. Meskipun Tito tidak pernah menggendong ataupun menimang Tyras, aku sangat bahagia bisa melahirkan dan membesarkannya. Tingkah Tyras yang menggemaskan adalah obat penawar dari segala kepenatan.
“Bunda bawa obat buat,” kucium pipi gempal Tyras.
“Tidak, Bunda.”
“Kenapa?”
“Tyras sudah sembuh,” matanya yang bulat lucu menatapku. Tanganku mengelus rambut panjangnya.Wangi surgapun menyeruak di antara helaiannya.
“Bun, jangan pernah menangis lagi. Kalau Bunda sedih, Tyras juga ikut sedih.”
“Tyras, Bunda rindu.”
“Belum saatnya kita bersama, Bun,” Tyras melepaskan diri dari pangkuanku.
“Tyras, tunggu!” teriakku membubarkan burung-burung sawah.
Namun, Tyras tetap berlalu dariku. Dia mengacuhkan panggilanku yang beberapa kali hingga suaraku hilang. Tyras apa kau tidak memafkan Bunda, Nak? Bunda yang salah. Bunda terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga terlambat membawamu ke dokter.
“Tyras ....”
Seandainya dulu Bunda tahu sakitmu, tentunya Bunda akan mengobatimu lebih awal. Anakku, jika Bunda tahu kau akan pergi, pastilah Bunda tidak akan berangkat kerja hari itu. Bunda menyesal, Nak. Sangat menyesal! Entah harus berkata apa padamu tentang penyesalan ini, Tyras sayang. Kalau saja tidak ada larangan agama, Bunda telah menyusulmu sejak dulu, Nak.
Siang di pematang ini membuat air mataku membanjiri parit. Tidak tahu lagi harus berkata apa? Tidak tahu lagi harus bagaimana? Disaksikan langit yang membiru dan pikuk kota, 6 tahun yang lalu Tyrasku telah pergi untuk selamanya di hadapanku sama seperti belalang hijau ini.
Tanganku memungut kembali belalang yang telah kubuang, mengamatinya sembari sesekali menyeka air mataku dengan ujung-ujung baju yang kukenakan. Aku menggali tanah dan menguburkan belalang hijau itu bersama daun pembungkusnya.
“Istirahatlah belalang malang!” tanah kututup kembali.
“Jika kau sampai ke surga, tolong cari anakku Tyras dan sampaikan padanya bahwa aku sangat menyayanginya,” kutekan-tekan tanah yang sudah menutup seluruh tubuh belalang itu, “sampaikan juga padanya, tunggulah Bunda!”
Selesai menguburkan belalang hijau, aku kembali melongok parit. Tetap langit biru itu masih ada. Ombakan padi bergulung-gulung dipermainkan angin, seolah kembali mengejekku.
“Oh, Tuhan! Mungkinkan dosa-dosaku akan terhapus?” kembali penyesalan berkecamuk dalam dada.
“Saras!” muncul sosok Tito entah datang dari mana.
“Tega sekali kau,” Yadi memakiku, kedua mataku berputar-putar.
“Bunda!”
“Tyras! Tyras! Tyras!” seperti kesetanan aku terus memanggil-manggilnya.
“Nduk, Nduk! Bangun! Nduk, ealah tidur kok di pematang,” suara itu membangunkanku.
Samar mataku menangkap wanita setengah baya yang sudah berjongkok di samping tubuhku. Ternyata wanita itu Bu Lek Marno. Aku terperangah, kuraba baju bagian pundak dan dadaku basah semua. Sudut-sudut mataku masih menyisakan air mata. Kepala masih pusing, dan telinga masih berdengung. Bu Lek memukul punggungku pelan.
“Ayo kita pulang sudah mau ashar!”
*****
Sabtu, 27 Mei 2017
Aku Benci Langit Biru
Selasa, 02 Mei 2017
Bimbing Aku
Oleh: Iis Nia Daniar
Maraknya kenakalan remaja saat ini seperti tawuran antarpelajar, penyalahgunaan obat-obatan (eximer, tramadol, zolam, dexstro, three-X, double-H), dan pencurian membuat keprihatinan dari pelbagai pihak. Kendati beberapa sekolah telah menerapkan sistem full day school atau melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler untuk menekan kenakalan remaja, tetap tidak bisa menghilangkan kebiasaan sebagian pelajar yang dapat merugikan diri sendiri ini. Dalam persoalan tersebut tentu semua pihak tidak mau dipersalahkan. Pihak sekolah merasa telah memberikan pelayanan maksimal terhadap para siswa dengan tahapan pembinaan wali kelas, wakil kesiswaan, guru bimbingan konseling, dan bahkan kepala sekolah. Namun, pembinaan-pembinaan tersebut tidak memberikan dampak perubahan sikap yang signifikan bagi siswa yang berlatar belakang keluarga “tidak peduli” terhadap anak-anaknya.
