Minggu, 21 Februari 2016

Banowati Cinta Butaku

Banowati Cinta Butaku

“Banowati maafkan aku yang takbisa melindungimu sampai akhir.” Kalimat terakhir dari Duryudana terucap sebelum nyawa terlepas dari raga di bubat Bratayudha.

“Kauwanita molek sejagat yang telah merobek hatiku dengan pedangku sendiri.

Pedih sangat saat kutahu hanya ragamu yang kauserahkan tanpa hijab.

Rasamu, rindumu terlalu kaucurahkan pada lelaki berparas dan berwanita seribu.

Sebegitu terpesonanyakah dikau pada Arjuna?

Hingga keji kaujalin asmara di balik ranjang pengantin kita?”

Mata basah Duryudana memandang kosong mengikuti para malaikat yang memaksa menariknya, sedang lamunnya tertawan pada Banowati, wanita binal yang entah karena apa ksatria kurawa itu begitu terhipnotis olehnya.

Bekasi, 21-02-2016

Bratayudha

Bratayudha

Lautan merah mengubah hijau rerumput bubat.
Merah yang sama karena sebapak walau taksepersusuan.

Langit sama awan, mengapa harus dibelah?
Bumi sama dipijak, mengapa harus dibatas?

Itu bukan pertempuran antara hitam dan putih.
Itu bukan pertarungan antara cinta dan angkara.

Namun, itu adalah pengklimaksan ego antarmanusia atas dasar; harta, tahta, dan mungkin juga wanita seperti yang dilakonkan Arjuna dan Duryodana.
Hadiahnya adalah Banowati wanita binal yang sanggup menarik berahi selaksa pria  sekolong jagat.

Bekasi, 21-02-2016

Aku Yudistira

Aku Yudistira

Bohong?
Menutupi kebenaran dengan seribu daun kedustaan?
Ah, berat kujalani!

Aku Yudistira

Tertawa?
Aku harus tertawa disaat kekelabuan menyelimuti awan di langit Hastinaku?

Aku Yudistira

Pura-pura berpikir?
Aku harus mengreyitkan dahiku ketika ku hanya menonton pertikaian Pandawa-Kurawa tanpa hunusan pedang yang berlumur darah meskipun aku tahu darah kami sama merah?

Sekali lagi: Aku Yudistira

Bekasi, 21-02-2016

Hujaman Keris untuk Banowati

Hujaman Keris untuk Sang Cinta Terpendam

“Dindaaaaa ….”
Jerit Aswatama sambil memeluk rapat Banowati untuk kali pertama dan kali terakhir.

Getar rasa yang membiru dari ujung rambut sampai ujung kaki diakui Aswatama, tapi mulut terkunci, bibir urung bertutur.

“Aku hanya di balik layar meski ilmuku setinggi langit dan seluas samudera. Namun, hatiku ciut bila mendengar namamu: Banowati.

Tentu saja menggerakkan bibirku untuk menyebut namamu sungkan sungguh.

Taklukku di pesonamu
Berlutut kumemujamu walau diam-diam.

Mataku sering terpanah racun hingga menggeserkan jantung … mengoyakkan hati karena cumbuan pada lelaki sejagatmu yang sengaja kuintip di balik rerimbun bunga setaman.

Walau demikian, Diajeng telah terlanjur mengisi ruang yang sengaja kuselubungkan di sisi hati lain tanpa harus bicara pada Bhisma apalagi pada keris yang menghujam dadamu.

Beribu maaf dan sesal kubawa sembari menyusulmu, cinta terpendamku.”

Bekasi, 21-02-2016

Dendam Cinta

Dendam Cinta

“Kanda Arjuna dengarkanlah degup jantung Dinda, rapatkanlah telinga sebelah kananmu pada dadaku dan rasakanlah ‘dag dug dig … dig dag dug’ terang tersimak.” Rayu Banowati di Taman Sari melelehkan bebuliran bening di sesudut mataku.

Persuaan diam-diammu dengan Arjunaku menjengahkan kelopak-kelopak bunga setaman hatiku hingga gugur terpanggang api kecemburuan.

Namun, kata cinta dan rindu terlanjur terpatri dan takbertepi, rintihan keperihan akan kasih terhenti karena Banowati sampai mati kusimpan di jelaga  relung sukma terdalam.

Ingatlah Dendam cinta akan teruahkan di saat jelagaku telah terpenuhi derita takberkesudahan!

