#cerpen_cpp
Dilema Bunga Kuning
(Berawal pada Pandangan Torehan Aksara Pertama)
Melanjutkan jalan yang sudah biasa dilalui. Di seberang jalan kulihat penjual Bunga Kuning yang sangat memesona. Bukan karena paras atau bentuk bunga kuningnya, melainkan karena tutur bahasanya yang sanggup menghangatkan seribu sukma beku.
Kuburu sambil meloncat kegirangan, tanpa berpikir akan risiko yang akan dihadapi. Yang kutahu rasaku begitu menggebu bila melihatnya.
"Gayung bersambut ...." Sambil tersenyum manis dan suara yang lembut dia menatapku.
Tanpa keraguan kuraih kelingkingnya dan kubiarkan dia bercerita tentang "Pantai Berpasir Putih" dan "Introgasi Ayam di kantor Kelurahan". Ah..., dia membawaku melambung jauh tinggi ke langit ketujuh dengan hanya satu kali pandangan.
Hari-hari kurasa berwarna biru. Airku biru, langitku biru, hatiku biru.
" Aku sudah gila." Pikirku sambil senyum-senyum sendiri.
Hingga suatu ketika jantungku benar-benar berpindah tempat. Kudengar kabar dari angin yang meniupkan dedaunan, dia telah menjadi milik wanita lain dan dikaruniai 2 malaikat kecil. Warna biruku sontak berubah menjadi hitam pekat takbisa ditembus. Tubuhku terhuyung dan terhempas di tempat tidur. Kusembunyikan air mataku di balik bantal bersarung putih. Mataku sembab karena hatiku hancur.
Namun, hatiku bukan bola basket yang dengan mudah berpindah tempat. Aku masih ingin bersama Penjual Bunga Kuningku.
"Cinta memang suatu pembodohan." Gumamku lirih.
Berputar otakku mempertimbangkan untung dan rugi yang harus kutanggung jika kupertahankan rasa ini. Dilematis melanda diriku, galau kata anak zaman sekarang.
Penjual Bunga Kuning itu masih setia di seberang jalan menantiku. Akan tetapi, jika harus menyebrang, tubuhku terlalu lemah. Hingga akhirnya kuberteriak dengan keras ke arah seberang.
"Hai Penjual Bunga Kuningku, taksanggup kumelihat derita kaumku karena lelakinya membagi rasa denganku."
Urung niatku meraih lengannya, setelah kelingkingnya kuraih di hari-hari biruku sebelumnya, walau hati tetap terpaut pada Penjual Bunga Kuning itu .... Aku pun kembali pada pilihan awal: seorang lelaki kasar yang acapkali menganggapku sebagai lawan sparing tinjunya.
Pesona Penjual Bunga Kuning yang lembut dan selalu mengajarkanku tentang "Alif" masih menjadi pengisi ruang kosong di sisi hatiku yang sengaja kusembunyikan. Sesak rasanya ...sampai-sampai saat memadu kasih kerna wajib yang kubayangkan adalah Penjual Bunga Kuning dengan ceritanya tentang aku dan dia yang berangan berbulan madu di Pantai Berpasir .... Sakit sangat sakit ...pahit ... sangat pahit seperti sambilonto dan brotowali yang diblender bercampur harus kureguk sendiri ....
"Yah ini jalanku takmungkin kumencari jalan yg lain sudah terlambat, bel sekolah akan segera berbunyi ....." Decakku sambil berjalan menuju ruang kelas, pikiranku masih mengambang tertambat pada Sang Penjual Bunga Kuningku.
Di kelas ini konsentrasiku tidak 100%, masih sangat membekas di benak tulisan Penjual Bunga Kuning pada selembar kertas usang yang sengaja dia selipkan di antara bunga kuning yang dia jual. Tulisan itu yang membuatku berpikir bahwa aku sedang jatuh cinta untuk kali kesekian di pandang pertama melalui guratan aksara.
"Daniar...mungkin ya itu nama margamu atau cuma sekedar tambahan tuk memperindah namamu....tapi yakiinn bukan karna itu ingin ku menulis di dindingmu {hatimu}...tak terbantahkan lagi kalau aku amat sangat ingin NULIS aja...teman...."
26 Desember 2015
Catatan ttg penulis: Tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Masih aktif di dunia pendidikan sebagai "Guru Mondar-Mandir" di wilayah domisili dan sekitarnya. Lahir 38 tahun yang lalu saat Senja Menjingga dengan nama Iis Nia Daniar. Primagama menjadi tempat mengajar pavoritku. Kota Bekasi masih mencatatku sebagai TKK pada satu di antara SMP N di wilayah ini entah sampai kapan.