Demikian halnya dengan orang tua merasa telah memberikan segalanya kepada anak baik itu kasih sayang, materi, maupun pendidikan. Namun, setelah ditelusuri ada hal yang tidak diberikan pada anak, yaitu kepedulian dari sekolah dan terlebih dari orang tua. Ketidakpedulian orang tua inilah yang merupakan pemicu utama permasalahan dalam diri anak. Permasalahan itu bertumpuk terus-menerus hingga mencapai klimaks dan disalurkan melalui tindakan negatif. Tidak bermaksud menyalahkan orang tua, tetapi faktanya siswa-siswa yang terbelit masalah adalah mereka yang mempunyai hubungan kurang baik dan bahkan terlalu “baik” dengan orang tuanya.
Hubungan Kurang Baik
Hubungan kurang baik antara anak dan orang tua bisa disebabkan oleh beberapa kondisi misalnya perceraian (hidup atau meninggal), perselisihan suami--istri yang berkelanjutan, dan anak yang berada dalam pengasuhan selain orang tua. Kondisi-kondisi ini sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis si anak. Apalagi anak-anak yang berkategori di bawah usia dewasa. Pola pikir mereka masih harus diarahkan dan dibimbing oleh orang dewasa, terutama ibu. Hal tersebut sejalan dengan teori diferensial yang menyatakan bahwa “Anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih 6 tahun, baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan dengan orang-orang dewasa yang lain”.
Pada usia yang belum dewasa anak akan cenderung mencoba-coba suatu hal yang menarik perhatiannya walaupun itu akan membahayakan diri mereka sendiri. Pada situasi seperti inilah peran orang tua sangat penting dengan memberikan dukungan dan arahan bagi si anak. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Erikson mengatakan jangan pernah memberikan nasihat atau kritik yang berlebihan karena si anak akan tumbuh dengan rasa ragu-ragu terhadap kemampuannya.
Bagaimana dengan anak yang sudah terlanjur memiliki kondisi-kondisi di atas? Di sinilah diperlukan kelapangdadaan orang dewasa. Orang dewasa yang mempunyai hubungan dekat dengan si anak harus mau dan bisa memberikan arahan yang positif. Arahan positif tanpa kritikan yang berlebih akan mendongkrak prestasi belajar si anak di sekolah.
Hubungan Terlalu “Baik”
Yang dimaksud dengan hubungan terlalu “baik” adalah sikap over protective orang tua. Sikap ini sebenarnya merupakan curahan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, tetapi porsinya berlebih. Si anak seolah-olah tidak mempunyai jiwa, semuanya berdasarkan perintah dan aturan orang tua tanpa memberikan kesempatan si anak untuk bertanya. Padahal anak-anak sejak awal bisa berbicara adalah seorang ilmuwan karena mereka pasti selalu bertanya apa ini dan apa itu kepada orang tuanya layaknya seorang peneliti.
Keinginantahuan si anak akan tersumbat kalau orang tua terlalu mengkritisinya tanpa memberikan alasan yang logis. Paling tidak alasan itu dapat disertai contoh nyata dalam kehidupan yang paling dekat: keluarga dan lingkungan si anak. Si anak akan tumbuh menjadi tidak percaya diri sehingga tidak bisa mengembangkan bakatnya.
Kemungkinan dari sikap over protective berikutnya adalah si anak akan mencari-cari sendiri jawaban di lingkungan luar keluarga. Hal inilah yang sangat berbahaya. Si anak yang masih labil dalam pemikirannya bisa dipengaruhi oleh hal-hal negatif. Dia bisa terjebak dalam pergaulan yang selama ini dilarang oleh orang tua.
Akan tetapi, sikap terlalu membebaskan anak pun berdampak kurang baik. Si anak seolah-olah seperti layang-layang yang diputuskan dari benang. Dia akan terbang ke segala arah sesuka hati mengikuti tiupan angin. Anak akan merasa tidak mempunyai pedoman dalam hidupnya. Tidak ada yang mesti dicapai dan tidak ada yang mesti dihasilkan dalam hidup. Si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab apalagi jika nilai-nilai agama dan moral tidak diberikan oleh orang tua sejak dini.
Kedua sikap orang tua seperti di atas akan berpengaruh langsung terhadap ketercapaian kreteria ketuntasan belajar di sekolah. Kompetensi sikap yang tercakup dalam kurikulum 2013 juga akan memengaruhi hasil belajar siswa. Dengan demikian, si anak mengalami kegagalan yang berlapis, yaitu gagal dalam pembentukan pribadi dan gagal dalam bidang akademik. Jika sudah terlanjur seperti ini, siapa yang bertanggung jawab?
Jadi, peran orang tua dalam pendidikan sangat fundamental. Orang tua harus bisa menentukan strategi dalam membina hubungan dengan anak-anaknya demi masa depan mereka.