Arjunaku jika aku tak bisa merengkuhmu, Banowati pun tak akan pernah bisa menyenggamaimu di sepanjang gulita malam pada langit Hastina.

Bekasi, 21-02-2016

Kamis, 11 Februari 2016

Gugatan

Gugatan

"Amternar?"
"Masih percaya?" Tanyaku pada reriuh angin yang memorakperandakan gunungan sampah di pinggiran Bekasi.

Sebangsa setanpun hanya bisa sinis tersenyum.
Obral orasimu mengaduk-aduk isi perut; blingsatan mencari celah keluar melalui kerongkongan, "Oekkk...."

Rantai Piramida dipenuhi rayap takkenal musim.
Kata takterejawantahkan laku.
Hitam-putih transparan batas; topeng kemunafikan dikenakan hanya untuk mengaburkan kebusukan yang terbungkus seragam berpakta integritas.

"Takada legalitas tanpa setumpuk upeti." Bisikmu menyeringai memuakkan.

Pinggir Bekasi, 11 Januari 2016

Kisah Penjaja Kemesraan Sesaat

Di Balik Kali Jodoh, Jakarta

"Mampir, Mas!" Lembut ucap santun laku para penjaja kemesraan sesaat di warung remang-remang yang berjajar sepanjang bantaran kali.

Kumandang adzan isya memanggil mengalun syahdu terkalahkan dengan irama pantura yang mengalun merayu.

Bak bidadari alih profesi cumbu rayu sambil duduk di pangkuan pelanggan penikmat, penjaja asyik bersenda.

Lentik jemari halus asyik menyentuh pori dan menuangkan bergelas-gelas air kencing setan.
Bibir penuh bergincu merona sibuk  terbahak sambil mengepulkan asap kretek; sesekali mendaratkan kecupan mesra, tapi hambar.

"Sampai kapan?" Tanya itu acapkali digulirkan meski dalam canda.

"Yah, mungkin sampai para penikmatku pergi satu per satu hingga akhirnya 0." Terkadang terlontar di saat lengang jauh di ujung malam sambil mengelap tetesan yang masih tersisa diselingi gurau dan tawa. Namun, masih tetap terasa hambar.

"Sampai kita terkena AIDS dan mati muda seperti si Ice alias Sumarti,  Elsya alias Titin, atau Kristin alias Zaenab." Celutuk seorang penjaja yang masih asyik mengepul-ngepulkan puntung asap kretek.

Semua terdiam, hening sambil saling menatap. Adzan shubuh memanggil umat disambut kokok jantan dan rintik hujan, merekapun terlelap dalam warung remang yang berangsur berhenti berpesta.

Lanjutan Antara Setia dan Berahi

Lanjutan: Antara Setia dan Birahi

Anjani masih menangisi nasibnya sampai malam-malam berikutnya, dan itu sudah berlangsung 3 purnama. Tubuhnya yang dulu berisi kini sudah tulang berbalut kulit. Airmatanya sudah kerontang hingga yang ada hanya tatapan kosong mengiringi suara tangisnya. Kedua kakinya terpasung. Aroma bunga melati dari tubuhnya telah berubah menjadi aroma bunga bangkai.

"Jaka, bilakah kaudengar tangisku." Hati Anjani berbisik.

"Tahukah engkau pujaan hatiku, kini aku terpasung karena cinta semumu?" Guratan-guratan di wajahnya memancarkan konflik batin yang mendalam.

"Hadirmu meluluhlantakkan segala keyakinanku tentang kesetiaan dan pengorbanan tanpa batas akan berbuah sorgaloka." Berteriak keras Anjani dalam klimaks kekalutannya.

Sementara Jaka masih bergumung dengan siksa dan penjaranya karena egonya mempertahankan kasih dengan Anjani, sedangkan keduanya sudah taklagi lajang. Derita yang dia alami takpernah sampai ke telinga Anjani, sebaliknya Jaka pun demikian, Anjani yang sudah lari kesadarannya takpernah Jaka ketahui.

Hanya malam, angin, bulan, serta bintang gemintang ramai saling bercerita tentang kisah sepasang kekasih ini yang terpikat karena aksara awalnya. Namun, Anjani dan Jaka tetap takbergeming di ruang gelap menebus dosa cintanya entah sampai kapan.

