Di Balik Kali Jodoh, Jakarta
"Mampir, Mas!" Lembut ucap santun laku para penjaja kemesraan sesaat di warung remang-remang yang berjajar sepanjang bantaran kali.
Kumandang adzan isya memanggil mengalun syahdu terkalahkan dengan irama pantura yang mengalun merayu.
Bak bidadari alih profesi cumbu rayu sambil duduk di pangkuan pelanggan penikmat, penjaja asyik bersenda.
Lentik jemari halus asyik menyentuh pori dan menuangkan bergelas-gelas air kencing setan.
Bibir penuh bergincu merona sibuk terbahak sambil mengepulkan asap kretek; sesekali mendaratkan kecupan mesra, tapi hambar.
"Sampai kapan?" Tanya itu acapkali digulirkan meski dalam canda.
"Yah, mungkin sampai para penikmatku pergi satu per satu hingga akhirnya 0." Terkadang terlontar di saat lengang jauh di ujung malam sambil mengelap tetesan yang masih tersisa diselingi gurau dan tawa. Namun, masih tetap terasa hambar.
"Sampai kita terkena AIDS dan mati muda seperti si Ice alias Sumarti, Elsya alias Titin, atau Kristin alias Zaenab." Celutuk seorang penjaja yang masih asyik mengepul-ngepulkan puntung asap kretek.
Semua terdiam, hening sambil saling menatap. Adzan shubuh memanggil umat disambut kokok jantan dan rintik hujan, merekapun terlelap dalam warung remang yang berangsur berhenti berpesta.