Minggu, 09 April 2017
SELAYANG PANDANG BAHASA
Dalam bahasa Indonesia terdapat kata yang termasuk ke dalam aspek dan modalitas.
as.pek /aspék/
n tanda: linguis dapat mencatat dengan baik ucapan-ucapan yang mempunyai -- fonemis
n sudut pandangan: mempertimbangkan sesuatu hendaknya dari berbagai --
n pemunculan atau penginterpretasian gagasan, masalah, situasi, dan sebagainya sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang tertentu
n Ling kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan jenis perbuatan
mo.da.li.tas
n Ling klasifikasi pernyataan menurut hal menyungguhkan atau mengingkari kemungkinan atau keharusan
n Ling cara pembicara menyatakan sikap terhadap suatu situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi
n Ling makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya yang dinyatakan dalam kalimat (dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan kata barangkali, harus, dan sebagainya)
Kamis, 23 Maret 2017
Angsoka
Angsoka Berkerudung Lindap
Oleh: Iis Nia Daniar
Nanapku pada angsoka merah di balik jendela
Meski samar bayangnya terbingkai dalam cermin
Hingga takdapat ku eja ingin
Senja ini, entah kali ke berapa termangu menanti gerimis
untuk menyapa mersik
Menyilam sudah jingga di langit belantara
Sedangkan sansai enggan membenam
Angsoka merahpun berkerudung lindap
Tanpa tahu kapan saat memenggat
Bekasi, 2016
Daun Coklat
Oleh: Iis Nia Daniar
Daun coklat inginkan hijau
Hanyalah asa yang membindam
Penuhi palung jiwa dengan rabas kama!
Tidak!
Kinanti terlalu sumbang mengembus
Menyelusup di antara cabang
Kemasi juadah!
Paksa melupa pada candu serejang!
Biarkan waktu terus berkayuh!
Dan daun coklat relai teremas
Bekasi, 8 Februari 2017
Sudahi
Oleh: Iis Nia Daniar
Desir angin menerpa kemana entah
Hanya embusannya menyelisik risau
dalam debar yang tak mau memudar
Palung hati menyeyap
Sepi terpaku pada tetes embun yang enggan meninggalkan daun di ujung
Andai ombak samudera masih bergulung,
deburkan seluruh nadi
biar lantak tercabik
andaikan kilat masih menggelagar,
porandakan segala kenang
Dan sudahi
Bekasi, 20 Maret 2017
Separuh Napasku adalah Puisi
Luka Teranyar
Oleh: Iis Nia Daniar
Tusukkan belati berlumur bisa di ujung
tepat pada bola hitam mataku
Itu lebih nikmat daripada cumbuiku dengan bibir penuh duri
"Tidak perih."
Kataku sambil menampung airmata
bercampur darah pada saputangan
merah jambu yang kian memerah
"Biasa."
Tambahku sembari mengeja sepi di pinggir trotoar jalan berlapis kerikil-kerikil tajam
Hingga mencipta leluka teranyar
Bersama asap knalpot yang menghilang di kerimunan
Harap ku,
berlalulah goresan luka teradang dengan benang fibrin penutup tanpa jejak
Bekasi, Juni 2016
Kepada Pertiwi
Oleh: Iis Nia Daniar
Pertiwi,
Jagalah nyiur hijau ini tetap di pelepahmu
Karena sauh nelayan masih asyik bermain di laut
Ikan-ikan dan mutiara masih menunggu dipangku anakmu
Angin,
Tetaplah berembus sepoi
Menyibakkan rambut Pertiwiku
hingga api di tungku tetap menyala kecil
Tanpa menghanguskan puzzle yang masih terserak
Biarkan ia menjadi lukisan gadis merona serupa Monalisa
Hingga pemuda dari seberang benua berseru menyapa
Bekasi, November 2016
Abstrak
Oleh: Iis Nia Daniar
Bercampur warna dalam kanvas
Hijau meguning lamat-lamat
Putih menyemu abu-abu
Merah terbias menjadi jambu
Menuju Nur Izzati
Asalkan jangan tabur pasir pada minyaknya!
Abstrak akan terbungkus kerikil kecil
Yang menghunjam mata
Mata berdarah merintih
Awanpun berjalan tertatih
Tetap Berpuisi
Tema: Lingkungan
Murka Comberan
Oleh: Iis Nia Daniar
Perih ku ketika kau menutup hidung,
membuang muka, mengeluarkan muntah
yang berisi reak
Apa salahku?
Bukankah kau yang mengencingi
dan melempar kotoran?
Bukankah aku hanya diam sambil meringis
saat segerombolanmu melempariku dengan batu-batu
karena ingin melihat cipratan gelembung di airku
mengotori jalan hingga menodai baju-bajumu?
Kau jubelkan sesampah hingga baju rombeng di tubuhku
Langkahku memberat
Jalanku terseok, bahkan aliranku tak bernapas
Jentik-jentik nyamuk dan kutu air
yang asyik menyarang menggelitik ku hingga mampus berbau
Arus kecilku mati suri tanpa ronta
Bekasi, 23 April 2016
Tema: Awan
Awan Jingga
Oleh: Iis Nia Daniar
Jingganya mungkin yang membuat silau Sang Kawindra
hingga rela melantunkan seribu baris puisi
peluruh sukma
"Jinggaku sebentar lagi
akan menghilang dan berganti kelam karena
itu hanya pinjaman bias sang Surya." Ucap awan.
Sungguh aku si binal tanpa warna yang
siap kencan dengan angin
dari arah manapun
Aku hanya menggodamu dengan keindahan maya
dan takkan pernah bertahan
hingga perputaran waktu kembali ke 00.00
Mendarma pada insan sejagat
Menaunginya dengan selaksa cinta
Itu adalah tugasku
Cukup sejenak menatap
Setelah itu abaikan seperti langit yang mengabaikan
tangisku di antara guruh dan guntur
"Tidak apa-apa."
