Antara Setia dan Birahi
"Maaf." Kata Anjani sambil memegangi bahu Panji yang sudah membelakanginya.
"Maafkan aku!" Terserak suara Anjani terdengar antara ingin menangis dan berteriak.
Sementara Panji tetap membelakangi Anjani dengan kedua tangan di lipat di dada.
"Aku salah, tapi bukankah itu karenamu, Kang?" Duduk bersimpuh Anjani di belakang kaki Panji sambil tersedu-sedu.
"Aku wanita dengan seribu gairah, aku ... aku ... takdapat menahan godaan birahi yang begitu mendidihkan seluruh darah hingga tubuhku terguncang."
"Lalu apa salahku? Kaumemang binal." Panji berteriak sambil menunjuk-nunjuk pada Anjani yang berada di bawah kakinya.
"Kau slalu menolakku, kau slalu menghentikan setiap debur ombak di samudera luas. Kau selalu menghindariku. Kau sengaja menghinaku dengan bersikap dingin hingga seribu purnama." Anjani melakukan pembelaan.
"Seharusnya kaumengerti aku." Jawab Panji masih dengan nada kasar.
"Aku mengerti, Aku sangat mengerti. Bukankah aku setia slama ini? Hanya kali ini, aku mohon maaf padamu dengan berlutut ... aku khilaf, Kakang, laksana hujan yang takpernah menyapa ke bumi tiba-tiba dia datang membasahi tanah yang sudah meretak kekeringan terlalu lama. Aku manusia biasa, aku takkuasa menahan segala godaan meski nista. Aku salah. Maaf ... maaf ... maafkan aku." Semakin deras airmata Anjani membasahi kedua pipinya, sambil bersimpuh memegangi kaki Panji berharap agar Panji mau memaafkan atas 1 kali khilafnya.
Namun, Panji takmenggubris, dia berlalu sambil meludahi Anjani.
Anjani hanya bisa menangis sepajang malam itu, sesekali dia berteriak.
"Jaka!"
"Jaka!"
"Mana janjimu? Panjiku tlah meninggalkanku karena aku memilih menuruti rayuanmu." Menggerung, terisak Anjani dalam segala kekalutannya.
"Jakaaaaaa!" ....
Bekasi, Jumat beku,
21 Januari 2016