Bekasi, 24 Januari 2016

Coba untuk Terpejam

Coba untuk Terpejam

Hujan mengguyur sedari malam hingga bertemu malam lagi.

Keringat beku tertahan di pori tanpa protes hanya bisa menegakkan bebulu halus di permukaan kulit.

Mata sayu, kepala terpukul baja, menggigil berpeluk kapuk lembab di balik selimut lusuh yang entah sudah berapa lama belum tercuci.

Napas dieja karena suhu yang takbiasa.

Berharap nyata mau merangkul, tapi ...ah, ...!

Berharap bayangan sudi memeluk dari kejauhan, tapi ...ah, ...!

"Bismillah, bismika Allahumma ahya wa bismika amut."

Pejam, rapatkan kelopak hingga dua bulu menyatu.

Namun, tetap napas tidak teratur, pikiran melantur, tidur takmendengkur .....

Bekasi sedingin puncak,
25 Januari 2016

Kuatkan Betinamu

Kuatkan Betinamu

Kuat harus kuat!
Bukankah kita tlah beriklar untuk saling menjaga dari kejauhan?

Aku kuat karena kaukuat.
Jika kauterus melantunkan kesengsaraan rasa, runtuhlah benteng yang kita bangun.
Pecahlah kaca tebal yang menjadi batas koridor di antara kita.
Pecahan-pecahan kaca yang terserak kan menggores luka pada smua.

Hentikan keluhmu yang menyayat hati bak sembilu mengiris tanpa iba!
Aku betina yang masih punya rasa ....

Bekasi, 26012016

Surat Tilang Senja

Surat Tilang Senja

Agak sulit untuk berpacu dengan waktu di perempatan Bulak Kapal, Kota Patriot ini.

Polusi asap terpaksa kuhirup, "Monoksida, ambil tempatmu di tubuhku. Mangga wae!"

Roda empat,  roda dua saling berebut lajur, padahal lampu masih merah. Klakson-klakson dimainkan, umpatan-umpatan dikeluarkan.

"Hem, takbisakah mereka menikmati lampu merah yang begitu indah merona?" Tertegun sejenak sambil berpikir radik.

"Apa sih yang mereka cari? Bukankah ini jam pulang kerja? Apakah mereka tidak mendengar lantunan adzan maghrib dari mesjid seberang kiri jalan?" Terus saja pertanyaan-pertanyaan dilontarkan hatiku dalam kebisingan lalulintas.

"Oy ... MAJU!!!" Terdengar cukup keras suara dari arah belakangku hingga akhirnya taksadar gas kutancap penuh dan ....

Priiiiiiit!
"Mau kemana Bu? STNK? SIM?"
....

Bekasi, 27 Januari 2016

Tanpa Daya

Tanpa Daya

Menggebu wan digeluti virahi tanpa iba# Peluh ini letih bukan syahwat yang meradang# Teriakan taktertahan tersumbat bantal dan selimut yang menyumpal# Sumarah pada latar yang terlanjur terkembang# Terpisahlah sukma dari raga sesaat tanpa tahu dimana letak suwarga dunia yang sering diperbincangkan# Lunglai ... mencoba memintal napas 'tuk melanjutkan lakon ....

Bekasi, 27012016

Perempuan dan Secangkir Kopi

#Koridor_FM

Tema: Dendam
Judul: Perempuan dan Secangkir Kopi
Karya: Senja Menjingga

Di pelataran depan Perempuan duduk  menyandar pada bale-bale panjang sambil memandangi malam temaram tanpa bulan. Sesekali dia merapikan rambut panjangnya yang tertiup angin.

Perempuan: “Hem, aku diam bukan aku taktahu apa yang kausembunyikan selama ini.”
(Bersidakep, memeluk tangan di atas dada)
               “Aku memahami dari gerak tubuhmu yang selalu gelagepan jika taksengaja kupergokimu.” (menggigit-gigit ujung kuku jemari kanannya)
               (Merebahkan badan di atas bale panjang dengan tangan kanan mengganjal kepala, dan tangan kiri kuku jemarinya gantian digigit)
               “Seta, biarpun seribu lapis selimut tebal kaupakai untuk menutupi borokmu, aku akan bisa mengendusnya.”
                “ Kautahu Mengapa?” (Berhenti menggigit-gigit kuku jemari, sama setengah berteriak)
                “Karena aku ANJING, yah aku anjingmu seperti yang sering kauumpatkan padaku.”