Bekasi, April 2016
Tema: Bebas
Memori Usang
Oleh: Iis Nia Daniar
Bertubi menghunjam di sepi
Membulat memutiara
di persuaan antara air dan latar
Deru berlomba di derasnya
mencipta sunyi
Kilatan membuyarkan muram
Pohon menggigil
sebab dedaun terbasahkan hujan
Hati mengabut di reriuh air
ziarahi memori usang
Aku yang meluluh karena pilu
merenta karena waktu
kian memedar
di senyap sapa kelabu karena mu
"Lelakiku aku merindumu terlalu."
Lirih menutur kata tertekan rasa
Bekasi, 8 April 2016
Tema: Bebas
Terlalu Padamu
Oleh: Iis Nia Daniar
Biruku,
tetaplah warnai angan yang bermain di benak
hingga meloncat-loncat jantungku kegirangan
serupa anak kecil bermain tali
Rindu,
tanpamu aku adalah nisan lapuk tinggal nama
yang tertulis samar di antara noda bercak tanah merah
sisa hujan semalam
Yayi,
Bawalah aku dari jelaga hampa di balik sepi
seperti Qais yang melarikan Laila dengan kudanya
ketika bintang-bintang dan sang dewi enggan bercengkrama
dengan langit kelam berbalut sunyi
Dan biarlah jejangkrik mengerik cemburu di balik rerimbun daun
karena aku terlalu padamu
Ciketing Udik, 15 April 2016
Puisiku
YAH, SUDAHLAH!
Oleh: Iis Nia Daniar
Lagi-lagi hinamu memasung segala hasrat.
Malamku beku dan senyap tanpa cumbuan.
“Tidak mengapa.” Dua kata terucap hanya untuk menyelimuti kegetiran rasa.
Kautahu sangat ini bukan kali pertama, melainkan kali keseribu kaujegal berahi yang membakar ruang sendu dalam ketemaraman di tengah rinai hujan beralun lembut.
Tatap mataku dalam-dalam!
Tidakkah kaulihat putihnya memerah dan bulir-bulir bening mulai menggenang hingga tertumpah di sudut-sudut kedua kelopak?
Yah, sudahlah!
Biarkan kubersembunyi di balik selimut sambil terlelap pura- pura.
Bekasi, 8-02-2016
TIGA MATA
Oleh: Iis Nia Daniar
Mata 1
“Sepi pandang tanpa rasa bila kauhilang takberbayang.
Mana gelap, mana terang? Tiada beda… suram.
Ramai alam warna-warni olok rasa… hampa.
Ah, sebola kelereng sajalah, cukup kutatap fana!”
Ucap Netra dalam diam sembari berpangku tongkat.
Mata 2
“Pancaran jiwa yang berbunga.
Kesenduanmu karena gundah membelit rasa.
Berbinarmu karena riang memerahkan hati, meronakan pipi dalam kecintaan yang sangat.”
Ujar Perawan berpeluk mawar.
Mata 3
“Kejam coba bersembunyi di balik biasan cahaya dalam kristalin. Hitam hati coba memutih dalam iris. Bayangan pada kornea takpernah sama dengan objek kasat hingga menyayuku karena sakit takterejawantahkan erangan.”Maki yang terlukai.
Bekasi, 15 Februari 2016
MAS, CINTA MATIKU
Oleh: Iis Nia Daniar
Tersimpul mati sudah segala rasa oleh benang merah yang kita pintal bersama.
Dari ujung rambut sampai ujung jari kakiku semakin terus memujamu ....
Terikat erat tanpa sekat, melilit rapat hingga lekat....
Memisahkan ini sama rasanya dengan terbunuh.
Relaku didera seribu cambuk kerna dosaku mencinta mu ...
Bekasi, 2016
SUMARAH DEWA AWAN
Oleh: Iis Nia
Menghitam dalam bisu,
mendung terselubung pekat yang menggumpal menjelma kumulonimbus,
menyeruakkan kepedaran tanpa bertanya
hanya sesak yang sesekali menggemuruh dan mengguntur.
Sesaat setelah teruahkan segala beban di titik beku,
memutihlah tanpa jejak kesembaban.
Menghitam-memutih tanpa penolakan,
menuruti perintah semesta pada siklus masa.
"Aku hanya takzim pada Raja Sakka." Dewa Awan menguatkan diri.
Bekasi, 22 Maret 2016
DI BALIK KALI JODOH, JAKARTA
Oleh: Iis Nia Daniat
"Mampir, Mas!" Lembut ucap santun laku para penjaja kemesraan sesaat di warung remang-remang yang berjajar sepanjang bantaran kali.
Kumandang adzan isya memanggil mengalun syahdu terkalahkan dengan irama pantura yang mengalun merayu.
Bak bidadari alih profesi cumbu rayu sambil duduk di pangkuan pelanggan penikmat, penjaja asyik bersenda.
Lentik jemari halus asyik menyentuh pori dan menuangkan bergelas-gelas air kencing setan.
Bibir penuh bergincu merona sibuk terbahak sambil mengepulkan asap kretek; sesekali mendaratkan kecupan mesra, tapi hambar.
"Sampai kapan?" Tanya itu acapkali digulirkan meski dalam canda.
"Yah, mungkin sampai para penikmatku pergi satu per satu hingga akhirnya 0." Terkadang terlontar di saat lengang jauh di ujung malam sambil mengelap tetesan yang masih tersisa diselingi gurau dan tawa. Namun, masih tetap terasa hambar.
"Sampai kita terkena AIDS dan mati muda seperti si Ice alias Sumarti, Elsya alias Titin, atau Kristin alias Zaenab." Celutuk seorang penjaja yang masih asyik mengepul-ngepulkan puntung asap kretek.
Semua terdiam, hening sambil saling menatap. Adzan shubuh memanggil umat disambut kokok jantan dan rintik hujan, merekapun terlelap dalam warung remang yang berangsur berhenti berpesta.
Bekasi, 24 Februari 2016
RINDU WADI
Oleh: Iis Nia Daniar
Gersang ... tanpa dedaunan pada batang yang bergesekan menyapa kekerontangan di atas padang pasir.
Putaran angin bergelombang menyapu butirannya di tengah ketandusan.
Pancaran mahabola pijar memanas kulit, mengelupas epidermis tepat di atas titik pusat diameter bumi.
Di mana hujan?
Di mana sungai?
Di mana oase pemberi kehidupan Ismail?
Berjalan menyusuri wadi berharap akan turunnya tetesan airmata langit hingga terisi lengkung panjang yang mendamaikan ketandusan meski hanya setumit tapak.
DAS tidak lagi hanya artefak yang menyembunyikan banyak kisah, inginku....
Bekasi, 6 Maret 2016
PERANG KATA
Oleh: Iis Nia Daniar
A dibilang E
I dilafalkan ai
Jika itu bahasa flektif, pahamku bertemu dititik logika semantis kata.
Hai, yang kaurangkai itu aglutinatif!
Semestinya kamu tahu mitra tuturmu AKU!
Ah, sudahlah!
Sebaris makna implisit telah kucerna.
Sepenggal zatmika terpapar dalam kata berangkai adalah sasmita keengganan.
Tinggallah maluku bersanding dengan penolakan yang takterjabarkan dalam sebuah morfem.
Bekasi, 23 Februari 2016
GUGURNYA ASWATAMA
Oleh: Iis Nia Daniar
Dindaaaa ...!!!
Jerit Aswatama sambil memeluk rapat Banowati untuk kali pertama dan kali terakhir.
Getar rasa yang membiru dari ujung rambut sampai ujung kaki diakui Aswatama, tapi mulut terkunci, bibir urung bertutur.
Aku hanya di balik layar meski ilmuku setinggi langit dan seluas samudera. Namun, hatiku ciut bila mendengar namamu: Banowati.
Tentu saja menggerakkan bibirku untuk menyebut namamu sungkan sungguh.
Taklukku di pesonamu
Berlutut kumemujamu walau diam-diam.
Mataku sering terpanah racun hingga menggeserkan jantung … mengoyakkan hati karena cumbuan pada lelaki sejagatmu yang sengaja kuintip di balik rerimbun bunga setaman.
Walau demikian, Diajeng telah terlanjur mengisi ruang yang sengaja kuselubungkan di sisi hati lain tanpa harus bicara pada Bhisma apalagi pada keris yang menghujam dadamu.
Beribu maaf dan sesal kubawa sembari menyusulmu, cinta terpendamku.
Bekasi, 21-02-2016
DAH, AYANG!
Oleh: Iis Nia Daniar
Sesapa lembutmu membuat percepatan detak di jantungku.
Candamu meronakan hariku, menginspirasi setiap torehan romansaku.
Namun, pernyataan rasamu lebih lambat dari larinya keong, Yang.
Kau biarkan aku yang rapuh penuh harap saat keluluhlantahan menjerat memelantingku untuk bergumul dalam ombak dan menengah hingga hampir mengaram,
sedangkan kau hanya tergeming memaku di pesisir.
Kini aku menolakmu meski somasi kau layangkan.
"Dah, Ayang!" Akhir kekataku untukmu di balairung cinta.
Bekasi, 19 Maret 2016
KISAH HUJAN DAN SELIR
Oleh: Iis Nia Daniar
Mendung itu menemaramkan segala.
Binar senyum adalah keterpaksaan, tanpa keinginan.
Kekeh tawa adalah pemerkosaan terhadap kebisuan karena inginku menyepi dan mengaku bibir.
Angin?
Angin itu berseliweran di antara cemburu yang membakar jiwa.
Guruh?
Ah, gemuruhnya terlalu menyesakkan dada dan takmenyisakan ruang untuk sekadar mengganti oksigen.
Tatkala sapa hujan bertubi menghujam bumi, membekulah waktu di antara desah dan deru napas yang memburu.
Sedangkan aku?
Aku hanya selir ... hanya bisa menggigil di antara derasnya sembari menyapu airmata dan mencari persembunyian akibat sambaran petir.