Malam kian merayap, angin yang tadinya hanya perlahan bertiup kini mulai mengeluarkan suara.

Perempuan: “Kaumarah padaku angin?”
                  “Apa kausengaja ingin mengipasi bara di sekamku?” (Bangkit dari bale sambil tersenyum agak sinis)
                  “Oh, Kakang Seta yang malang, istirahatlah dengan tenang. Aku takakan menyiksamu dengan seribu pertanyaan yang menurutmu mengada-ngada tentang hubunganmu dengan Bu Renggo.” (Merapikan rambut sambil masuk menuju dalam rumah)
                   Di siluet tampak perempuan itu menyeret sesosok tubuh lelaki yang agak kekar perawakannya.

Perempuan: (Tertawa-tertawa keras)
                    “Ha ha ha ha …, akhirnya aku dapat menyeret tubuhmu seperti dulu kauseret tubuhku keliling kampung karena kaumarah telah ketahuan selingkuh dengan Bu Renggo dan aku mengadukannya ke Pak Renggo. Kaubilang pada semua penduduk kampung bahwa aku telah GILA!” (Marah)
Sisa kopi campur asam biru tampak ada sedikit cangkir kesayangan Seta.

Bekasi, 28 Januari 2016

Ketika Harus Memilih

Monolog: Ketika Harus Memilih

Pejam ingin lebih awal, tapi kelopak takmau juga merapat.
Raga ingin tetirah, ruhku masih melayang.

"Apa kupenggal hasrat?"
"Apa kuperbaiki perapian milikku yang apinya semakin hari semakin mendingin?" Bisik hatiku perlahan karena takut mengganggu cicak yang sedang asyik bercumbu di atas plapon langit-langit kamar dengan pasangannya.

"Harusnya kata SETIA itu kupegang sampai tubuhku membeku."
"Harusnya kubiarkan belati menusuk jantungku agar dapat dia melihat kalau di batas antara serambi kanan dan serambi kiri masih kusimpan namanya."
"Harusnya aku ucapkan, 'Sayang, dadaku panas menyaksikan kau-asyik dengan duniamu!', lukaku bukan karenanya, tapi karena aku yang sudah tersesatkan dengan indahnya semu." Bersimpuh kudalam lembaran masa.

Membela diri untuk menutupi kebodohan. Menyendiri untuk menyembunyikan asih. Rusak badan, berkeping jiwa, menabrak etika.... Tinggallah tangis pilu di gundukan tanah merahku.

Bekasi, mulai ngantuk, 29 Januari 2016

Untuk Alm. Jamaludin (7th)

Untuk Alm.Jamaludin (7th)

Hilangkah rasa manusia hingga tunas yang baru muncul di permukaan tanah dengan biadab mereka lenyapkan tanpa belas?

Raibkah nurani?
Hai, para pendzolim!

Takbergidikkah kalian dengan cerita azab kubur dan neraka?

"Cepat atau lambat waktu kalian akan terhenti dan Tuhan pasti takkan pernah lupa memberi balas atas segala kebiadaban." Imanku walau setipis kulit bawang meyakinkan.

Bekasi, 7 Januari 2016

Kepada Tuan

Kepada Tuan

Tuan,
bisu mengantarkan kata batin menerobos lorong waktu yang terjebak pada black hole.

Tuan,
teriak tanpa suara karena terputus laring sebagai akibat dari emosi jiwa yang telah memuai terlalu.

Tuan,
rasakan jantung mulai bergeser posisi karena tubuh yang meluncur terus tanpa tahu kapan kaki berpijak pada dasar.

Bekasi, 5 Februari 2016

Wanti-Wanti Terakhir

Wanti-Wanti Terakhir

Seperti biasa sebelum kaupulang, "Air putih!"
"Baju penghangat tubuh!"
"Hati-hati!"

Mungkin hanya kalimat-kalimat takberarti yang akan mengiringi deru mesin roda duamu.

Sesampai tujuan, berikan kekasihmu larik terindah seperti yang di setiap sela waktu terucap melalui awan yang tertiup angin untuk Daniar.

Mungkin ini wanti-wanti terakhirku.
Kembalilah pada keutuhan kasih janji suci yang terlanjur disaksikan Tuhanmu, tanpa harus menoleh ke jalanku yang terlanjur bersimpangan dengan arahmu.

Bekasi, 6 Januari 2016