Bekasi, 29 Februari 2016
Tentang Penulis:
Nama penulis Iis Nia Daniar. Lahir di Bekasi, 15-08-1977. Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Padjadjaran Bandung (2000). Beberapa karya telah dimuat di koran lokal. Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan guru pada SMP N 31 kota Bekasi. Hp. 085280873946 email: iisnia0@gmail.com
Nyok Kita Lestariin Bahasa Bekasi!
Oleh: Iis Nia Daniar
Bekasi sebagai satu di antara daerah tujuan urban merupakan faktor yang harus diwaspadai dalam perkembangan bahasa daerah Bekasi. Akulturasi antara bahasa dan budaya baik daerah Bekasi maupun daerah para pendatang, tidak menutup kemungkinan lenyapnya bahasa Bekasi yang menjadi ciri khas daerah itu sendiri dalam interaksi dan komunikasi sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan pengajian bahasa Bekasi secara intensif yang bisa dikonsumsi publik, khususnya masyarakat yang berada di daerah Kota dan Kabupaten Bekasi sebagai tindakan preventif dan representatif dari pelestarian bahasa Bekasi.
Bahasa adalah sebuah sistem yang diciptakan secara arbitrer dan berdasarkan konvensi (Chaer, 1994:33). Demikian juga dengan bahasa Bekasi, bahasa Bekasi memiliki sistem yang berbeda dengan bahasa lainnya karena dibuat secara manasuka berdasarkan perjanjian penutur aslinya (native speaker).
Berikut contoh kosakata bahasa Bekasi dan penggunaannya dalam kalimat. Gaplok, gampar ‘tampar’, deprok ‘duduk di bawah’, bledug ‘bunyi ledakan kompor’, keprok ‘tepuk tangan’, jingkrak ‘melompat-lompat’, nguyup ‘minum langsung dari tempat tanpa sedotan’, ciplak ‘mengunyah’, bangkis ‘bersin’, kepret ‘menampar dengan menggunakan punggung tangan’, ngocor ‘bunyi air yang keluar’, ngorok ‘ mendengkur’, keketok ‘suara ayam sebelum dan sesudah bertelur’, berebet ‘suara kain robek, angob ‘menguap karena mengantuk’, teblag ‘dipukul bagian punggung dari arah belakang’. Contoh kalimat: (1)Bocah digaplok ama temennya. (2)Emak-emak padadeprok di bawah.(3)Kompornya ngebledug. (4)Orang-orang padakeprok abis nonton topeng. (5)Indun jingkrak kegirangan.(6)Kopi panas diuyup.(7)Si Usin makannya ciplak. (8)Abis keujanan, Darmaji bebangkis bae. (9)Gua kepret luh! (10)Aer ngocor dari setadi. (11)Waya ginih masih ngorok. (12)Ayam keketok bae di kandang. (13)Kaen Pak Aji berebet pas di langgar.(14)Burhan angob bae. (15)Bocah bader banget, gua teblag bae belakangnya.
Kata gaplok, deprok, bledug, keprok, jingkrak, nguyup, ciplak, bangkis, kepret, ngocor, ngorok, keketok, berebet, angob, dan teblag yang diejawantahkan dalam kalimat-kalimat di atas adalah bentuk onomatope. Onomatope/ono·ma·to·pe/ /onomatopĂ©/ n kata tiruan bunyi, misalnya "kokok" merupakan tiruan bunyi ayam, "cicit" merupakan tiruan bunyi tikus (http://kbbi.web.id/). Hal tersebut sama seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Kata onomatope digunakan pada kalimat aktif intransitif, contoh: (1)Kucing mengeong. Anjing menggonggong; (2)Kuda meringkik. Namun, penggunaan kata beronomatope dalam bahasa daerah, khususnya bahasa Bekasi lebih kaya. Oleh karena itu, marilah kita lestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Bekasi sebagai satu di antara kekayaan budaya Indonesia.
Senin, 20 Maret 2017
Saedah Saeni
Oleh: Iis Nia Daniar
“Mimi, kapan Mama pulang?” tanya Saida suatu hari pada ibunya yang masih terbaring lemah.
Ibu dari Saida dan Saeni ini memang telah lama jatuh sakit setelah Sarkawi, suaminya, pergi. Anak-beranak tersebut tinggal di Desa Karang Turi, Indramayu. Mereka hidup dengan serba keterbatasan dari sisa uang yang diberikan Sarkawi sebelum berangkat menunaikan ibadah haji 7 bulan yang lalu, sedangkan kabar tentang dirinya tidak pernah ada.
“Mi, Pak Kaji Umar sudah pulang dari Mekkah, kok Mama belum juga pulang ya Mi. Padahal berangkatnya setelah Mama.”
“Husss, Saeni kasihan Mimi!”
Hari terus berganti, ibu Saedah dan Saenipun semakin tenggelam dalam penderitaan hingga akhirnya ajal menjemput. Saeni masih meronta sedih sesudah pemakaman ibunya. Saedah hanya bisa memeluk Saeni dengan berurai air mata.
Sementara itu di tempat terpisah Sarkawi telah menjalani kehidupan barunya, ia menikahi Maemunah, seorang ronggeng desa tetangga yang dijumpainya dalam perjalanan menuju Baitullah dulu. Namun, bukan berarti Sarkawi sudah melupakan keluarganya yang dulu. Pernah satu kali Sarkawi mencoba untuk menemui anak-anak dan isterinya di desa yang telah ia tinggalkan, tetapi Maemunah menghalangi.
“Aku rindu Saedah dan Saeni.”
“Apa kau juga merindukan isteri pertamamu?”
“Aku merindukan mereka.”
“Tapi aku sedang mengandung, kau tega meninggalkanku?” rajuk Maemunah setengah menahan air mata. Sarkawi hanya bisa menghela napas sambil menatap jauh malam.
Selang beberapa hari setelah isteri pertamanya berpulang, Sarkawi merasa didorong terus untuk pulang ke Desa Karang Turi, dan akhirnya Maemunah menyetujui. Alangkah tekejutnya Sarkawi ketika mengetahui bahwa isteri pertamanya telah meninggal dunia. Perasaan bersalahpun mengalir di dadanya.
Setelah keadaan mulai membaik, Sarkawi mengenalkan Maemunah pada kedua anaknya. Saedah dan Saeni menerima Maemunah sebagai pengganti ibu mereka. Keluarga baru itupun tinggal bersama di rumah peninggalan mendiang isteri Sarkawi.
Tidak berapa lama kemudian, Sakarkawi izin pergi mencari nafkah dan menitipkan kedua anaknya pada Maemunah. Sarkawi berpesan agar berbaik-baik pada Saedah dan Saeni karena rumah yang mereka tempati adalah rumah ibunya.
“Saedah, Mimi mau ke pasar. Ada beberapa rupiah di bawah bantal Mimi dan seliter beras gentong, janganlah kalian pakai,” pesan Maemunah pada kedua anak tirinya. Saedah mengiyakan dengan rasa takut.
Rupanya Maemunah pergi terlalu lama hingga sore menjelang ia belum juga pulang. Saeni yang sudah kelaparan menangis sejadi-jadinya. Saedahpun kebingungan. Saedah teringat akan uang dan beras yang dititipkan Maemunah, dengan berat hati ia memasak beras itu dan memakai uang untuk membeli bumbu lengko. Tidak berapa lama kemudian Maemunah datang.
“Mana berasku, Saedah?” geram Maemunah melihat nasi yang tengah dimakan Saeni.
“Ampun, Mi! Beras dan uangnya saya pakai karena kami lapar,” Saedah ketakutan menjawab sambil menghalangi Saeni dengan badannya seolah-olah ingin melindungi Saeni dari tatapan marah Maemunah.
“Dasar bocah blesak!” berang Maemunah.
Sambil menangis dan memeluk Saeni, Saedah berkata, “Baiklah jika Mimi tidak mau memaafkan kami, kami akan pergi dari sini.”
Hampir saja sapu lidi menghantam tubuh Saedah, tetapi ia teringat pesan Sarkawi. Diletakkannya sapu lidi di pojok dinding dapur. Dibelainya rambut Saedah dan Saeni sebelum Maemunah meninggalkan dapur.
“Selepas maghrib kalian ikut Mimi. Kita jalan-jalan ke kota,” Suara Maemunah terdengar menurun dari sebelumnya.
Setelah sholat Saedah dan Saeni pergi bersama ibu tirinya, rupanya Maemunah masih menyimpan amarah dengan kejadian sore tadi. Dia berniat akan membuang kedua anak tirinya. Benar saja, Saedah dan Saeni ditinggalkan Maemunah di tengah hutan. Kedua anak malang ini pun menangis.
Di tengah ketakutan dan malam yang mencekam itulah muncul kakek misterius yang entah datang dari mana. Kakek tersebut tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Saedah dan Saeni. Kontan saja kedua anak itu gemetar, tetapi Saedah langsung menarik tangan Saeni dan menyembunyikan Saeni di belakang tubuhnya.
“Saedah! Saeni!” keras kakek itu memanggil nama keduanya.
“Si ... Siapa Kakek?” Saedah memberanikan diri.
“Aku yang akan membuat kalian kaya.”
“Aku mau, Kek,” tegas Saeni.
“Hahahaha ...,” kakek itu terkekeh-kekeh mendengar jawaban Saeni, “tapi ada syaratnya, apa kalian sanggup?” lanjut Kakek sambil melebarkan tatapannya.
Belum lagi Saedah berpikir, Saeni sudah menjawab, “Sanggup!”
Setelah melakukan ritual yang diperintahkan Kakek misterius itu, Saedah menjadi tukang kendang yang ahli dan Saeni, adiknya menjadi seorang ronggeng yang gemulai. Mereka mengadakan pertunjukkan di pinggir jalan sekitar Kali Sewo dan akhirnya mereka terkenal hingga ke desa asal, Desa Karang Turi. Kepopuleran Saedah dan Saeni mengubah kehidupan mereka. Bahkan membuat Maemunah datang berkunjung ke rumah mereka.
“Siapa yang datang, Wak?” tanya Saeni pada satu di antara orang yang bekerja di rumahnya.
“Dia mengaku ibu Nok Ayu,” sambil membungkuk takzim Wak Tarsiah menjawab.
“Maemunah?” berteriak Saeni menyebut nama ibu tirinya. Saeni tersenyum sinis mengingat apa yang telah diperbuat Maemunah dulu terhadapnya dan Saedah.
Saedah yang sedang berlatih kendang di serambi belakang rumah segera menghentikan tabuhannya setelah mendengar teriakan adiknya. Dia menghampiri Saeni di ruang tengah.
“Ada apa, adikku?” halus Saedah bertanya pada Saeni.
“Maemunah datang ke rumah kita, Kang.”
“Kapan?”
“Barusan saja. Tapi karena aku sedang tidur, Wak Tarsiah tidak membangunkanku,” nafsu Saeni berkata. “mungkin dia hendak menagih utang kita, Kang,” lanjut Saeni.
“Utang?” Saedah tampak bingung, “maksudmu beras dan uang yang kita pakai dulu?”
“Ya, Kang. Aku yakin,” Saeni setengah terisak karena masih terasa sesak akan kejadian masa lalu.
“Sudahlah, Dik! Tidak baik menyimpan dendam. Bukankah Gusti Allah telah memberikan karunia berlebih atas kejadian itu?” Saedah menasihati adiknya.
Akhirnya merekapun sepakat untuk melupakan masa lalu dan membayar utang kepada Maemunah. Saedah sangat berharap keluarganya dapat berkumpul seperti dahulu lagi. Saenipun rindu pada ayahnya, Sarkawi.
Belum lagi utang pada Maemunah dapat dibayar, waktu berganti terlalu cepat bagi Saeni. Hatinya mulai cemas karena saat perjanjian dengan Kakek misterius yang dia jumpai di tengah hutan dulu telah tiba. Saedah sama sekali tidak mengetahui syarat dan janji apa yang harus dipenuhi oleh keduanya ketika itu karena si Kakek hanya berbisik pada Saeni. Saeni tidak pernah membicarakan syarat dan janji tersebut pada kakaknya. Karena Saeni yakin kalau ia memberitahukan pada Saedah, tentu Saedah tidak pernah menyetujuinya dan harapan Saeni ingin menjadi orang kaya akan hilang begitu saja.
“Nok Saeni!” suara tanpa rupa memanggil Saeni beberapa kali pada malam yang dipenuhi angin kencang.
Saeni beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mengarah pada suara yang memanggil namanya. Saedah yang ketika itu masih terjaga mengikuti Saeni dari belakang dengan rasa penasaran. Sampailah Saeni di tepian Kali Sewo, tanpa ragu dia terjun ke dalam kali tersebut dan berubah menjadi buaya putih. Saedah yang melihat kejadian tersebut menjerit memanggil-manggil adiknya.
“Saeni! Saeni! Saeni!”
Akan tetapi, Saeni yang telah berubah wujud itu terus menghulu, tidak memperdulikan jeritan kakaknya. Saedahpun berlari sambil terus menjerit seperti orang gila menuju rumah ayahnya, Sarkawi di Desa Karang Turi. Sambil menangis Saedah bercerita tentang kejadian yang sudah menimpah Saeni.
“Mama, Saeni buaya. Saeni putih. Kali Sewo,” Saedah tampak belum bisa menguasai jiwanya.
“Ada apa Saedah? Apa yang terjadi pada Saeni? Apa yang terjadi dengan kalian?” Sarkawi yang penasaran dan cemas memberondong pertanyaan.
“Mama ... Mama ... Saeni jadi buaya putih setelah dia melompat ke Kali Sewok,” tersedu-sedu Saedah sembari terduduk lemas di hadapan Sarkawi.
“Astaga!” terkejut Sarkawi mendengarnya dan seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia berusaha menyembunyikan air mata yang mengalir deras membasahi bajunya.
Para tetangga berdatangan mendengar jerit dan tangis Sarkawi dan Saedah. Mereka akhirnya ikut mengantarkan Sarkawi, Saedah , dan Maemunah untuk mencari buaya putih jelmaan Saeni di Kali Sewo. Sesampainya mereka di sana, tidak menunggu lama, muncullah dari hulu sesososk buaya putih yang bersuara mirip Saeni.
“Mama, aku merindukanmu.”
“Saeni!” teriak Sarkawi dan dia langsung berlari menerjunkan diri ke dalam kali. Beberapa saat kemudian Sarkawi berubah wujud menjadi bale kambang, ‘sejenis ranjang yang terbuat dari kayu'.
Maemunah yang melihat suaminya telah berubah wujud ikut terjun ke dalam kali dan berubah wujud menjadi pring ori, ‘bambu’. Saedah sangat terguncang menyaksikan seluruh keluarganya seolah raib ditelan arus deras Kali Sewo. Dia menangis sepanjang hari hingga lemas dan tertidur di rel kereta api yang berada tidak jauh dari kali tersebut. Saedahpun tewas terlindas kereta api dan tubuhnya berubah menjadi pohon bunga cempaka putih.
Sejak saat itu aroma mistis kental menaungi jembatan Kali Sewo. Setiap kendaraan yang berlalu-lalang di atas jembatan Kali Sewo harus membuang uang berupa koin sebagai bentuk penghargaan pada Saedah dan Saeni yang telah meronggeng di tempat tersebut. Jika tidak melemparkan koin, kendaraan akan mengalami kecelakaan.